Mataku sembab, sudah tiga hari aku tidak masuk kelas dengan alasan sakit. Hasil ujian semester pertama sudah keluar dan nilai-nilaiku tetap bagus, ternyata jurusan IPA sebagaimana keinginan mama tidaklah sesulit anggapanku sebelumnya. Mungkin aku bisa naik kelas XI A IPA tahun depan, naik satu tingkat dari tahun ini. Hmmmmm, tapi untuk sekarang itu tidak penting, bahkan untuk melanjutkan pendidikanku di sekolah ini pun terasa tak menarik lagi.
Sebagai siswa SMA seharusnya sangat menyenangkan, selain pelajaran baru, teman-teman dan suasana juga baru. Tentu menjadi siswa paling senior di asrama sangat menguntungkan dan memudahkan segala urusan, aku bisa minta tolong junior untuk mengerjakan sesuatu atau sekedar menggoda anak-anak SMP yang ketahuan melanggar aturan. Kadang kalau lagi bosan ikut ngejahilin mereka di ruang ganti (tentu masih dalam tahap wajar).
Namun menjelang semester dua ini, air mata dan kesedihan menyelimuti jiwa ragaku. Peristiwa ini menjadi kesedihan yang mencabik-cabik hati. Aku tak lagi dapat merasakan sesuatu, serasa hidup di kegelapan, tak ada suara yang terdengar, tak ada semangat untuk bangkit, bahkan aku tidak tau sudah berapa lama tidak makan dan minum, aku juga tidak mandi. Mandi bukan urusan yang penting lagi, pakaian kotor menumpuk dalam lemari, mengantarkannya ke laundry yang berada di lantai satu pun aku tak ingin.
Tumpukan buku di atas meja berserakan tak karuan, tas cokelat yang biasa aku bawa ke kelas masih sama seperti hari terakhir aku sekolah. Ketidakpedulian dan kekacauan hidupku sudah pada tahap akut, bahkan tidak ada rasa takut sedikitpun untuk melanggar lusinan peraturan yang ada di sekolah ini. Mulai dari tidak masuk kelas, tidak ikut absen malam, tidak ikut kegiatan pramuka, puluhan rutinitas asrama aku abaikan, PR yang lumayan banyak tidak aku kerjakan, hingga peraturan kecil seperti membuang sampah sembarangan dan perbuatan tidak sopan terhdap pengurus asrama.
Rasanya bila ada yang sengaja memancing emosiku, akan aku tantang berkelahi bahkan pengurus OSIS atau guru sekalipun. Aku tidak peduli akibat atau sanksi yang akan menimpaku, aku tak peduli.
Dengan rasa malas aku bangkit dari tempat tidur, jam dinding di kamar yang memiliki 4 ranjang ini menunjukkan pulu 09.55. Dengan pelan aku melangkah ke sudut ruangan, sedikit mengintip ke halaman asrama kami melalui jendela panjang, tampak beberapa guru berjalan menuju gedung-gedung belajar, suasana terlihat lengang karena sebagian siswa telah masuk kelas.
Perlahan air mata menetes lagi, teringat peristiwa siang itu, empat hari lalu seluruh siswa dikumpulkan di aula pertemuan setelah jam makan siang. Pengumuman disampaikan oleh Bagian Penerangan dan Jurnalistik OSIS melalui speaker toa yang tersebar di setiap sudut kampus.
Aku dan beberapa temanku mengambil posisi duduk asal-asal saja, karena belum tau penyebab seluruh siswa dikumpulkan di aula. Biasanya ada masalah serius sehingga seluruh penghuni kampus ini harus dikumpulkan. Dalam waktu kurang dari lima belas menit semua siswa sudah berkumpul. Suasana sangat ramai, banyak pertanyaan-pertanyaan muncul tidak tau diarahkan kepada siapa. Seorang siswa kelas IX yang duduk di sampingku sempat bertanya ada masalah apa sehingga kami dikumpulkan, aku hanya menggeleng saja tanda tak tahu sama seperti sebagian besar siswa yang hadir.
Tidak lama beberapa orang siswa kelas 3 SMA berperawakan tegap, berambut cepak dan bermuka masam masuk melalui pintu-pintu aula dan berdiri menghadap seluruh siswa kelas VII sampai kelas XI. Tidak ada senyum di wajah kakak-kakak Bagian Keamanan OSIS itu. Semua siswa tanpa komando diam, suasana sunyi, hanya suara berisik dari soundsistem dan mikrofon yang sedang disiapkan Bagian Penerangan dan Jurnalistik yang terdengar. Kakak-kakak Bagian Keamanan memandangi seluruh siswa seperti seorang komandan perang sedang menakuti-nakuti tahanannya. Benar-benar mencekam dan menakutkan (menurutku begitu).
Seorang remaja berpakaian rapi menggunakan seragam SMA dengan rambut tidak berbeda dengan Bagian Keamanan berjalan menuju tengah ruangan, semua mata tertuju pada remaja muda tersebut. Dengan tinggi badan yang ideal dan wajah yang lumayan tampan dia berdiri di tengah ruangan tepat di podium, sesaat dia tersenyum tipis sambil mengamati seluruh aula dengan tenang. Matanya hitam dengan pandangan sangat tajam dan fokus, bahkan cenderung mengintimidasi menurutku, remaja 17 tahunan itu adalah siswa paling populer dan pastinya dikenal semua siswa di sekolah ini. Dia adalah Mahendra Adif Parayoga, Ketua OSIS angkatan 2011/2012 yang merupakan siswa paling berpengaruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Cerita Cinta di Asrama By Leoverry
Ficção AdolescenteCerita cinta remaja sejenis di Sekolah Berasrama. Ricko Aprilliando bisa dikatakan cowok yang beruntung, tampan dan ramah menjadikannya pujaan beberapa gadis yang mengenalnya. Ya, dia adalah seorang mahasiswa semester tiga di Fakultas Hukum. Sebagai...