Chapter 7 - Sky

591 114 6
                                    

Aku terbangun oleh suara Presdir Oh yang terdengar tengah berkomunikasi dengan suara robotik milik Sky. Sky adalah Artificial Intelligent eksklusif milik Ohail Group, hasil rancangan Presdir Oh sendiri, yang rencananya siap untuk diluncurkan ke publik dua tahun yang akan datang. Tapi mengingat kekacauan yang terjadi saat ini, aku yakin kecerdasan Sky tak akan pernah bisa dinikmati oleh khalayak ramai.

Sky sendiri tidak memiliki wujud. Sky terpasang di tempat manapun yang diinginkan oleh masternya; dalam hal ini Presdir Oh menjadikan Sky sebagai jiwa dari kediamannya. Sky bertugas untuk menangani hampir seluruh urusan internal dan eksternal mansion Presdir Oh. Dari mulai kebersihan, keamanan, sampai mengurusi ladang dan kebun minimalis di belakang mansion; aku tahu, aku terdengar seolah sedang membual tapi ini adalah kenyataan. Pernah sekali saat musim dingin usai, aku berkunjung ke sini dan tak sengaja menyaksikan Sky tengah mengolah ladang supaya siap tanam; ada sulur-sulur metalik di balik tanah yang tak terhitung jumlahnya. Mereka semua bekerja sama untuk membuat tanah menjadi gembur dan siap tanam. Tentu saja Presdir Oh yang bertugas menanam dan memanen tapi tetap menakjubkan mengingat Sky akan memberikan laporan mendetail tentang kondisi ladang dan kebun; entah itu adanya pembusukan, serangan hama, ataupun tentang kesiapan panen.

Satu lagi yang menakjubkan tentang Sky; dia hanya akan memberi respon pada suara sang master —kecuali sang master 'memperkenalkan' suara lain untuk diidentifikasi dan disimpan dalah program Sky. Pernah suatu hari Presdir Oh terserang flu. Suaranya berubah menjadi lebih seksi —maksudku lebih dalam dan sedikit serak; namun hebatnya, Sky masih tetap mengenali suara Presdir Oh.

"Survival Mode telah berhasil diaktifkan, master." Suara robotik Sky menggema di sekitarku, namun terdengar menenangkan. Sama sekali tak menganggu pendengaran.

"Terima kasih, Sky." Suara Presdir Oh terasa sangat dekat denganku. "Tolong siapkan kamar untuk Joohyun."

Mataku masih terpejam setengah tidur, namun sekarang aku mengernyit setelah mendengar Presdir Oh menyebutku dengan namaku, bukan dengan 'Sekretaris Bae' seperti biasa. Aku ingin mengatakan sesuatu namun aku sadar bahwa saat ini aku merasa seperti tubuhku tengah terayun-ayun. Aku membuka mataku dalam setengah detik hanya untuk disuguhi pemandangan rahang tegas Presdir Oh yang bisa digunakan untuk menyaingi ketajaman samurai para ninja. Aku ingin melarikan jemariku pada rahangnya namun takut berdarah.

'Bae Joohyun, berhenti berfangirl ria. Fokus. Saat ini kau tengah berada dalam pangkuan atasanmu sendiri.' Mataku melebar setelah mendengar pernyataan suara batinku.

"Presdir Oh," ia menurunkan pandangannya padaku dan aku berusaha untuk menjauhkan diri darinya walau itu tidak mungkin. Aku tidak mau ia mendengar detak jantungku yang saat ini tengah menggila, "put me down."

"What's the magic word?" Ia menyeringai kecil.

Aku berucap ragu, "Tolong...?"

Ia mengalihkan tatapannya dariku sambil menggeleng kecil, "Nuh-uh."

Sementara Presdir Oh terus berjalan membawaku bersamanya, otakku berputar memikirkan kata yang tepat. "Please?"

Ia terkekeh. "Joohyun, pada dasarnya 'please' adalah 'tolong' dalam Bahasa Inggris."

Aku memutar mata. "Saya tidak bisa memikirkan apapun lagi, Presdir Oh."

"Petunjuk; ternyata kiamat zombi memang benar-benar sedang terjadi. Dan kita telah membuat sebuah kesepakatan tentang ini sebelumnya."

Mendengar kata zombi aku tersadar bahwa ternyata kematian Sakura bukanlah bagian dari sebuah mimpi buruk. Aku ingin menangis namun terhenti ketika mendengar Presdir Oh menghela nafas. "You're supposed to call me by my name." Aku bisa merasakan kami menaiki tangga. "Dan berhenti bicara secara formal padaku."

Aku mengerang ketika mengingat kesepakatan kami di perusahaan tadi. "Baik. Baik." Ia menatapku sekilas dengan puas. "Se— Sehun," ia menahan senyuman yang hampir tercetak di bibirnya, "tolong turunkan... aku."

"Aku suka saat kau memanggil namaku." Kali ini ia tak menahan-nahan senyumannya. Tapi ia membuatku melebarkan mataku lagi ketika dia berkata dengan entengnya, "Baiklah, akan kuturunkan kau di tempat tidur."

"Curang!" Aku berusaha memukulnya dengan tanganku yang terbatas pergerakannya.

"Maaf, master."

Presdir Oh menghentikan langkahnya —aku menolak untuk memanggil Presdir Oh dengan namanya langsung dalam pikiranku, setidaknya dia tidak akan tahu.

"Pemanas ruangan dalam kamar tamu sedang bermasalah. Saya akan memperbaikinya dengan segera."

"Take your time, Sky." Ia menatapku lagi. "Sepertinya kau harus tidur bersamaku untuk malam ini."

Aku merasakan ruam hangat pada kedua pipiku ketika menyadari kata 'tidur bersama' memiliki makna ganda.

'Bitch, you're blushing.' Batinku meledek. Aku menjahit mulutnya secara imajiner berharap dia akan berhenti menjadi komentator yang tidak diperlukan.

"Tidak, terima kasih." Ucapku pada akhirnya. "Aku bisa tidur tanpa pemanas ruangan."

Presdir Oh melanjutkan langkahnya lagi untuk menaiki tangga. "Mansionku ini terletak di dataran tinggi, Joohyun. Menghabiskan malam tanpa pemanas akan membuatmu kedinginan. Dan aku tidak mengada-ada ketika aku berkata bahwa kedinginan di sini bisa membuatmu hipotermia."

Aku berusaha untuk mengelak lagi. "Aku bisa tidur di ruang tengah."

"In the couch? No way."

"Yes way."

Presdir Oh menghentikan langkahnya lagi, kali ini menatapku dengan alis yang bertaut. "Kenapa kau tidak mau tidur bersamaku? Aku tidak menggigit."

"Kau adalah atasanku."

Ia memutar mata. "Dalam situasi seperti ini kau masih memikirkan posisi atasan dan bawahan? Really, Joohyun?"

Aku menghindari tatapannya, memilih untuk memperhatikan kancing kemejanya yang mendadak terlihat sangat menarik. "Kau adalah laki-laki."

"Gee, thanks, it's such a big news! I thought I was a woman!" Sarkasme sangat kental dalam responnya.

Aku menggigit bibir bawah. "Kau tahu bagaimana perasaanku tentang kaum laki-laki, 'kan?"

"But I'm nothing like those douchebags from your past, Joohyun!"

Tatapanku bertemu dengan netranya yang mendadak kelam, sarat akan kemarahan yang didominasi oleh rasa frustasi. Aku melipat bibirku menjadi garis lurus. "Apa kau bisa memprediksi masa depan? Apa kau tahu pasti bahwa suatu hari nanti kau tak akan berubah menjadi seperti mereka?"

Tatapannya menjadi lembut setelah mendengar pertanyaanku, bukan, dia menatapku dengan terluka sekarang. "You just have to put a little faith in me, Joohyun.."

"Aku tidak bisa." Kugigit lagi bibir bawahku seraya menghindari pandangannya. "I don't want to risk it."

***

Nightmare Comes True | EXO SehunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang