Dumai adalah gadis biasa, yang lebih tahu berapa skor yang didapatkan para pemain bulu tangkis di segala turnamen daripada jadwal update film romansa terbaru yang akan tayang di bioskop. Dumai menjadikan pebulu tangkis andalannya sebagai junjungan d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[]
Digdaya sengaja menghentakkan kakinya ke lantai yang dia pijak, demi menimbulkan bunyi-bunyi acak yang terdengar menyenangkan di telinganya untuk menutupi segala kesunyian yang sedari tadi dia dapatkan. Matanya melirik ke arah depan----di mana pintu kamar mandi perempuan berada tepat di hadapannya. Sebenarnya Digdaya ingin langsung saja masuk ke sana tanpa permisi, tapi cowok itu tidak bisa, karena dia masih ingin dipandang normal sebagai lelaki.
Walau rasa penasaran mulai membanjiri benaknya sejak beberapa menit lalu, Digdaya masih tidak tahu juga apa keuntungan untuk dirinya menyandarkan tubuh ke tembok koridor toilet sekolah----selain menemukan Dumai yang Digdaya yakini sedang bersembunyi di salah satu bilik kamar mandi di dalam sana.
"Lama bener dah! Untung toilet sekolah nggak pake argo," gerutu Digdaya seorang diri.
Koridor toilet sepi, karena ini masih masuk jam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) Digdaya yang memang disuruh pergi sesuka hatinya oleh Guru----bahasa kasarnya dia diusir tadi memutuskan untuk mengekori Dumai----yang tidak sengaja ditabraknya di belokan koridor. Ternyata Dumai pergi ke lapangan, melatih Adik kelasnya untuk lomba paskibra minggu nanti. Entah apa yang di pikirannya saat itu, Digdaya dengan mudah dan tidak ada rasa canggung mencoba membuka obrolan dengan Dumai----meski cowok itu tahu jika Dumai tidak akan pernah bermanis ria kalau dengan dirinya. Namun, ternyata usahanya berujung hasil. Walau masih dalam sikap ketusnya Dumai sudah mau berbasa-basi dikit bahkan bertanya balik yang sialnya malah berakhir seperti ini. Salah Digdaya memang yang terlalu bodoh untuk mengungkit topik permasalahan mereka berdua.
Digdaya sangat yakin, jika seperti ini bukannya semakin menipis benteng pertahanan yang Dumai pasang, malah semakin tinggi dan tebal saja.
"Eh, udahan?" Digdaya menghentikan nostalgianya, ketika melihat Dumai yang siap berlalu dari kamar mandi.
Dumai yang baru saja melangkah dikit ke luar menoleh, ketus dia menjawab, "Ngapain lo? Kamar mandi sekolah sekarang bayar?"
"Buset disangka tukang jaga kamar mandi gue," bisik Digdaya prihatin dengan dirinya sendiri. "lo kenapa?"
Dumai hanya mengernyitkan dahi. Dirasanya pertanyaan Didaya itu tidak berbobot dan mengandung arti positif lainnya jika dia menjawab.
"Nggak!" dengan cepat Dumai mengelak. "ngapain juga gue tangisin?"
"Dumai, tadi Al whatsapp gue. Dia bilang apa sama lo? Kenapa lagi dia?" Digdaya memberondong Dumai dengan pertanyaan mematikan.
Berusaha tidak termakan umpan Digdaya, Dumai menghela napasnya. Cewek itu memandang cowok di depannya dengan pandangan datar. Sejujurnya Dumai ingin pergi dari situasi seperti ini, tapi dia yakin jika Digdaya tidak akan semudah itu membebaskannya hingga mendapat jawaban yang memang sudah cowok itu tebak sebelumnya. Maka, sekarang Dumai kembali menjadi Dumai yang selama ini warga sekolah ketahui----Dumai yang antipati bahkan membenci Digdaya.