Rewind : 5

14 1 0
                                    

"LANGIT!" Jerit gue.

Seragam Langit sedikit basah oleh darah. Gue enggak tahu kenapa dan udah berapa lama Langit pendarahan kayak gini.

Gue memperhatikan Langit. Ternyata, dia...

Mimisan.

Iya! Herannya, hidung Langit sedari tadi enggak berhenti mengeluarkan darah.

"Sun..."

Siapa tadi? Gue menoleh mencari sumber suara.

"Sunset, jangan tinggalin gue," kata Langit lirih.

Astaga! Ini anak udah separuh nyawa masih aja panggil gue Sunset!

Gue menghampirinya, rasa iba gue lebih besar dibanding ego gue.

Aslinya, gue mau bilang, "Iya Langit. Gue disini. Gue gak bakalan tinggalin lo. Ututututu...cup, cup, cup. Udah gak usah nangis. Langit kan anak mama," sambil mengusap-usap rambut Langit ala-ala ibu yang berusaha menenangkan anaknya yang nangis. Tapi gak jadi.

"Ck. Kambuh... kambuh lagi," desis Langit.

Ha? Apanya yang kambuh?

●○

Berada di UKS membuat gue pengen minggat sejauh-jauhnya dan mati gaya.

Gimana enggak begitu, gue yang duduk di samping Langit diinterogasi habis-habisan oleh Pak Arifin, dikira gue abis 'ngapa-ngapain' Langit.

Gue menggeleng kuat-kuat, YA JELAS ENGGAKLAH!

"Benar begitu?" Tanya Pak Arifin ke Langit penuh selidik.

Langit mengiyakan.

"Terus, kenapa kamu tiba-tiba bisa anemia berat begini?" Tanya Pak Arifin lagi.

Hmm... Pak Arifin sekarang udah mirip jadi mamanya Langit daripada jadi guru pembimbing. Perfect! Batin gue sambil menahan tawa.

"A...anu pak, saya gak tahan bau raksa pak, terus saya kayak mabuk gitu."

Mata gue melotot. Astaga, inikah alibi kelas teri?!

Gue jadi agak ragu kalau katanya Langit anak emas sekolah yang serba bisa. Jelas-jelas Langit tadi gak mainin raksa, justru yang main itu gue.

Kening Pak Arifin mengerut, lubang hidungnya juga agak membesar, "Yang bener?"

Hening sejenak.

Langit ketawa garing, "Ya, enggaklah pak! Saya becanda pak, biar gak serius-serius amat."

Lalu ia menelengkan kepalanya ke arah gue, "Tuh, Senja udah keabisan darah biru pak. Dari tadi bapak interogasi, sih!"

Gue pengen menjitak dahi Langit. Darah biru? Dasar.

Gue menghembuskan napas kasar. Mata gue menatap Langit dan mengisyaratkan kalau, "Kamu itu udah sekarat! Berhenti main-main! Serius dong!"

Kayaknya, Langit merasa kalau gue ber'telepati' sama dia. Buktinya, Langit balas menatap gue jenaka dan matanya seakan mengatakan, "Cie... yang sekarang jadi perhatian. Kalo diseriusin beneran, bukan salah perusahaan lho!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RewindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang