Komedi Rumah Tangga

4.1K 288 21
                                    

Aira's POV

"Dev,"

"Dev,"

"Dev, bangun!"

Sudah satu jam lamanya aku mencoba untuk membangunkan Deva, sudah berulang kali aku menarik selimutnya, namun Deva akan menariknya kembali. Aku menggelengkan kepala. Deva tidak biasanya susah dibangunkan untuk penerbangan siang. Karena menyerah, aku akhirnya harus menggunakan jurus andalanku.

"Yun," aku memanggil Yuni, seorang asisten rumah tangga yang aku pekerjakan tak lama setelah aku melahirkan. Yuni ini bisa dibilang teman sepermainannya Deva, maksudku, mereka sering bersekongkol untuk menyembunyikan sesuatu dariku. Aku menarik nafas dan melipat kedua tanganku di atas dada sambal memperhatikan Yuni yang memasak sambal ketakutan, "Deva semalem tidur jam berapa?"

Hobi Yuni yang sering tidur lebih dari jam dua belas malam membawa keuntungan buatku karena akhir-akhir ini Deva seringkali menyaksikan pertandingan sepak bola sampai larut malam, terkadang sampai dia tidak peduli kalau dia baru pulang terbang dari Korea sekalipun. Satu-satunya hal yang bisa mencegahnya untuk menonton bola adalah Azka, anak kami yang lahir delapan bulan yang lalu. Kalau di luar sana banyak yang bilang seorang perempuan itu akan jadi sempurna setelah memiliki anak, menurutku, hal itu juga berlaku untuk Deva. Setelah kami punya Azka, Deva menjadi laki-laki paling sempurna yang pernah kukenal. Setiap pulang terbang, dia akan bermain dengan Azka. Bahkan—aku jadi malu kalau harus menceritakannya—Deva sangat lebih baik dariku dalam hal mengganti popok dan memakaikan baju untuk Azka yang sangat aktif. Namun, semakin besar Azka dan semakin terjadwal pula pola tidurnya, Deva tidak punya 'teman main' di tengah malam dan akhirnya harus menonton pertandingan bola jika penerbangan berikutnya di siang hari atau dia punya waktu lebih untuk tidur. Untuk hobi barunya itu, sepertinya Deva sangat tepat memilih Yuni sebagai asisten rumah tangga kami.

Yuni melirikku sekilas dan kembali fokus ke penggorengan.

"Yun," aku mengulang, "Deva tidur jam—"

"Jam sembilan, Mbak Aira." Jawab Yuni masih ketakutan. "Sumpah, Mbak, suer..." Yuni dengan wajah konyolnya menyodorkan dua jarinya.

Aku membuang nafas berat, "Yun Yun, jam Sembilan mah nonton Opera van Java bukan nonton bola. Udah ah, kamu lanjut masak aja." Aku menyerah lagi, lama-lama aku malas juga kalau harus bertengkar dengan Yuni gara-gara pertandingan bola. "Oh iya, nanti saya terbang sekitar jam satu, kamu kasih ASI jam dua-an, ya."

"Buat Mas Deva, Mbak?"

Aku mengelus dada, "Iya, Yuni, buat Mas Deva. Nanti dimasukin ke botol buat bekal terbang, ya? YA BUAT AZKA DONG YUNI, SIA KUNAON!"

Yuni tersenyum kikuk dan mencoba kabur sambal membawa wajan. Aku kembali mengelus dadaku menahan diri untuk tidak berteriak lebih kencang lagi. Tadi Deva, sekarang Yuni, nanti siapa lagi?

"Ra... kenapa sih teriak teriak?" Deva duduk di meja makan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Wajahnya terlihat sangat mengantuk dan rambutnya bahkan sangat berantakan. Mungkin kalian akan membayangkan kehidupan rumah tanggaku yang indah, bangun pagi disambut dengan suami tampan, morning kiss, tapi inilah yang kudapat setelah melahirkan. Deva dengan kaos putih yang terlihat seperti monster yang tidur lebih dari tiga hari dan rambutnya yang mulai panjang tidak beraturan. "Kaka udah bangun?" tanya Deva. Dia sangat gemar memanggil Azka dengan panggilan Kaka, katanya agar Azka cepat mengenal namanya sendiri.

"Belum, dia masih tidur," jawabku kesal. Aku memilih untuk menyeduh teh untuk kami berdua.

"Mbak, Mas, saya nyuci baju dulu, ya? Ini sarapannya udah siap semua..." kata Yuni sambil menatap Deva, seakan-akan dia memberitahu Deva kalau 'semuanya aman'.

Devair 3.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang