Segera setelah aku menggambarkan situasi yang kulihat, Presdir Oh keluar dari balik meja kerjanya. Ia berjalan ke arahku, berhenti dengan menyisakan jarak kurang lebih satu jengkal dariku sementara tangan kanannya terangkat, menangkup area garis rahang dan pipi kiriku. Dia berkata dengan lembut dari bawah bulu matanya, "Sekretaris Bae, bernafas.."
Saat itulah aku langsung sadar bahwa aku masih kesulitan untuk mengatur nafas. Dan nafasku serasa terhenti ketika tanpa kuduga Presdir Oh mencondongkan tubuhnya ke sisi sebelah kananku.
Presdir Oh.. Bagaimana mungkin aku bisa bernafas jika jarak kita serapat ini?
"Holyshit! Is that a zombie? That is a fucking zombie!"
Aku pikir Presdir Oh bermaksud untuk memelukku, tapi ternyata dia hanya ingin melihat situasi di bawah sana lewat bahu kananku.
'Apa kau berharap dia memelukmu?' Suara di belakang kepalaku bertanya dengan lancangnya.
'Tentu saja tidak!' Bentakku secara mental.
'Mmhm.. Ruam hangat di pipimu mengatakan halo.' Suara itu tak mau mengalah.
Ugh, aku kehabisan akal untuk menyanggah dan memutuskan untuk mendorong dada Presdir Oh. Aku tidak menyadari bahwa doronganku terlalu kencang sampai aku melihatnya terjungkal ke belakang. Mendarat dengan mulus menggunakan pantatnya. "Presdir Oh!" Mataku membesar.
"What was that for?!" Ia menatapku kesal sambil mengusap-ngusap cepat pantatnya yang mungkin —maksudku, sudah pasti— terasa sakit.
"Maafkan saya, Presdir Oh." Aku mati-matian menahan tawa dan menghampirinya untuk membantunya berdiri.
"Kau beruntung karena kau terlalu kompeten untuk kupec—"
Bunyi sirine penanda keadaan darurat terdengar di seluruh gedung kantor. Aku dan Presdir Oh sama-sama membeku, saling tatap untuk beberapa detik sebelum kulihat pupilnya membesar. Ia menarik pergelangan tangan kiriku menuju meja kerjanya sampai aku hampir kehilangan keseimbangan. Beruntung aku tidak memakai sepatu hak tinggi hari ini.
Presdir Oh menekan empat digit angka sampai terdengar bunyi 'klik' dari laci besar meja kerjanya. Aku tak bisa melihat isi laci itu tapi pupilku membesar ketika melihatnya menyelipkan sebuah pistol ke bagian belakang. "I didn't know you own a gun—", aku sedikit menganga ketika melihatnya mengeluarkan dua buah pistol lagi dari dalam laci, "with 's'.." Tambahku dengan nada pelan.
Aku tak pernah menyangka Presdir Oh menyimpan cukup banyak pistol di meja kerjanya. Maksudku, untuk apa? Setahuku ia tidak punya musuh dalam urusan bisnis. Semua kolega bahkan juga saingan sangat menghormatinya.
Ia menyodorkan satu padaku. Aku hanya menatap benda hitam jelmaan malaikat maut itu dengan ngeri.
"Apa kau bisa menembak?"
"Are you kidding?!" Aku menatap wajahnya dengan horor. "Setelah lulus SMA saya langsung bekerja disini, dan saya tidak punya waktu untuk mengikuti kursus menembak —not that I had any money for it anyway.."
Ia mendorong pistol itu pada tangan kananku, memaksaku untuk menggenggamnya. "Well, kelihatannya kau harus belajar menembak secara otodidak mulai sekarang."
Mau tak mau aku melingkarkan jemariku pada benda itu, terasa dingin dan lebih berat dari yang kuduga. "Why do we even need this?" Tanyaku.
"Because I'm positive that we're about to face a freaking zombie apocalypse."
Pupilku lebih melebar lagi —jika itu mungkin. Ingatanku kembali tertuju pada si polisi yang menyerang pria malang di bawah. Bukan hanya menyerang, tapi polisi itu juga memakan hidungnya. Tak mengejutkan jika polisi itu adalah seorang zombi. Maksudku, bisa saja polisi itu hanya sebatas seorang kanibal, tapi dari film-film yang pernah kutonton atau dari buku-buku yang pernah kubaca aku ragu seorang kanibal akan menyerang targetnya di tempat terbuka seperti itu. Para kanibal biasanya digambarkan selalu mempunyai strategi yang bersih dan brilian dalam setiap aksi mereka. Jadi, besar kemungkinan bahwa polisi itu memanglah seorang zombi.
"Lihat aku."
Aku kembali fokus pada Presdir Oh, ia telah bersiap dalam posisi menembak. Pandanganku menelusuri target tembaknya dan berakhir pada vas bunga di sebrang ruangan. Beberapa detik kemudian sebuah peluru melesat menuju vas bunga itu. Alisku bertaut. Pertama, tak ada suara tembakan sama sekali. Kedua, vas bunga itu tidak tergores sedikitpun. Aku mengangkat sebelah alis menatapnya, meragukan kemahirannya dalam menembak.
Merasakan tatapanku, ia menoleh dan mengikutiku mengangkat sebelah alisnya. "Apa?"
"You missed." Aku mengatakannya menggunakan nada seorang guru TK ketika sedang menjelaskan sesuatu yang sudah jelas pada muridnya.
"I didn't." Sekarang ia mengangkat kedua alisnya sebelum tertawa. Ia berjalan melewatiku, mengangkat vas bunga berisi lili imitasi dan menunjuk lili itu dengan telunjuknya.
Aku memicingkan mata dan berhasil menangkap sebuah lubang peluru tepat di tengah-tengah bunga itu. Mataku beralih pada dinding di belakangnya, sebuah peluru melesak ke dalamnya. "Saya kira anda menargetkan vas bunganya.."
Ia hanya menggeleng kecil sambil kembali menghampiriku.
"Kenapa pistolnya tak mengeluarkan suara tembakan?" Tanyaku.
"Semua pistol milikku memiliki peredam."
Mulutku membentuk huruf 'o' tanpa suara.
"Sekarang giliranmu." Aku menatapnya seolah ia tengah berbicara menggunakan bahasa alien. "Coba tembak angsa itu."
Aku memperhatikan sebuah lukisan danau dengan seekor angsa yang tengah berenang di permukaan riak airnya. Perlahan aku memposisikan diriku seperti yang ditunjukan Presdir Oh tadi. Aku mengunci targetku, menahan nafas, tapi kemudian aku menurunkan lenganku. "Saya tidak bisa.." Aku menggeleng menyerah.
"Kau bisa." Presdir Oh berdiri sangat dekat di sisi kananku, mengangkat lenganku kembali ke posisi siap menembak. "Now pull the trigger."
Aku menghela nafas untuk menenangkan diri sebelum kembali mengunci targetku. Tak ingin mengulur waktu —karena itu hanya akan membuatku semakin ragu—, akhirnya aku menarik pelatuknya. Dalam sekejap mata peluru itu menembus sosok angsa pada lukisan, menyisakan sulur-sulur retakan pada kaca lukisannya.
"First try!" Aku menatap senang Presdir Oh.
Presdir Oh terkekeh. "See? Kau selalu cemerlang dalam segala hal, Sekretaris Bae." Ucapnya. Ia mengacak rambutku dan aku pikir ada yang salah dengan cara jantungku berdegup.
Ini tidak benar. Dia adalah seorang laki-laki.
'Yeah, but he's not just a man he's, like, a fucking gentleman! Stop generalizing people!' Suara di balik kepalaku muncul lagi, dan kurasa ia tengah memutar matanya saat ini.
'I don't know! Just shut the fuck up!'
"Tak apa jika kau tidak menyukai pujian, Sekretaris Bae. But you didn't need to snap at me.."
Aku melipat bibirku mendengar Presdir Oh. Crap, apa tadi aku mengatakan suara hatiku lewat mulut?
***