"You're so stubborn.." Presdir Oh menarik nafas yang sangat, sangat panjang sebelum kembali melangkah. Kami mencapai ujung tangga, berjalan beberapa langkah lagi ke arah kanan hingga kami sampai di depan pintu putih dengan gagang perak.
"Sky, buka pintu." Aku mendengar suara 'klik' kecil sebelum pintu terbuka dengan sendirinya.
Suhu ruangan benar-benar berubah drastis ketika Presdir Oh membawaku memasuki sebuah kamar dengan dekorasi serba putih. Aku tak pernah memasuki kamar ini walaupun aku memang cukup sering mengunjungi mansion Presdir Oh, biasanya selalu pada hari-hari akhir pekan di siang hari saat Presdir Oh membutuhkanku dalam berbagai urusan perusahaan yang mendesak. Atau saat Presdir Oh sakit seperti waktu terserang flu tempo hari.
"Jika kau membutuhkan apapun, kamarku ada di sebelah." Presdir Oh menempatkanku di atas tempat tidur. "Sekarang istirahatlah. Sudah hampir tengah malam. Selamat tidur." Setelah mengatakan itu ia keluar dari kamar ini.
Aku mengusap-usap lenganku merasakan dinginnya suhu ruangan, lantas menarik selimut dan bergelung di dalamnya. Dan bahkan selimut di ruangan ini pun berubah menjadi dingin.
Beberapa menit berlalu, aku masih berusaha untuk tidur namun gigiku malah gemeletuk kedinginan. Akhirnya aku menyerah. Aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dengan selimut yang kulingkupkan lewat belakang.
Aku membuka pintu perlahan, lalu keluar dan melangkah ke ujung tangga. Aku berniat untuk tidur di ruang tengah, namun setelah kuperhatikan, suasana di lantai bawah membuat bulu kudukku berdiri. Aku menarik langkahku dan beralih menuju pintu kamar Presdir Oh. Aku berdiri di sana selama beberapa detik, tangan telah mengambang di udara, namun aku masih ragu untuk mengetuk. Setelah menarik nafas beberapa kali dan meyakinkan diri, akhirnya aku mengetuk permukaan pintu kamar Presdir Oh.
Aku mendengar pintu lain di dalam sana terbuka dan tertutup, lalu pintu di depanku terbuka. Aku melihat rambut Presdir Oh yang masih basah, beberapa tetes air mengalir dari ujung rambutnya di kening juga lehernya. Tatapanku turun, melihat Presdir Oh yang tengah menatapku sementara tatapanku terus turun menuju dada bidang dan lengan kekar. Lebih ke bawah lagi, aku bisa melihat otot perutnya yang tersusun dengan baik, juga handuk putih yang melilit rendah di pinggangnya.
"Like what you see?"
Aku tersentak, secepat mungkin kembali memfokuskan penglihatanku pada wajahnya yang saat ini tengah memberiku seringai menggoda. Mengabaikan rasa hangat di pipiku, aku langsung bertanya, "Boleh aku tidur denganmu malam ini?"
Presdir Oh mengangkat alisnya. "Dengan senang hati. Tapi," ia menjeda ucapannya, alisnya bertaut, "aku tidak punya stok kondom, kuharap kau tidak keberatan bermain tanpa pengaman." Ia menaik-turunkan alisnya.
Aku hampir menendang kedua bola masa depannya jika saja aku tidak segera teringat bahwa ia adalah tuan rumah dan aku masih sangat membutuhkan perlindungannya untuk menghadapi dunia yang kegilaannya makin parah ini. "Maksudku adalah 'tidur' secara literal, Tuan Otak Mesum.." Aku berucap dengan sabar.
"Maafkan aku." Ia menunjukan deretan gigi rapinya. "I didn't know that it's fun as hell to annoy you." Ia memperlebar ruang masuk dan mundur sambil mempersilahkanku untuk memasuki kamarnya.
Pada dasarnya, kamar Presdir Oh memiliki nuansa yang sama dengan kamar tamu. Putih, bersih, tanpa cela. Hanya saja memiliki furnitur dengan ukuran yang lebih besar dan lebih lengkap. Oh, dan gorden kamar ini berwarna hitam.
"Kamar mandi ada di sana."
Aku berbalik dan Presdir Oh tengah menyodorkan beberapa lipat pakaian, aku menerimanya sambil menggumamkan terima kasih. Setelah menaruh selimut yang kubawa dari kamar tamu ke atas tempat tidur, aku memasuki pintu kecil di sudut kamar.
"Joohyun. Stok sikat gigi ada di kabinet sebelah kanan." Presdir Oh berkata dari balik pintu.
Aku mengganti bajuku dengan kaos putih milik Presdir Oh yang kebesaran, lalu mencoba memakai celana training hitam namun melorot beberapa kali. Akhirnya aku memutuskan untuk tak memakainya mengingat ujung kaos jatuh tepat di atas lututku.
Aku menyanggul asal rambutku, meninggalkan beberapa helai rambut di ujung kening dan di pelipis, lantas mengambil sikat gigi baru untuk membersihkan mulutku. Aku membasuh wajah lalu mengeringkannya dengan handuk yang kuambil dari rak di belakangku. Menatap bayanganku di cermin, aku mencubit pipiku sampai merah dan meringis ketika merasakan sakit.
Benar. Ini semua bukan hanya sekedar mimpi buruk, tapi memang kenyataan.
Akankah pemerintah menemukan penawar suatu hari nanti? Akankah pemerintah bisa membuat keadaan menjadi terkendali seperti semula? Aku menghela nafas sebelum keluar dari kamar mandi.
"Aku lupa kita belum sempat makan malam. Apa kau lapar?"
Aku menatap Presdir Oh yang tengah duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Sekarang ia telah mengenakan piyama sutra berwarna hitam. "Aku tidak lapar." Aku menggeleng. Kejadian hari ini benar-benar menghilangkan selera makanku.
"Kenapa kau tidak memakai celanamu?"
Aku menatap Presdir Oh yang tengah mengangkat alis, lalu beralih menatap kakiku. "Terlalu besar." Keluhku. "Apa kau tidak memiliki ukuran yang lebih kecil?"
Presdir Oh menggeleng. "Itu adalah ukuran paling kecil yang kupunya."
"Di bagian mana harus kusimpan ini?" Aku mengangkat celana Presdir Oh yang telah kulipat kembali.
"Lemari kedua paling kanan." Jawab Presdir Oh. "Sepertinya kita harus pergi 'shopping' besok. Kau membutuhkan beberapa pakaian."
Aku menutup pintu lemari lalu membalikkan badan. "Dan mengkronfontasi para zombi? Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja menggunakan kaos-kaos milikmu."
Aku telah mencapai tempat tidur ketika Presdir Oh bertanya lagi, "Lalu bagaimana dengan pakaian dalammu?"
Aku merasakan pipiku merona malu. "You can lend me yours.."
"Apa kau yakin ingin memakai pakaian dalam laki-laki? Kupikir kau benci 'laki-laki'?"
Aku mengabaikan gelak tawanya yang menyebalkan dan memutar mata. "Itu adalah opsi terbaik yang kumiliki."
Presdir Oh menghapus air mata imajinernya saat berusaha meredakan tawa. "Tapi aku tidak punya bra."
Pipiku makin memanas.
"Kau tidak bisa tinggal di mansionku tanpa bra dan berharap hormon laki-lakiku akan baik-baik saja." Presdir Oh menaik-turunkan alisnya lagi.
"Hebat. Kita berdua sedang berada di sini, di akhir dunia. Dan otakmu masih berada di selokan kotor." Oh Tuhan, kenapa Presdir Oh jadi pecicilan seperti ini? Mungkin itu adalah caranya untuk lari dari kenyataan bahwa kiamat zombi memang benar-benar telah datang.
"Fine." Presdir Oh mulai berbaring dan menarik selimutnya, berbalik memunggungiku ketika menambahkan, "Tapi jangan salahkan aku jika suatu saat terjadi hal-hal yang KAU inginkan."
Aku tahu Presdir Oh mengatakan itu sebagai bentuk candaan, terdengar dari kekehan samarnya, namun tidak tahu kenapa aku sangat ingin mencekik seseorang sekarang.
***