Rewind : 1

36 8 0
                                    

"Lo abis ngapain?" tanya Dea.

"Itu.. disuruh ikut lomba sama Bu Farisa," kataku sambil terus uring-uringan tentang kejadian tadi.

"Oh."

"Ngantin dulu, yuk!" ajaknya.

Aku mengangguk.

Dalam hati, aku terus ngamuk-ngamuk pada diriku sendiri, mengingat kejadian yang tadi.

***

"Jadi sudah tahu, kan?" tanya Bu Farisa memastikan.

Tiba-tiba, aku membuka mulut, "Nanti saya sekelompok sama dia beneran, bu?"

Bu Farisa mengerutkan kening, "Memang kenapa?"

Aku gelagapan dan menelan ludah, kaget. Padahal tadi aku cuma membatin doang, tapi kok bisa kedengeran, ya?

"Ng... Maaf, enggak jadi, bu," Aku menunduk, sambil rasanya ingin menenggelamkan diriku sendiri saking malunya.

"Saya sudah ada ide, bu," kata Langit.

Aku terperangah. Hah? Secepat itu kah? Padahal aku belum ada 'wangsit' sama sekali!

"Tapi nanti saya akan menggunakan laboratorium sekolah. Jadi saya harus penelitian sama dia," lanjutnya.

"Oh, ya, tentu. Sekolah akan memfasilitasi kalian berdua, semua ditanggung sekolah," kata Bu Farisa, "Baik, saya tunggu kelanjutan penelitian kalian berdua minggu depan," tutupnya.

"Hoi! Sunset!" panggil Langit.

Double kaget. Dia panggil aku... Sunset? Aku tersentak dan menoleh geram ke arah Langit. Dalam hati aku berkata, Emang bener cari masalah dia. Belum satu jam kenal dia udah... hihh..., tanganku mengepal saking geramnya.

"Gini ya, karena nanti kita penelitiannya di sekolah, aku gak mau ambil resiko," Langit tertawa kecil.

Aku mengerutkan kening, "Maksud lo?"

"Mungkin kita bisa ngomong akrab saat ini, tapi untuk selanjutnya sampai waktunya penelitian, aku menganggap kita sama sekali gak kenal. Deal?" Langit menjulurkan tangannya.

"Apaan sih, lo, pake jabat tangan segala," aku melipat kedua tanganku.

Dia menurunkan tangannya, "Gimana? Deal?"

"Deal," aku mengangguk setuju.

"Dah, Sunset. Besok kita ketemu lagi di lab," Langit berjalan memunggungiku dan melambaikan tangannya.

"Ih, awas lo sekali lagi panggil gue Sunset!" aku mengacungkan tinjuku.

"Jangan langgar perjanjian tadi, Sunset!" dia tertawa cekikikan.

"Bener-bener, ya!" aku mendengus kesal.

Tiba-tiba saja, Evelyn, anak kelas IPS-2 lewat. Aku langsung berjalan cepat menghindari Evelyn, seolah gak ada apa-apa. Aku mendahului Langit yang bersikap sok cool. Aku menoleh ke Langit sebentar, memberikan tatapan mematikan pada Langit. Sambil memberikan isyarat, "Kamu panggil aku Sunset sekali lagi, mati kamu!", kemudian berbalik dan berjingkat-jingkat pergi dari anak menyebalkan sedunia itu.

***

"Eh, masa?" Dea sampai tersedak.

"Santai, mbak!" aku menyodorkan air ke Dea.

"Dia beneran gitu?" Dea bertanya lagi.

"Ya iyalah! Buat apa gue bohong, coba," aku menyenderkan kepalaku ke meja.

"Hmm... berarti bener apa kata anak-anak," gumam Dea.

"Kata anak-anak?" aku menaikkan alisku.

"Langit itu kayak punya topeng terselubung. Aslinya, dia bisa bikin semua cewek kegaet sama dia. Waktu masih SMP sampe awal SMA, dia ketua klub basket sekolah yang aktif. Di bawah pimpinan dia, dalam satu bulan klub basket sekolah bisa dapet 300 an piala!"

"Sumpah lo?" gue kaget. Makanya dia tinggi semampai dan athlet body, nyatanya anak klub basket.

"Iya. Dia juga pinter, tapi saat itu kayaknya dia mengutamakan basketnya. Dia juga cool, karismatik gitu. Tapi gengsinya gede banget! Ada yang pernah nembak dia terang-terangan tapi ditolak mentah-mentah sama dia. Kalo gak salah, dia bilang gini, 'Gue gak butuh cewek bermuka labu kayak lo! Ngimpi apa?'. Tapi, biar gitu, dia masih tetep banjir fans, dan mungkin udah nolak cewek jutaan kali," Dea menarik napas.

"Berarti emang bener dia nyebelin tiada tara," gumamku pelan sambil uring-uringan kejadian tadi, "Tapi, kok, dia jadi pendiem gitu? Kutu buku boys?" tanyaku.

"Entahlah. Di masa keemasannya, dia kayak bener-bener vakum dari semua itu. Dia langsung mengundurkan diri dari klub basket, irit muka..."

"Irit muka?" aku menginterupsi.

"Irit senyum, irit ketawa. Pokoknya wajahnya always datar, gitu deh!"

Oh.

"Terus, dia juga suka berdiam diri di perpus, di lab, pokoknya dia bener-bener vakum dari klub basket yang telah membesarkan nama dia. Tapi, biar gitu, dia tetep banjir fans walau gak segila yang dulu."

"Aneh, ya? Semua orang padahal pengen famous, tapi dia malah gak pengen," kataku.

Dea mengangguk setuju dengan perkataanku barusan.

RewindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang