Alisha's POV
Aku menarik nafas dalam-dalam sambil menunggu semua kru mengantri untuk masuk ke dalam pesawat yang ukurannya lebih besar dari pesawat tempat aku bertugas sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya aku terbang dengan pesawat yang sudah lama aku impi-impikan. Pesawat yang lebih besar, mengangkut lebih banyak penumpang, tentunya, terbang lebih jauh dari yang bisa aku bayangkan. Kakiku terus menapaki lantai pesawat hingga ke bagian tengah tempat Aira, mantan senior yang masih jadi seniorku di maskapai baruku ini, meletakkan kopernya. Sebagai anak bawang, aku masih melanjutkan perjalananku menuju bagian paling belakang pesawat.
"Lis! Semangat ya first flight-nya!"
Aku menoleh dan tersenyum kepada Aira yang mengepalkan tangannya memberiku semangat. Aku menarik nafasku lagi, kurasa first flight-ku untuk ketiga kalinya ini tidak akan seberat dua penerbangan sebelumnya.
"Neng, prepare, ya. Bentar lagi meal uplift. Gue mau ke bisnis bentar," perintah Nadhif, pramugara yang service di galley belakang bersamaku hari ini. Dengan sigap, aku langsung melakukan pengecekkan alat-alat keselamatan sambil menunggu makanan untuk dimasukkan ke dalam pesawat oleh petugas catering. Karena ukuran pesawat yang jauh lebih besar dari sebelumnya, pekerjaanku jadi tambah banyak dan cukup melalahkan, apalagi ketika aku harus memeriksa kelengkapan di setiap kursi penumpang. Sampai waktunya boarding, aku merapikan seragam dan rambutku yang tidak lagi rapi seperti saat masuk ke dalam pesawat tadi.
Untuk kesekian kalinya, aku menarik nafas panjang saat melihat satu persatu penumpang masuk ke area kelas ekonomi di belakang. Aku menyapa beberapa penumpang yang kebetulan duduk di area paling belakang pesawat, beberapa dari mereka menyapaku kembali dan beberapa lainnya... tidak. Ayolah Alisha, kamu bukan baru satu hari jadi pramugari, tidak ada yang perlu dipikirkan.
"Mbak, kursi 47E dimana, ya?" seorang penumpang pria menghampiriku sambil memperlihatkan tiketnya, aku bisa dengan jelas melihat nomor kursi dan namanya.
"Di sini, Pak, silahkan." Aku maju sedikit dan menunjuk sebuah kursi yang persis berada di tengah-tengah kabin tentu saja dengan senyuman yang tidak lepas dari wajahku. Namun, pria yang lebih tinggi dariku sekitar sepuluh senti ini malah melihat ke sekililingnya, seperti mencari sesuatu.
"Mbak, aku bisa pindah gak, ya? Gak enak di tengah-tengah gitu." Katanya dengan nada ketus. Aku menatap penumpang lain yang sudah duduk di kursi dekat aisle, tepat di sebelah kursi yang harusnya menjadi penumpang dengan nama Dimas, ini. "Nanti saya susah mau keluar, Mbak."
Gak perlu susah-susah keluar, nanti gue yang ngeluarin lo dari jendela darurat.
"Bapak bisa duduk di situ dulu, ya? Nanti kalau kita sudah take off dan ada kursi kosong, Bapak bisa pindah ke kursi yang kosong," jawabku setelah memutar otak. Penerbangan ini bisa dibilang cukup ramai, apalagi proses boarding belum selesai, aku tidak bisa seenaknya merubah kursi penumpang atau Perang Dunia III antar pramugari dan penumpang harus dimulai.
"Yaudah deh, Mbak! Makasih." Ujarnya. Penumpang tersebut kemudian menaruh tasnya di kompartmen bagian atas. Aku tersenyum tipis dan meninggalkan penumpang tersebut untuk melayani penumpang yang lain.
Setelah seluruh penumpang naik ke dalam pesawat, aku segera membantu Nadhif untuk menutup bagasi kabin di atas kursi penumpang. "Maaf, permisi ya, Pak." Aku mengulang kata tersebut berkali-kali sambil merapikan barang bawaan penumpang yang tersimpan di dalam bagasi kabin. Sampai di kursi urutan 47, aku bisa melihat penumpang bernama Dimas tadi tertidur dengan headphone yang terpasang di telinganya. Menurut peraturan penerbangan, setiap penumpang tidak boleh menggunakan headphone atau headset pada saat take off dan landing, biasanya aku akan langsung menegur penumpang yang memasang benda itu di telinganya, tetapi untuk kali ini, aku sejenak 'menikmati' pemandangan di depanku. Oke, aku akui penumpang bernama Dimas yang banyak maunya ini memang cukup tampan, lumayan tinggi, kalau aku tebak, mungkin usianya masih di bawah tiga puluh tahunan dan vibes-nya seperti pria yang baru saja masuk S2. "Bapak," aku mengayunkan tanganku di depannya. Aku agak kaget begitu dia membuka mata, karena kukira dia tidak akan mendengarku dengan headphone yang menutupi telinganya. Sebelum aku berkata apapun, dia sudah melepaskan headphone tersebut dari telinganya dan bertanya, "Ada apa, Mbak?" Aku tersenyum dan meletakkan kedua tanganku di telinga memberi isyarat bahwa aku hanya mengingatkan untuk melepaskan headphone. Reaksinya biasa saja, hanya tersenyum tipis kemudian merapikan headphonenya dan duduk dengan nyaman. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku untuk merapikan bagasi kabin dan mulai melakukan final check sebelum pesawat lepas landas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devair 3.0
Romance[Background : Airbus A330 (local & international routes), Boeing 737-800 (local & international routes)] "....ini adalah pertama kalinya aku terbang dengan pesawat yang sudah lama aku impi-impikan. Pesawat yang lebih besar, mengangkut lebih banyak p...