[]
Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring, bunyi kursi yang ditarik Mama antara kayunya dengan lantai keramik, suara kriuk yang dihasilkan Papa ketika sukses menggigit kerupuk garing, dan lafalan 'dug' pada kata bedug yang kuciptakan karena mempertemukan gelas dan permukaan meja, adalah sedikit yang bisa kudeskripsikan tentang apa yang kujalani sekarang.
Makan malam. Seperti keluarga-keluarga pada umumnya, keluargaku pun ikut memberi setidaknya setengah jam di malam hari untuk berkumpul di meja makan dan menyantap beberbagai hidangan yang Mama masak atau terkadang Papa beli di luar. Meskipun lebih banyak fokus pada makanan, tapi Papa sesekali menyempilkan berbagai obrolan, seperti saat ini contohnya: Papa baru saja bertanya 'lagi' soal jurusan apa yang nanti akan aku ambil di sbmptn.
"Oseanografi. Papa sarankan kamu ambil itu, walau nggak sejalan sama jurusan kamu di SMK sekarang, tapi bisa kalau kamu udah paham dengan soalnya. Masuk saintek itu, kamu udah belajar 'kan?"
Terhitung sejak aku kelas sebelas semester dua. Tiap harinya Papa selalu meracuniku dengan memberi jurusan-jurusan perkuliahan----yang kata Papa akan membawaku pada masa depan cerah secerah mentari siang, entah itu dari soshum atau saintek. Padahal bidang yang aku tekuni di SMK masuknya ke soshum, tapi aku----lagi-lagi diracuni oleh materi saintek dari beberapa buku dan situs web yang Papa daftarkan untukku mempelajarinya.
"Sudah, tapi Dumai fokus ke soshum. 'Kan sudah belajar duluan daripada saintek," jawabku sambil mencomot satu kerupuk milik Papa.
Menjadi siswi SMK membuatku sadar jika persenan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lewat jalur snmptn tidak gampang. Cuma 40% ditambah sekolahku swasta meski akreditasi Satu Nusa itu 'A' tapi tidak menutup kemungkinan untuk aku gagal nantinya. Maka dari itu, sejak kelas sebelas semester pertama aku sudah terlebih dahulu mencoba menguasai materi soshum seperti yang aku minati.
Papa mengangguk lemas, beliau mengedikkan bahunya sambil cemberut dan berkata, "Papa maunya kamu di Oseanografi, jurusannya belum banyak yang minat, tapi peluang kerjanya besar di masa depan. Perihal gaji nggak usah ditanya lagi! Gede. Cukup untuk hidup di Jakarta yang keras."
"Dumai nggak terlalu suka, Pa. Lagian Dumai nggak minat kerja neliti laut. Papa tahu 'kan kalau Dumai terobsesi untuk kerja di perkantoran? Itu lho Pa, yang gedungnya tinggi-tinggi."
"Di Sudirman ya, Mai?" Mama menyimpil di obrolanku dengan Papa.
Aku menatap Mama sambil mengangguk antusias. "Iya! Ish, Mama tuh tahu banget anaknya sih?"
Mama hanya tertawa. Sementara aku mulai membayangkan gedung yang berjejer rapi di jalan sekitaran Sudirman yang selalu aku temui dan kupandang kagum kalau aku sedang mengikuti car free day----gedung yang seolah ingin menyentuh sang langit. Satu dalam bayanganku: indah. Meskipun aku tahu, cita-citaku sangat tidak masuk dalam kategori cita-cita anak lainnya, seperti profesi pada umumnya. Namun, bagiku menjadi orang kantoran itu keren, dan aku ingin membuat nyata impianku sejak SMP itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badmeandone!
Teen FictionDumai adalah gadis biasa, yang lebih tahu berapa skor yang didapatkan para pemain bulu tangkis di segala turnamen daripada jadwal update film romansa terbaru yang akan tayang di bioskop. Dumai menjadikan pebulu tangkis andalannya sebagai junjungan d...