Episode 2

6K 161 9
                                    

Aku berbaring di atas ranjang yang tidak begitu besar, tapi lumayan untuk dua orang, sayangnya aku anak cowok satu-satunya, jadi kalau tidur hanya sendirian. Bukan berarti aku anak tunggal, karena aku punya kakak perempuan, yang sekarang bekerja di Jakarta, seorang calon diplomat, sesuai keinginan papa. Papa dan mama pasti sudah berangkat kerja, tanpa teman, rumah ini jadi begitu sepi. Perlahan kucoba membuka mata. Huft, kelihatannya mataku masih ingin tertutup, menyelami sedikit demi sedikit kenangan masa kecilku.

Namaku Ricko Aprilliando. Teman-teman biasa memanggilku Ricko, ada juga yang memanggil Ando seperti merek sandal saja, asal jangan dipanggil Aprilia, nanti kesannya jenis kelaminku absurd, (di fakultas hukum kata-kata absurd umum banget, biasa dipake buat menanggapi eksepsi di persidangan alih-alih jenis kelamin wkwkwkwkwk)

Ayahku seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, sedangkan Ibuku seorang guru di SMA Negeri 2, SMA favorit di sini. Tapi aku nggak sekolah di tempat itu, aku sekolah di sebuah sekolah asrama salah satu Kota di Jawa Tengah. Di sanalah kisah ini bermula. Aku masih ingat masa itu, 7 tahun lalu, ketika umurku masih 12 tahun. Papa yang mengantarku.

"Ricko Aprilliando... Nomor Induk 2509, Bandar Lampung, 1B" ketika namaku dipanggil oleh guru berambut cepak. Seorang pria yang masih muda, umurnya sekitar tiga puluh tahunan. Belakangan aku baru tau kalau namanya Pak Romi, orang yang lumayan galak. Aslinya dari Pacitan, hemmm ternyata orang Pacitan ada juga yang galak.

Aku berdiri dan masuk dalam barisan yang sudah ditentukan oleh panitia penerimaan siswa baru. Tapi ada yang tidak biasa, yaitu bunyi "wuiiiiiiiiiiiiiissssssss" ketika aku berjalan menuju barisanku, padahal puluhan siswa yang dipanggil sebelumnya tidak mendapat sambutan itu, aneh.

Ternyata suara itu berasal dari gerombolan siswa SMA, siswa senior yang berdiri tidak terlalu jauh. Mereka tidak ikut pembagian kelas, hanya menonton saja, mungkin bagi siswa-siswa senior pembagian kelas siswa baru adalah tontonan menarik, aku tak tahu. Yang pasti bunyi "wuiiiiiiiiiiiiiissssssss" tadi tidak jelas apa maksudnya. Ejekan atau pujian? mungkin juga ada yang salah dengan pakaian yang aku kenakan? Entahlah. Tapi tahun-tahun selanjutnya aku baru paham maksudnya dan menjadi kenangan lucu, sebuah kesan pertama yang aku rasakan di Sekolah saat pembagian kelas.

Tridarma Boarding School adalah nama sekolah berasrama ini. Sebuah sekolah yang memiliki pendidikan pada jenjang SMP dan SMA secara berkelanjutan. Jadi semua siswa SMA di tempat ini adalah lulusan SMP ini juga. Bisa dikatakan pendidikan SMP dan SMA nya menyatu dalam satu kesatuan.

Sekolah ini bukan sekolah untuk agama dan golongan tertentu, semua golongan ada, ada anak petani, anak pedagang, anak buruh, anak pejabat rendah dan tinggi, bahkan konon menurut salah seorang yang baru aku kenal, ada anak kepala daerah dan menteri. Salut juga mendengarnya, hanya saja aku belum tau anak menteri itu siapa, baru sebatas informasi saja. Selain itu berbeda dengan sekolah berasrama yang kebanyakan bagi satu agama saja, di sekolah ini para siswa ada yang beragama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, bahkan ada yang atheis,

Sekolah asrama ini lebih mirip dengan sekolah asrama di Amerika dan Eropa, kurikulum yang digunakan juga berstandar internasional, maksudku berkiblat ke barat, jadi berbeda dengan banyak sekolah asrama yang berkiblat ke Timur Tengah. Dari sekian banyak perbedaan dengan sekolah asrama pada umumnya, ada satu hal yang sama, menjadikan sekolah ini tidak berbeda dengan sekolah asrama lainnya, yaitu semua penghuni sekolah ini berjenis kelamin laki-laki, kecuali mbok dapur, hahahaha.

Papa meninggalkanku dua hari setelah pembagian kamar, aku dapat kamar di lantai tiga. Kamar ini diisi empat orang anak, semua kelas satu, tapi beda kelas. Reno, asalnya dari Padang, kelas 1H seorang anak yang ceria, aku belum kenal dekat, tapi kelihatannya dia sedikit pelit, meski terlalu dini untuk menilainya, tapi isi lemari yang lumayan penuh dengan makanan, dan dia tidak pernah berbasa-basi untuk menwarkannya menjadi alasanku menilainya pelit. Tapi itu bukan masalah bagiku, kebetulan badanku tidak gendut dan aku juga tidak hobi makan. Di samping ranjang Reno ada ranjang Idris, siswa berambut keriting dari Ambon, sekilas menurutku dia adalah seorang muslim yang taat, setidaknya dia selalu sholat tepat pada waktunya. Idris anak yang periang, aku juga belum banyak ngobrol sama anak itu, hanya nitip air mineral waktu dia mau ke ruang makan.

Ada Cerita Cinta di Asrama By LeoverryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang