Chapter 5 - Awal Dari Sebuah Akhir

506 110 19
                                    

"Kemasi hanya jika ada barang yang benar-benar penting."

Aku mengekori Presdir Oh keluar dari ruangannya. "Saya membawa cukup banyak uang tunai hari ini."

"Sekretaris Bae," Presdir Oh menoleh sedikit ke arahku, "dalam kiamat zombi, uang sudah tidak penting lagi. Manusia dan zombi tidak mungkin melakukan transaksi jual-beli, 'kan?"

"Tapi bagaimana jika ini bukanlah kiamat zombi?"

Presdir Oh berhenti tiba-tiba dan aku menabrak punggungnya. "Ingin bertaruh?"

Aku mengusap hidungku yang terasa akan patah. Itu punggung atau tembokan semen?

"Jika ini bukan kiamat zombi, aku akan menaikkan gajimu seratus kali lipat."

Aku membelalak. Itu hanya menunjukan dia sangat yakin bahwa yang terjadi saat ini adalah kiamat zombi. Jika tidak, mana mungkin dia berani mengambil resiko yang akan merugikan perusahaan?

"Tapi jika ini memang kiamat zombi, kau harus berhenti bicara secara informal padaku."

Dahiku mengerut protes. "Presdir Oh, itu akan sangat tidak sopan."

Setelah memastikan keadaan sekitar aman, ia berbalik padaku. "Bae Joohyun. Saat kemanusiaan mulai hancur, Ohail Group juga akan ikut hancur. Hubungan kita bukan lagi atasan dan bawahan, tapi partner dalam bertahan hidup."

"Lalu saya harus memanggil anda apa? Terasa aneh jika saya memanggil anda 'oppa'."

"Sebentar," ia merogoh salah satu saku belakang celananya, mengeluarkan sebuah koin, "kepala, kau harus memanggilku 'oppa'. Ekor, kau bisa memanggil namaku saja." Tanpa menunggu persetujuanku ia menjentikan koinnya ke atas lalu menangkupnya di punggung tangan. Ia menatap mataku saat tangannya perlahan terbuka; ekor.

"Tapi anda lebih tua lima tahun dari saya, Presdir Oh. Ini tidak benar."

"Call me 'oppa' then." Presdir Oh kembali membelakangiku, mengamati keadaan sekitar lagi.

Aku menghela nafas. "Tidak. Saya akan mematuhi aturan koin."

"Bagus." Walau aku tidak bisa melihatnya namun aku tahu dia tengah tersenyum puas saat ini. "Kau tidak mengemasi tasmu?"

Aku menggeleng, kemudian sadar bahwa ia tidak akan bisa melihat gelenganku."Tak ada yang penting. I'll leave it behind."

"Baiklah, ayo."

Saat mendekati belokan koridor, kami merapat pada dinding seperti cicak. Presdir Oh berada di depanku, ia mengisyaratkan 'aman' dengan tangannya lalu kami berbelok ke arah kanan. Tepat di sebelah kiri adalah ruangan Divisi Keuangan yang telah kosong-melongpong. Tapi aku mendengar isakan samar seorang perempuan. "Presdir Oh."

Ia menahan langkahnya, menoleh. "Ada apa?"

"Tunggu sebentar." Aku memasuki ruangan Divisi Keuangan, mengecek setiap kubikel sampai tiba di deret paling belakang. Aku melihat sepasang kaki dalam sepatu flat hitam. Setelah agak membungkuk, aku bisa melihat seseorang yang tengah menenggelamkan wajahnya di atas kedua lutut, tubuhnya bergoyang ke depan dan ke belakang. Aku berjongkok. "Hey." Ucapku.

Orang itu mengangkat wajahnya. Rupanya dia adalah karyawan magang yang kutemui tadi pagi. Matanya bengkak dan berair. "Sekretaris Bae?"

"Sekretaris Bae? Siapa?"

Aku menoleh pada Presdir Oh yang berdiri dengan waspada di luar ruangan, lalu kembali pada karyawan magang tadi. Aku mengulurkan tanganku. "Ingin ikut dengan kami?"

Tangannya gemetar ketika terulur menerima tanganku.

"Sekretaris Bae, kita harus bergerak cepat."

Aku menarik karyawan magang dengan cepat untuk berjalan menghampiri Presdir Oh.

"Sakura. Miyawaki Sakura."

Aku menoleh sedikit. "Namamu?" Aku melihatnya mengangguk dan aku tersenyum. "Cantik sekali." Ia menangkup pipinya yang memerah. Imutnya anak ini. Aku selalu ingin memiliki adik perempuan.

Aku mengikuti Presdir Oh yang memimpin kami menuju ruang kontrol. Pintunya telah terbuka. Aku membayangkan akan disambut oleh satu atau dua zombi tapi tak ada siapapun di ruangan ini.

"What the fuck.."

Aku mendekat pada Presdir Oh yang tengah mengamati monitor CCTV perusahaan. Situasi di lantai pertama dan lantai kedua benar-benar kacau. Orang-orang berlarian kesana-kemari. Dinding dan lantai marmer perusahaan yang berwarna putih menegaskan merahnya cipratan atau genangan darah yang terdapat di mana-mana. Bagian lobi yang keadaannya paling parah, namun terlihat sepi.

Aku berusaha menegaskan penglihatanku ketika segerombol karyawan mengerubuti sesuatu di koridor dekat ruang pertemuan.

"Zombi..?" Aku baru sadar Sakura juga tengah melihat monitor CCTV, berdiri di sampingku.

"They're so fucking fast.."

Aku mengangguk pelan menyetujui gumaman Presdir Oh. Di film-film aku memang sering melihat ada beberapa jenis zombi yang pergerakannya sangat cepat, tapi melihat langsung di dunia nyata benar-benar membuatku ingin buang air di tempat. Aku memiliki 'dua kaki kiri', aku tidak yakin akan bisa selamat seandainya mereka mengejarku. "So, Presdir Oh, do you have a plan in mind?"

Bibirnya membentuk garis keras sebelum ia menjawabku, "Pertama, kita harus pergi ke mansionku. Itu adalah tempat teraman yang bisa kupikirkan. Lalu kita bisa menyusun sebuah rencana atau apapun di sana."

Aku mengangguk setuju. Mansion Presdir Oh terletak di area terpencil, dikepung oleh perhutanan dan perbukitan. Aku yakin para zombi tak akan sampai ke sana.

"Mm.. Maaf, Presdir Oh, Sekretaris Bae, tapi saya tidak bisa ikut dengan kalian.."

Aku membelakangi monitor untuk menghadap Sakura. "Kenapa?"

Sakura menatapku tidak yakin, lalu menunduk memainkan kuku ibu jarinya. "Saya harus kembali ke rumah untuk memastikan bahwa keluarga saya baik-baik saja."

Keluarga... Satu-satunya hal yang tak kupunya. Aku penasaran apakah ayahku masih hidup sekarang. Akan melegakan jika dia telah berubah menjadi zombi. Setimpal untuknya.

"Kami akan mengantarmu." Aku melirk Presdir Oh dan ia memberiku tatapan tajam sementara Sakura menatapku dan Presdir Oh secara bergilir. "Benar, 'kan, Presdir Oh?"

Ia memutus tautan alisnya. "Dimana rumahmu?"

Sakura menyebutkan letak rumahnya dan itu berjarak sekitar satu jam lebih dari sini. Lebih parahnya, arah rumahnya berlawanan dengan arah menuju ke mansion Presdir Oh.

"Maaf, tapi sepertinya kami tidak bisa mengantarmu. Arahnya berlawanan dengan mansionku." Ujar Presdir Oh.

"Presdir Oh?" Aku menatapnya kecewa.

"Sekretaris Bae, akan memakan banyak waktu jika kita pergi ke rumahnya dulu sementara kita harus menuju ke tempat berlindung secepat mungkin sebelum kota ini sesak oleh zombi."

"Tapi—"

"Tidak apa-apa, Sek—"

"Tidak bisa begitu, Sakura." Aku memotong balik ucapan Sakura. Aku teringat padanya yang beberapa saat lalu terkena serangan panik. Jika aku membiarkan ia melakukan perjalanan sendiri, aku meragukan keselamatannya. Bahkan jika dilihat secara seksama, sekarang pun tubuhnya masih gemetar. Aku beralih menatap Presdir Oh. "Presdir Oh, saya akan ikut dengan Sakura."

"Apa?! Kau akan mencampakanku, Sekretaris Bae?!"

Aku mengangkat alis, terheran dengan kata 'mencampakan' yang dipilihnya. "Jika anda tidak bersedia untuk mengantarnya, apa boleh buat." Aku mengangkat bahu.

Dia hanya terdiam, mulutnya menganga menatapku, ia seperti mengirimiku telepati tapi aku tidak bisa menangkap maksudnya. Lagipula aku tidak ingin bernegosiasi lagi, keputusanku sudah bulat. Beberapa saat kemudian ia menghela nafas. "Baiklah.. Aku akan ikut bersamamu untuk mengantarnya."

Aku menyeringai kecil. "Alright then. Now what?"

"Kita harus ke parkiran untuk mencari mobilku." Jawab Presdir Oh.

"Mm.. Presdir Oh," aku mengernyit, "bukankah tadi pagi anda diantar oleh Pak Kim?"

***

Nightmare Comes True | EXO SehunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang