Mama pernah bilang gak semua siswa harus bisa menguasai semua mata pelajaran, karena memori kita mempunyai keterbatasan. Tidak ada yang salah dengan pendapat mama, walau Jeje sendiri mempunyai pandangan lain terhadap hal ini. Menurutnya, tidak satu pun mata pelajaran bisa dikatakan tidak penting. Karena baginya, nilai adalah tuntutan yang harus ia kejar. Walau katanya nilai tinggi tidak selalu menjamin kesuksesan, tapi nyatanya nilai adalah patokan yang harus dicapai untuk masa depan, entah itu sebagai syarat kelulusan atau syarat masuk pendidikan tinggi yang memerlukan adanya standar kebutuhan nilai. Maka sebisa mungkin, walau dilakukan sedikit terpaksa, Jeje berusaha memulihkan sesuatu yang menurutnya lemah. Entah sejak kapan, ia membangkitkan kesadarannya perihal tugasnya sebagai seorang siswa yang selayaknya memang harus dijalankan sebagai siswa.
Di bawah pohon rindang, di sekitar halaman sekolah, Jeje duduk seorang diri pada bangku yang sudah tersedia di sana. Wajahnya berseri ketika memperhatikan secarik kertas dalam genggamannya, yang dimana terdapat nilai sempurna yang tergores pada selembaran soal-soal yang jawabannya nyaris benar semua. Baginya, kebahagiaan itu cukup sederhana, dengan menikmati syukur ini, kedamaian akan mengikuti pada pelabuhan yang terlanjur membelenggu dalam patah yang membawa pilu.
Tepat sebelum bel istirahat berbunyi, Pak Aryo mengadakan ulangan harian dadakan, mata pelajaran fisika, dengan materi yang tak berbeda jauh dari matematika, sebagaimana menuntaskan persoalan dengan hitung-menghitung.
Jeje terus tersenyum, kala ia tak lagi kesulitan menuntaskan soal-soal yang berjajar di sana sedemikian amat tenang. Apalagi jika ia teringat, bahwa akhir-akhir ini Alex selalu datang ke rumahnya, demi membantunya memperbaiki nilai yang sudah lama dibiarkan remeh begitu saja.
Berhubungan dengannya memang seperti air mengalir, apa adanya mengikuti kemana arus akan membawanya. Dan sepertinya, untuk sekedar mengatakan terima kasih saja tidak akan cukup. Pria itu terlalu baik sebagaimana ia peduli pada hal-hal yang tak pernah Jeje khawatirkan sebelumnya.
Secercah lamunan yang singgah, terpecah begitu saja kala yang sedang dipikirkan sedang melintas di depannya. Tangan Jeje sudah melambai ke udara, siap menyapa pria jenjang yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Baru saja ingin memanggil namanya, niat itupun pupus dalam sekejap, kala Alex berlari kencang setelah mendengar kalimat memekik dari seseorang.
"Eca pingsan!!!"
Segerombolan orang meriung di sekitar koridor, dari yang semula hanya terdapat dua atau tiga orang saja, jadi berkumpul lebih ramai demi menghilangkan rasa penasaran kala memperhatikan Eca sudah terbaring tak berdaya di ubin lantai yang terasa dingin.
Masih di tempat yang belum beralih, Jeje terus memperhatikan betapa paniknya raut wajah Alex saat ini, sampai di saat Alex membopong Eca dalam sanggahannya. Kemudian, berlari sekuat tenaga demi menghindari keramaian itu, membopong melewati koridor demi koridor dengan banyaknya pasang mata yang memandang kepadanya. Setelah ini, pasti akan ada gosip yang bertebaran di kalangan siswa-siswi yang hobinya suka julid.
Jeje masih berdiam diri di sana, dengan segenap hati yang diremas nyeri, bak cucian basah dipaksa harus mengering saat itu juga.
Seluruh pasang mata yang memandang di sekitarnya pastinya sangat terkejut tentang bagaimana perlakuan Alex terhadap Eca yang cukup terkenal di dunia maya sebagai mantan balerina yang sangat berbakat, sebagaimana Alex sendiri lebih terkenal di sekolah ini karena kepintarannya yang selalu mengharumkan nama baik sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Rasa Tanpa Asa
RomansaSoal cinta hilang. Soal mimpi datang. Semua terlalu fana. Meski, sangat nyata. Delapan tahun bersama, diambang kepercayaan tak serupa. Jika boleh memilih, lebih baik Jeje tak mengenalnya daripada harus melupakannya. Berpisah karena iman lebih menya...