Chapter 2

13.4K 365 9
                                    

Melupakan nyatanya tak semudah itu. Perasaan terbiasa bersama selama tiga tahun membuatku selalu teringat tentang Abi.

Setelah ini semua kenangan tentang Abi akan kulupakan termasuk membuang semua barang pemberiannya.

Perasaan marah, sedih, kecewa tiba tiba menyeruak kembali saat satu persatu foto dirinya muncul di timeline instagramku seakan siap memunculkan kembali kenangan yang tak ingin kuingat ingat.

Badanku terlonjak ketika seseorang mengetuk pintu kamarku. Reflek kuhapus butiran air mata yang tiba tiba jatuh di pipi.

Tak lama pintu terbuka lebar menampakkan sosok tampan adikku dengan kaus dan celana pendeknya kini tengah menatapku lembut, ia seolah tau pikiran kakaknya kini sedang tidak waras.

"Kenapa Al?"

Aldo menghampiriku, "Lagi ngapain ? Yuk keluar"

Aku tersenyum, ajakan untuk menghiburku pasti. Aku masih diam gak tertarik ajakan darinya.

"Ayolah"

Aldo mejatuhkan tubuhnya di atas kasur empukku sementara matanya tak lepas mengawasi gerak gerikku.

Aku terkekeh.

Mungkin dia pikir kakaknya ini akan melakukan hal gila kalau tidak segera dihibur. Harus ku akui jika Aldo sebenarnya adalah cowok yang lumayan peka. Dan tiba tiba aku sedikit iri dengan Lia. Pasti ia sangat bahagia punya pacar seperti Aldo.

"Aku pengen punya pacar kaya kamu deh boo" aku menyentuh kedua pipinya, merasai halus kulit wajahnya yang gak kalah dengan pantat bayi. Sudah lama sejak terakhir aku memperlakukannya seperti anak kecil.

Mata Aldo masih memperhatikanku. Ia sedikit menoleh untuk menyembunyikan senyum tipisnya.

Tangannya terangkat kukira ia tidak suka kusentuh. Namun yang terjadi adalah justru kini ia melingkupi tanganku yang menangkup pipinya.

"Mending cuek tapi sebenernya baik, daripada romantis tapi tega" ujarku menarawang, sedikit terselip curhatan pribadi karena memiliki pengalaman yang menyakitkan.

Adikku tersenyum.

Ia merengkuh tubuhku seolah memberiku ketenangan. Tidak ada yang kudengar lagi saat ini selain irama detak jantungnya.

"Love you .... Rani"

Aku mendongakkan wajahku menatap Aldo sambil mengangguk, kubisikkan lembut di telinganya.

"Thankyou for being my brother Al"

***

Jam menunjukkan pukul enam pagi ketika dering telpon ponsel Aldo membangunkan ku. Mataku menyipit menatap sosoknya yang masih terlelap di sampingku. Semalam kami menghabiskan waktu dengan marathon film sebelum akhirnya ketiduran.

Aldo sama sekali tidak menggubris sebelum panggilan yang ke tiga akhirnya ia terbangun dan sedikit tersentak saat melihat layar ponselnya.

"Ya?"

Matanya menyipit saat aku membuka tirai jendela kamar. Aku menuju ke balkon dan menghirup udara bersih sebanyak banyaknya. Mengabaikan Aldo yang mulai mengobrol santai dengan Lia.

Aku tersenyum saat Aldo merespon Lia dengan perhatian yang sama.

Mataku terpejam seolah berkonsentrasi untuk membuang semua energi jahat dan siap menghadapi tantangan hari ini. Semalam Abi mengirimiku pesan kalau dia akan nekat mendatangiku jika aku tetap mengabaikan whatsapp maupun telponnya.

Mataku terbuka ketika menyadari tubuhku dilingkupi oleh Aldo. Aku tidak tahu sejak kapan ia menyudahi percakapannya di telpon. Tangannya mendekap perutku sementara wajahnya ia sandarkan di bahu kananku. Aku tersenyum. Tidak bisa dipungkiri dekapan Aldo memberikan kekuatan untukku.

"Lia minta ditemenin ke ultah temennya nanti malem"

Aku mengangguk paham.

Untuk beberapa saat kami tidak berbicara lagi. Seolah sibuk dengan pikiran masing masing. Hanya nafas Aldo yang kurasakan semakin mendekat.

Badanku membeku saat Aldo mengecup pelan leherku kemudian disusul dengan kecupan kecupan seringan bulu di sepanjang garis leherku hingga membuat kepalaku perlahan memiring seakan membuka akses lebih padanya. Mataku terpejam, aku malu mengakuinya namun perlakuannya saat ini membuat jantungku makin berdebar.

Aku tidak tahu kenapa aku membiarkannya padahal jelas jelas ini perbuatan yang salah.

"Al..." Tubuhku sedikit menggelinjang menahan geli. Nafas Aldo sedikit berat.

"Aku... mau siap siap ke kantor"

Aku berusaha melepaskan diri. Namun yang terjadi adalah ia semakin mengencangkan pelukannya.

Hingga beberapa menit kemudian dekapannya lepas, tanpa ucapan apapun ia meninggalkan kamarku.

Aku menatapnya pergi. Ia bahkan tak menoleh lagi saat aku memanggilnya.

***

Siang ini aku tidak sengaja melihat Abi sedang makan siang bersama teman teman kantornya. Mataku kembali memanas saat menyadari ia sedang memakai kemeja pemberianku. Sepertinya aku terlambat kabur karena kini mata Abi sudah menangkap sosokku.

"Ran"

Abi memanggilku. Dadaku tiba tiba terasa sesak, rasa kecewa dan sedih tiba tiba menyeruak hingga membuatku hanya bisa terdiam menahan tangis alih alih meneriakinya dengan lantang.

Langkahku terhenti saat cekalannya di tanganku mengetat.

"Ran lihat aku"

"..."

"Aku pengen kita ngobrol"

Stop jadi orang pengecut Rani, sekarang waktunya kamu hadapi ketakutanmu. Pria ini yang sudah menyia nyiakan perasaan tulusmu.

Aku memberanikan diri untuk berbalik menatapnya. Mengabaikan rasa kangen dan kebutuhan untuk memeluknya seperti biasanya.

Aku tersenyum tipis seolah tidak ada yang mengubahku karena kepergiannya.

"Maaf tapi menurutku semuanya sudah jelas. Aku akan lupain semuanya karena ini bukan masalah besar. Dunia ga akan berhenti berputar karena Abi meninggalkan Rani. Tolong jangan temui aku lagi"

Aku kembali berbalik dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu dengan degup jantung yang berdebar keras.

Rasanya seperti kau melepas beban berat di pundakmu. Rasanya lega namun juga melelahkan. Kakiku merasa lemas seolah tidak mampu menyangga tubuhku. Kuputuskan untuk mencari pegangan pada pinggir tangga dan menormalkan nafasku.

Ponselku bergetar.

Dan saat melihat nama Aldo yang terpampang di layar ponselku tiba tiba jantungku kembali menggila, apalagi teringat kejadian tadi pagi. Dengan konyolnya aku menikmati kecupan Aldo di leherku.

Cepet pulang. Aku masak.

Singkat padat dan jelas, sangat Aldo bangett..

Bagaimana aku harus menghadapi Aldo setelah kejadian tadi pagi. Ia bahkan tidak mau menoleh saat kupanggil. Se aneh apapun keadaannya nanti aku harus tetap menghadapinya, karena sejak kecil kami saling ketergantungan.

Ayah dan mama meninggal karena kecelakan saat aku SMA dan Aldo SMP. Entah mereka memiliki firasat akan meninggalkan dunia ini, sebelum malam kepergiannya mereka mengungkapkan fakta bahwa sebenarnya Aldo adalah anak angkat mereka. Dengan kata lain kami tidak terikat hubungan darah.

Sulit bagi anak seusia Aldo untuk menerima kenyataan ini, begitupun aku. Ia meninggalkan rumah untuk menenangkan diri. Dan saat ia pulang ia hanya bisa melihat tubuh orang tua angkatnya terbujur kaku di peti mati.

My Lil BroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang