Apa ada yang pernah berkata kalau seorang lelaki suka mengunjungi taman bunga, dia bukan lelaki?
Karena Gilang siap melawan jika ada yang mengatakan itu.
"Lang,"ㅡmenunjukkan dua buket bungaㅡ"Ini, atau ini?"
"Atau,"
Adira mendengus, "Yang bener!"
Gilang mengalihkan pandangan ke dua buket bunga yang Adira genggam. "Kanan, itu Baby's breath?"
Adira memasang wajah datar. "Forget-me-not,"
"Ah iya, maksudnya itu,"
Mereka menuju kasir untuk mengambil alih kepemilikan buket bunga Forget-me-not yang Adira genggam.
"Terima kasih, tuan dan nona, semoga kalian tidak melupakan satu sama lain." tutur wanita lansia yang menjadi kasir di taman bunga tersebut.
Adira mengangguk penuh semangat, cukup untuk mewakili respon Gilang.
✾
Mereka tengah duduk di bangku taman, dikelilingi bunga matahari. Anak kecil berlarian, beberapa diantaranya meniup gelembung.
Saat itu pukul 10 pagi, dan keduanya merasa seperti lansia.
"Disini ada yang jual gelembung?"
"Sepemikiran kita, Dir,"
Adira dan Gilang menatap satu sama lain, "Yang ini sepemikiran juga, ngga?"
"Ngikut aja,"
Salah besar untuk Gilang.
"Dek, mau ikut main gelembung dong!"
Gilang memalingkan muka.
Adira...
"Kakak bisa niup gelembung kayak gini?" anak kecil yang disapa sang puan mulai meniup gelembung, menghasilkan bentuk hati.
Adira terkagum, "Wah, ajarin dong!"
"Gini kak,"
Adira segera duduk di samping anak kecil yang tengah mengajarinya beralaskan tanah. Ia memerhatikan dengan seksama sampai Gilang tidak bisa menahan senyumannya.
Siapapun juga tahu gelembung tersebut akan berbentuk hati dari awal, tapi sepertinya Adira ingin anak tersebut merasa bangga.
Gilang berjalan menuju sang gadis dan anak kecil tersebut, "Dir, ninggalin nih?"
"Eh iya, sini duduk!"
Anak kecil itu menatap Gilang, membuatnya bingung. Setelahnya ia berhenti mengajari Adira.
"Kak, sebentar,"
Anak itu meninggalkan Adira dan Gilang menuju kerumunan anak kecil lainnya.
Adira tersenyum, "Lucu kali ya kalau kita temen dari kecil?"
"Kita temen?" balas Gilang dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat.
"Hm, apa ya?" goda Adira.
Ketukan pelan dari telapak tangan Gilang yang dikepal mendarat di puncak kepala sang puan.
Adira merengkuhkan kaki, "Aku jadi kepikiran, gimana kalau..."
Lagi-lagi, pembuka yang paling dikhawatirkan.
"Kita lupa satu sama lain?"
Gilang tersenyum tipis, "Ngga mungkin,"ーmenoleh ke Adiraー"Karena saya bakal nulis hari baru, dan kamu pasti selalu ada disana."
Adira tak menjawab, ia hanya mengistirahatkan kepalanya di bahu Gilang.
"Andai kamu nulis hari baru itu lebih cepat, Lang,"
Gilang mengelus puncak kepala Adira, perlahan menuju pipinya.
"Maaf ya, aku terlambat,"
"Ngga apa-apa,"ーmemeluk lengan Gilangー"Sekarang udah lebih dari cukup, kok,"
Fokus keduanya beralih kepada anak kecil tadi yang kini berlari menuju posisi mereka, tapi...
Beberapa anak lainnya juga berlari mendekati mereka berdua. Lelaki dan perempuan.
Adira terkesiap, "D-dek, gelembungnya?"
Anak kecil itu membuka tutup mainan gelembungnya, "Kita ajarin sekarang kak!"
Gilang yang masih kaget spontan berucap, "Kenapa banyak banget..."
Anak kecil itu menoleh kepadanya, menjawab dengan polos.
"Aku bilang ke mereka ada kakak yang cantik dan ganteng,"
Sekitar Adira dan Gilang ramai oleh suara anak kecil menyiapkan gelembungnya, sementara mereka hening.
Anak-anak ya...
Tak perlu waktu lama untuk keduanya tertawa lepas karena kepolosan anak tersebut. Meski bingung, anak kecil itu ikut tertawa.
Begitu saja, Adira dan Gilang mendapat pelajaran mengenai cara meniup gelembung berbagai bentuk oleh 10 anak-anak di tengah kerumunan bunga matahari.
♡
-5 / ∞
ongoing.ㅡ a few chapters left before the ending! ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
ETERNALAST.
Short StoryKetika Gilang terbangun untuk hidup dalam kenangan. Feat. WJSN Eunseo © erranteile, 2018