P n H 1

13 1 0
                                    

Aku patah hati, perasaanku benar-benar tidak baik. Aku benar-benar bodoh mencintai seseorang selama ini diam-diam. Setiap kali ku memikirkannya, aku malu sendiri. Aku tak ingin menemuinya lagi. Dikta, cowok yang ku taksir dua tahun belakangan sejak masuk perguruan tinggi sekarang telah menjadi kekasih sahabatku sendiri. Semua salahku. Aku tak pernah terbuka pada siapapun tentang perasaanku, termasuk kepada Salfa sahabatku yang sekarang telah menjadi kekasih cowok kutaksir.

"Hufff..." keluhku saat menunggu hujan reda, aku menyukai hujan tapi tidak untuk hari ini mungkin efek dari perasaanku yang masih sakit. Tiba-tiba mataku menoleh kearah sampingku. Seseorang berdiri sambil sesekali melirik jam tangannya, mungkin juga menunggu hujan reda. Segera ku keluarkan payung kesayanganku, payung hijau dengan motif keroppi. Aku pun menyerahkan kepadanya. Ia pun terkaget melihat yang kulakukan. Mungkin menurutnya aku orang aneh, memberikan payung kepada orang yang tak dikenal padahal itu sangat di butuhkan saat kondisi hujan sekarang ini.

"Aku tau kamu lebih membutuhkannya. Pakai saja atau kamu terlambat?" Ujarku menjawab pertanyaan yang ada dibenaknya. "Gunakanlah, kamu bisa kembalikan besok." Ujarku sambil terus menyodorkan payung itu. Ia masih memandang heran kearahku. Saat ia tak kunjung menerima payung yang ku sodorkan, aku pun mengurung niat baikku. "Yaudah kalau kamu gak mau terima." Ujarku sambil memasukkan kembali kedalam tasku.

"Tunggu dulu. Kamu benaran berikan payung itu kepadaku?". Tanyanya heran melihat apa yang ku lakukan.

Segera kuangkat jari telunjukku sambil menggelengkan kepala. "Aku gak ada bilang aku akan memberikan payung ini kepadamu. Aku Cuma meminjamkannya." Tegasku segera. Aku memang berniat baik, tapi bukan berarti aku akan memberikan payungku secara iklas kepadanya.

"Iya itu maksudku, kamu serius minjamin payungnya kepadaku?"

Aku hanya mengangguk. Terlalu malas menjawab pertanyaan yang sama berulang kali.

"Ini kan hujan. Lagian kamu juga gak kenal aku."

"Kalau kamu gak mau, aku juga gak maksa." Akupun kembali berniat ingin memasukkan payungku kembali.

"Tapi gimana kalau aku gak balikin lagi?"

"Jika payung ini benar-benar akan tetap jadi milikku walau aku pinjamin keorang lain, aku percaya payungku akan dikembalikan lagi. Jika tidak, aku bisa beli payung baru lagi ketika aku punya uang." Sahutku, ia tersenyum sambil meraih payung dari tanganku yang hampir saja masuk kembali kedalam tasku.

"Ok. Thank's untuk payungnya. Aku balikin jika ketemua lagi."

Aku melambaikan tanganku kepadanya, sebenarnya bukan untuknya melainkan untuk payung kesayangan ku yang di bawanya. Aku melihatnya semakin menjauh dari jangkuan mataku hingga akhirnya tak terlihat lagi. Ku tarik nafasku sambil melangkahkan kaki menembus hujan. Aku terus berjalan menuju halte bus tepat di depan kampusku. Tak berapa lama aku untuk menunggu, bus pun tiba.

"Kok basah-basah pulangnya?" ujar bunda menyambutku dengan memasang wajah kawatir melihat kondisiku yang basah kuyup. Hujan lumayan lebat, hingga rambu bahkan baju yang ku kenakan basah semua.

"Hujan bun." Jawabku segera.

"Biasanya selalu bawa payung?" tanya Bunda yang hapal kebiasaanku membawa payung kesayanganku kapan dan dimanapun saat bepergian apalagi kekampus. Aku hanya tersenyum, sambil menerima handuk dari bunda. "Cepat ganti pakaiannya, nanti kamu sakit. Bunda udah masak." Bundapun berlalu menuju dapur.

Segera aku berlari kekamarku, aku tidak mengganti pakaianku yang basah. Melainkan aku melamun membayangkan kejadian bodoh yang terjadi dikampus tadi siang.

Saat aku dan Salfa makan siang di kantin kampus. Tiba-tiba Dikta muncul duduk tepat disampingku. Aku yakin mukaku memerah saat menyadari seseorang yang ku cintai diam-diam duduk tepat disampingku. Ia tersenyum manis kearahku, dan bodohnya lagi aku mengira ia hanya tersenyum kepadaku. Ia tidak hanya tersenyum, ia juga menatapku. Jelas membuat jantungku berdetak tak karuan.

"Dell, aku boleh..." tiba-tiba ia tergagap seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu yang begitu penting.

Aku tak tau perasaan apa yang kurasakan, tiba-tiba ia meminta izin kepadaku. Ia meminta izin kepadaku dengan ragu-ragu. Otakku terus berpikir. Jangan-jangan ia mengajakku pacaran? Bagaimana ini? apa yang harus ku lakukan? Aku harus jawab apa?apa segera ya? Atau...

"Gini Dell, sebenarnya aku..." Dikta begitu ragu-ragu. "Sebenarnya aku dan Salfa udah jadian seminggu ini."

Jawabannya benar-benar membuat hatiku hancur, segera ku melirik kearah Salfa. Salfa hanya diam sambil tesenyum manis seperti biasanya.

"Salfa meminta ke padaku untuk mengatakannya kepadamu, sekaligus meminta izin kamu sebagai sahabat terbaiknya."

Apa ini? Aku benar-benar kaget. Hampir saja air mataku mengalir. Akupun berusaha tertawa untuk mengalihkan air mata yang hampir tumpah dari mataku.

"Salfa kamu jahat! Kenapa baru sekarang dibilang?" ujarku sambil melirik Salfa berusaha menggodanya, segeraku tersenyum semanis mungkin.

"Aku mau Dikta yang menyampaikannya langsung kepada kamu. Kamu itu udah seperti keluargaku, jadi aku rasa izin dari kamu perlu juga dalam hubungan kita." Jawab Salfa sambil meraih tanganku. "Kamu itu sudah seperti kakakku sendiri, selama ini kamu selalu lindungi aku, menasehati aku, menunjukkan mana yang benar mana yang salah. Aku pengen kamu akan terus jadi kakakku yang selalu menyayangi aku."ujarnya dengan manja.

Aku hanya terseyum sambil memeluknya. Aku benar-benar ingin menangis, ingin berteriak sekarang.

"Oke, kalian aku izinin pacaran. Tapi ingat, kamu jangan sungkan-sungkan bilang ke aku jika Dikta nyakitin kamu. Aku gak akan segan-segan beri pelajaran kepadanya." Ujarku. Salfapun memeluk semakin erat.

"Dell..." tiba-tiba aku tersentak saat pintu kamarku diketuk. "Dell, kok gak keluar-keluar dari kamar?" sorakan bunda membuyarkan lamunanku.

"Iya bun, bentar."

Segera ku beranjak dari tempat duduk.

Payung N HujanWhere stories live. Discover now