Setelah turun dari bis, alas sepatuku bertemu dengan jalanan basah. Semalam hujan deras, dentum petir terdengar di sana-sini. Dan kurasa aku harus berterima kasih pada Presdir Oh, karena tanpa kuduga, suara hembusan nafas teraturnyalah yang berperan sebagai ASMR dan menenangkanku hingga berhasil mengirimku pada tidur yang berkualitas.
Ketika aku melewati LED besar yang menyuguhkan tayangan berita bagi para pejalan kaki selama 24 jam, aku baru tahu bahwa hujan deras semalam ternyata dibarengi oleh badai di beberapa kota. Aku dan beberapa pejalan lain berhenti ketika berita baru muncul. Mereka melaporkan tentang penemuan tiga mayat berjenis kelamin laki-laki tanpa identitas, bahkan tanpa busana, di dalam salah satu gereja di sebelah timur kota. Mereka bilang sosok ketiga mayat itu berperawakan tinggi besar, seperti, tinggi yang benar-benar tidak manusiawi. Mereka menyertakan beberapa gambar yang telah diburamkan dan aku memutar mata. Maksudku, jika gambar-gambar itu memang tidak untuk konsumsi publik lalu apa gunanya mereka menyelipkan gambar-gambar itu ke dalam laporan berita mereka?
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling dan sedikit terkejut melihat cukup banyaknya orang-orang yang tertahan oleh berita itu, sama sepertiku. Aku melihat jam tangan dan segera menyelip di antara mereka, berusaha untuk menembus kerumunan yang masih tertarik pada berita tadi. Apa orang-orang ini tidak takut telat dan dimarahi oleh para superior mereka? Aku mengangkat bahu, memutuskan untuk tidak peduli.
Aku memacu cepat langkahku dan mulai melambat setelah bisa melihat kantor pusat Ohail Group yang menjulang tinggi dengan elegannya dari kejauhan. Gedung tempatku bekerja itu didominasi oleh marmer putih dan kaca, menegaskan kesan futuristik yang dimilikinya.
Aku berdiri di depan lobi, menanti kedatangan Presdir Oh. Seorang karyawan magang dengan rambut lurus di bawah bahu, berponi, menyapaku dengan ceria. Sesekali ia menoleh kembali ke arahku, menatapku dengan sorot kagum sampai hampir bertabrakan dengan karyawan lain. Ck, manusia dan kelemahannya pada keindahan dunia.
Bukannya aku menilai.
Maksudku, itu memang sifat alami manusia. Bahkan masa-masa awal saat aku pertama bekerja di sini pipiku selalu merona setiap kali berhadapan dengan Presdir Oh dan ketampanannya yang tidak masuk di akal, apalagi bentuk tubuhnya yang seolah dipahat oleh dewa-dewa Olympus sendiri. Jika kesempurnaan adalah kejahatan, maka Presdir Oh sudah pasti akan mendapatkan hukuman mati. Dan jika dia bukan seorang laki-laki, maka sudah pasti aku tak akan menahan-nahan diri untuk menjadi budak cintanya.
Aku bukan pecinta sesama jenis, hanya saja aku merasa jijik pada kaum laki-laki. Aku memiliki dendam pribadi terhadap mereka semua.
Laki-laki yang membuat ibuku melahirkanku meninggalkan ibuku begitu saja saat aku masih SD. Dan seolah laki-laki adalah sumber kehidupan, ibuku yang menyedihkan menjadi depresi, sakit-sakitan hingga meninggal, membuatku harus tinggal di panti asuhan sampai aku lulus SMA. Di SMA, aku memiliki satu-satunya sahabat, Kang Seulgi. Namun laki-laki yang ia cintai membiarkannya diperkosa ramai-ramai oleh teman-teman satu gengnya, sampai ia memutuskan untuk bunuh diri.
Sejak itu aku tidak mau memiliki urusan pribadi dengan yang namanya laki-laki. Mereka semua seolah memiliki wewenang untuk mengambil orang-orang yang kusayang. Walaupun aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, aku tidak punya pilihan lain selain untuk tetap waspada agar jangan membiarkan laki-laki manapun melangkah terlalu dalam ke dalam kehidupanku. Apa yang mereka bisa lakukan hanyalah membawa kehancuran.
Ah, mungkinkah hal ini yang membuat Presdir Oh juga menahan perasaannya padaku? Karena dia tahu aku membenci laki-laki?
"Kau kehilangan gravitasi lagi, Sekretaris Bae.. Padahal ini masih pagi.."
Aku mengerjap, melihat wajah Presdir Oh yang sejajar dengan wajahku. "Berkencan tidak akan mempengaruhi kinerjamu?" Ia kembali berdiri tegak, mendecakan lidahnya tiga kali. "Lihatlah kau sekarang."
Berkencan apanya! Bukankah semalaman ia tersambung denganku lewat telepon? Aku ingin protes, namun perhatianku tertarik pada pakaiannya. Ia memakai kemeja putih dengan setelan jas berwarna baby pink. Aku menunduk ke bawah untuk melihat kemeja putih dan rok mini berwarna senada dengan setelan jas Presdir Oh.
"Wow, aku baru sadar kita memakai pakaian yang serasi.."
Aku mengangkat wajahku, menatapnya yang tengah mengangkat alis. Kami bertatapan untuk sekian detik sebelum meledak dalam gelak tawa karena merasa situasi ini lucu —padahal tidak terlalu lucu. Aku menghentikan tawaku ketika menyadari karyawan lain yang baru datang menatap kami dengan penasaran dan memutuskan untuk mengajak Presdir Oh segera memasuki kantor.
Aku menghentikan langkahku ketika Presdir Oh berhenti di depanku tepat sebelum kami melewati Divisi Keuangan.
"...terlihat seperti selebriti! Apakah adil jika seorang manusia terlihat secantik itu?" Dari suaranya aku tahu bahwa dia adalah karyawan magang yang menyapaku di bawah tadi.
"Hah! Memang tidak adil dalam segala level! Aku yakin Sekretaris Bae bisa mendapatkan posisinya sekarang berkat wajah cantiknya itu!"
Aku mengepalkan kedua tanganku mendengar tuduhan konyol Bu Im. Selama ini dia memang selalu memberiku senyum penjilat dan melemparkan tinju ketika aku berbalik.
"Bu Im, jangan begitu!" Beberapa suara serempak menyerukan kalimat itu, terutama suara karyawan magang tadi, suaranya terdengar paling lantang.
"Hey, anak magang, apa kau tahu? Dulu aku juga mengikuti seleksi untuk menjadi Sekretaris dari Presdir Oh. Aku adalah lulusan universitas ternama, sedangkan dia hanyalah lulusan SMA. Kau pikir masuk akal jika dia yang lebih terpilih menjadi Sekretaris Presdir Oh dibandingkan ak—"
"Bu Im, ikut ke ruanganku."
Aku menelan kembali air mata yang hendak jatuh. Presdir Oh telah berjalan cukup jauh dan aku segera menyusulnya, melewati Divisi Keuangan. Aku mendengar beberapa orang dari divisi itu yang tersentak ketika melihatku namun aku hanya berjalan lurus.
"Sekretaris Bae, kau juga." Ucap Presdir Oh saat aku ingin berbelok ke mejaku.
Aku menaruh tasku dan memasuki ruangannya, berdiri di depan meja kerjanya. Dia tak mengatakan apapun tapi aku bersumpah aku bisa melihat awan mendung imajiner di atas kepalanya. Beberapa menit lalu ia tertawa lepas bersamaku, apakah sekarang suasana hatinya jadi turun drastis hanya karena salah satu bawahannya bicara yang tidak-tidak tentangku? Jika benar, maka tidak salah lagi, dia memang menyukaiku. Hanya saja, sayang sekali, aku tidak bisa membalas perasaannya walaupun aku ingin. Dia adalah Presdir Oh yang kukagumi ketampanan, kebijaksanaan dan wibawanya dalam memimpin perusahaan, namun dia tetaplah seorang laki-laki. Aku takut naluri bajingan laki-lakinya akan menyapaku suatu hari nanti jika aku lengah. Aku tidak ingin dikecewakan. Terutama olehnya.
Pintu terbuka dan Bu Im muncul dari baliknya. Ia tak pernah berani mengangkat kepalanya bahkan setelah ia berdiri di dekatku.
"Bu Im, aku ingin kau mencari toko sayuran organik. Dan untuk Sekretaris Bae," netra yang menatap Bu Im dengan sorot tajam itu melembut saat menatapku, "carilah galeri lukisan. Cari yang paling dekat dari sini. Jangan gunakan internet ataupun perantara. Kembali kemari dalam satu jam."
***
Saat aku berangkat untuk menjalankan perintah Presdir Oh, aku melewati LED berita lagi dan orang-orang yang berkerumun disana tidak kalah sedikit dari tadi pagi. Namun saat aku kembali, kerumunan itu bertambah sebanyak dua kali lipat. Aku penasaran dan mendongak untuk menyimak berita yang tengah ditayangkan. Di sana tertulis bahwa tiga mayat laki-laki di berita tadi pagi dikabarkan telah hidup kembali dan menyerang beberapa orang Tim Forensik. Aku ingin menyimak lebih lanjut namun waktu satu jam yang diberikan oleh Presdir Oh sudah hampir habis, memaksaku untuk segera kembali ke kantor.
***