Episode 12

2.4K 98 8
                                    

Aku, Idris dan Reno duduk diam. Semua membisu, tatapan kami kosong. Di pondok jerami dekat ruang makan, kami duduk di bangku saling berhadapan. Saat ini bukanlah jam makan, bukan juga jam istirahat bahkan tahun ajaran baru saja belum dimulai, namun yang pasti kami bertiga sudah menerima berita kelulusan saat liburan kemarin. Aku sendiri tidak terlalu terkejut, karena sudah yakin pasti lulus SMP.

Kami sekarang siswa SMA. Aku, Idris dan Reno bersama siswa yang baru lulus SMP datang lebih awal ke kampus ini untuk menyelesaikan administrasi dan mendaftar ulang pada jenjang SMA. Hal yang layak disyukuri dan mungkin juga perlu dirayakan, karena sebagai siswa SMA kami adalah yang paling senior di kalangan anggota asrama.

Tapi bukan itu yang membuat kami bertiga diam. Suasana hening dan angin yang berhembus pelan seakan berbisik kepada kami. Sekilas kulirik kedua sahabatku itu, tatapan kosong yang sama seperti setengah jam yang lalu. Bahkan Reno sudah siap menumpahkan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. Cukup lama kami diam, masing-masing bermain dengan pikiran dan perasaan masing-masing, merangkai dan mengolah rasa yang ada dalam diri yang baru saja beranjak remaja, tak ada yang ingin memulai candaan dan tawa, tak ada yang ingin bercerita tentang kisahnya saat liburan, meskipun yang ingin diluapkan begitu banyak, tapi semua mulut yang hadir seakan terkunci rapat, tatapan mata tiga remaja ini sudah menyampaikan semuanya.

Ayah Dion meninggal dua minggu yang lalu. Ya, itu salah satu kesedihan yang bertamu dalam hati kami. Dan lebih lagi ketika kami bertiga harus memaklumi dan menerima dengan berat hati bahwa Dion melanjutkan SMA di Malang, salah seorang sahabat terbaik, serba tahu dan kadang menjengkelkan, entah kapan kami akan berjumpa dengannya. Bahkan bagiku Dion adalah potongan jiwaku, dalam konotasi yang positif tentunya. Dion mengajari banyak hal, Dion melengkapi rasa dalam diri ini, dan Dion ... tentu saja sahabat kami semua.

Seperti yang pernah ku sampaikan, tidak ada keharusan siswa-siswa SMP kami untuk melanjutkan SMA di tempat ini, bahkan cukup banyak siswa yang tidak melanjutkan SMA di sini, tapi begitu mengetahui salah seorang di antaranya adalah Dion, aku jadi sulit menerimanya, begitu juga Idris dan Reno. Kami semua punya teman-teman lain, aku sudah tinggal di tiga asrama, dan beberapa kali teman-teman kelas juga bertukar, tapi persahabatan kami berempat adalah yang paling dekat. Aku sendiri begitu sulit memahami kenyataan ini, walaupun aku sadar tidak mungkin kami berempat akan selalu bersama dan satu sekolah, hanya saja perpisahan ini terasa begitu cepat. Mungkin banyak yang telah merasakan perpisahan dengan sahabat masa-masa sekolah, namun teman sekolah yang menghabiskan waktu begitu banyak dengan kita, tentu bukan hal yang biasa dan mudah melepasnya.

Pada titik ini hubungan kami dengan Dion akan terputus secara instan, ibarat tali pengikat yang terputus tanpa ada peringatan. Dengan kondisi dan keadaan kami bertiga, mustahil rasanya untuk bertemu lagi, meskipun tetap ada harapan untuk itu. Kakak Dion juga sudah tamat SMA, sangat sulit kami bisa bertanya dan menghubungi Dion. Penyesalan ada dalam diri kami bertiga, kami terlalu sibuk dengan urusan kami masing-masing tahun lalu, bahkan saat ujian nasional aku sibuk dengan urusanku yaitu UN, atau mungkin tepatnya "pacarku", sehingga kami tidak pernah bertanya, tentang keluarga masing-masing di rumah, mengingat ayah Dion tidak meninggal tiba-tiba. Beliau sakit hampir tiga bulan, artinya mulai saat masa-masa ujian nasional lalu.

Aku mengangkat kepalaku yang telah tertunduk lama, air mata mengalir begitu saja, rasa gengsi dan malu sudah tidak aku pedulikan lagi, yang jelas aku benar-benar menyalahkan diriku yang tidak ada pada saat Dion membutuhkan kami di dekatnya.

"Seharusnya kita mengadakan pesta kecil sebelum pulang liburan" ucap Idris pelan. Matanya sayu, anak itu sudah sama tinggi denganku, tapi dia tetaplah yang paling muda di antara kami.

Aku menatapnya. Kata-kata singkat itu telah memecah kebisuan kami. Butuh usaha begitu besar sehingga Idris dapat mengungkapnya dengan begitu tegar.

Ada Cerita Cinta di Asrama By LeoverryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang