Sudah hampir tiga bulan saya menganggur. Sewaktu bulan pertama dan kedua status tersebut disematkan, saya masih merasa bahwa saya berhak mendapatkannya; istirahat selama beberapa saat dari dunia kerja. Alasannya karena sewaktu saya lulus kuliah saya cukup beruntung dapat langsung mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan dan lokasi yang tidak terlalu jauh dari kampung halaman. Saya merasa saya terserang penyakit stres di tempat kerja lama karena teman-teman kantor yang tidak kooperatif, bos yang tidak cerdas, dan jenjang karir yang mandet. Jadi, tidak ada salahnya dong kalau mau beristirahat sejenak dari penatnya mencari nafkah?
Tentu saja saya tidak menjelaskan semua hal yang saya rasakan itu pada keluarga besar saya karena saya tahu mereka merasa keputusan saya ini belum tepat. Apalagi dengan kondisi ayah saya yang sudah pensiun dan adik saya yang masih bersekolah. Uang adalah prioritas tertinggi yang kami butuhkan saat ini. Mungkin karena kedua orang tua saya bukan tipe yang memaksa dan mendorong anaknya untuk segera melakukan sesuatu, saya jadi merasa di atas angin. Saya memberikan alasan yang sama setiap harinya pada mereka bahwa saya sedang mencari dan melamar ke berbagai perusahaan. Padahal jika ditilik lebih dalam, ibu saya sudah berulang kali membahas pekerjaan lewat obrolan santainya.
Namun setelah memasuki bulan ketiga, semua terasa salah. Perasaan berhak perlahan berubah menjadi sebuah pengelakan untuk menghindari tanggung jawab. Situasi stres dan penat hanya bentuk keengganan untuk banting tulang. Dan sayup-sayup keluhan yang keluar dari keluarga saya semakin menggema di telinga. Untuk pertama kalinya sebuah pemikiran terlintas di benak, “Apakah keputusan berhenti bekerja untuk mencari lagi adalah keputusan yang tepat?” Pertanyaan ini muncul karena sejak awal saya memutuskan untuk berhenti, saya sadar bahwa mendapatkan sebuah pekerjaan baru itu sudah seperti kompetisi. Hampir seluruh penduduk Indonesia yang sudah memasuki usia dewasa berburu hal yang sama. Semua bukan lagi perkara siapa cepat, dia yang dapat tetapi lebih ke siapa yang memiliki kemampuan berburu di atas rata-rata maka dialah yang dapat menggigit mangsanya.
Jika ditanya apakah saya sekarang lebih rajin lagi untuk melamar pekerjaan, jawabannya adalah tidak. Jika ditanya alasannya, saya akan menjawab lowongan pekerjaan yang saya temui di aplikasi daring tidak banyak yang cocok dengan kualifikasi dan pengalaman kerja yang telah saya dapatkan. Tapi sejujurnya, ada hal lain yang tidak saya sebutkan. Hal itu adalah ada banyak pekerjaan yang bisa dimulai dari awal dan sesuai dengan latar belakang saya tapi lagi-lagi saya ragu untuk mencoba. Keraguan itu muncul dari serangkaian pemikiran, sebut saja pemikiran bubar-jalan, yang berkata bahwa “ah pekerjaan ini gajinya kecil”, “perusahaan ini lokasinya terlalu jauh”, “posisi ini tidak sesuai dengan minat saya”, dan “jabatannya terlalu tinggi untuk orang yang memiliki pengalaman kerja di bawah dua tahun seperti saya.”
Beberapa minggu kemarin, saya bertandang ke rumah sepupu saya karena kebetulan salah satu paman datang dari Sukabumi. Di sana, kami makan dan mengobrol ngalor-ngidul. Sampai kemudian, salah satu sepupu perempuan yang sudah menikah membahas mengenai pekerjaan. Awalnya, saya sangat bersemangat karena suaminya bersedia membantu saya dalam mencari lowongan dari kenalan-kenalan beliau. Akan tetapi setelah mendengar posisi dan perusahaan yang kira-kira ada lowongan, antusias saya langsung surut. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pekerjaan yang dia tawarkan, yang menjadi penghambat adalah ekspektasi berlebihan saya. Resepsionis, teller bank, customer service, dan sales adalah pekerjaan tingkat pemula yang wajar diduduki oleh mereka yang ingin berkecimpung di dunia akuntansi dan perbankan. Terutama bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi atau manajemen.
Dengan arogansi setinggi langit, hati dan pikiran saya menolak tawaran itu meskipun di luar saya tetap mengangguk dan menerima bantuan mereka. Di benak saya waktu itu adalah “gue jadi yang begituan? Mau dapet gaji berapa nanti. Yang ada bukannya nabung malah makin kere.” Mungkin beberapa dari kalian juga merasakan apa yang saya rasakan. Terutama bagi kalian yang memiliki pendidikan sarjana. Lah udah cape-cape gue kuliah empat tahun, biayanya mahal eeh cuman digaji di bawah UMR. Dih ogah!
Berhari-hari saya masih berpegang teguh pada idealisme “bekerja haruslah dilakukan sesuai dengan passion mu.” Semua keputusan dibenarkan dan diyakini tidak akan disesali. Sampai suatu malam di kala hujan turun (entah kenapa hujan sepalu membuat saya lebih mellow dari hari yang lain), saya memikirkan lagi keputusan yang telah diambil. Saat itu saya bertanya memangnya apa passion saya. Pekerjaan macam apa yang akan saya kerjakan dengan hati riang gembira walaupun stres dan deadline mendera. Padahal di lain sisi, pengalaman kerja profesional saya alias yang dibayar hanya satu dan itupun kurang dari dua tahun dan tidak begitu saya bawa enjoy.
Perihal passion menurut saya seperti cinta; sulit diterka dan tidak bisa didapatkan jika belum terjatuh ke dalamnya. Masalahnya, sampai saat ini saya masih tidak percaya cinta karena belum menemukan momen di mana seseorang membuat saya rela melakukan apa saja tanpa pamrih. Jika kalian merasa sudah pernah mengalaminya dan tahu apa passion kalian dalam bekerja, salut lah saya dengan kalian. Cinta dan passion adalah dua hal yang tidak dapat dibangun dalam semalam. Contohnya saja cerita Roro Jonggrang yang meskipun sudah diusahakan membangun candi sesuai permintaannya tetap saja digagalkan oleh perempuan itu karena permintaannya hanyalah alasan untuk menghalangi pernikahan tanpa cinta dari pihak perempuan.
Nah, masalahnya saya masih tidak percaya cinta dan apapun aktifitas senggang saya seperti hobi tidak pernah saya tekuni dengan benar kecuali membaca dan menulis. Ya, saya memang se pemalas itu. Sering sebenarnya saya berpikir untuk mencari pekerjaan yang berhubungan dengan kedua bidang itu seperti jurnalis, editor/asisten editor fiksi, copy/content writer, dan pekerjaan lainnya. Namanya manusia selalu saja punya alasan buat mundur. Lagi-lagi pemikiran bubar-jalan itu menguasai saya. Dan sekali lagi saya menunda melamar pekerjaan itu.
Lalu, beberapa bulan yang lalu saya membaca buku dari Mark Manson yang berjudul The Subtle Art of Not Giving a F*ck (please kalian harus banget banget banget baca buku ini!) dan buku ini seakan menampar pipi saya bolak-balik. Manson dengan apik dan gaya blak-blakannya menuliskan seluruh opininya tentang hidup, terutama masalah mental tempe. Di situ saya merasa dimarahi habis-habisan karena termasuk ke dalam orang-orang bermental tempe seperti dirinya saat masih muda. Meskipun merasa babak belur, bukannya melakukan sesuatu atau menerapkan apa yang dia sarankan saya malah masuk dalam tahap denial. Tidak lagi saya baca buku itu untuk beberapa waktu karena saya merasa dipojokkan.
Suatu malam, saya tidak bisa tidur meskipun mata sudah mengantuk berat. Saya teringat tenggat pendaftaran beasiswa yang akan berakhir esok hari dan salah satu tulisan Manson. Sebelumnya saya memutuskan untuk menyerah karena saya belum memiliki paspor. Namun, saya ingat salah satu tulisan dia yaitu setiap langkah baru yang kita akan ambil pasti memiliki tantangan sendiri dan bukan goal yang harus dijadikan tujuan tetapi rintangan macam apa yang sanggup kamu hadapi sepenuh hati. Sambil memandang langit-langit kamar, saya berpikir rintangan macam apa yang saya sanggup lawan setiap harinya. Setelah berpikir keras, saya akhirnya bangun di tengah kegelapan malam dan menghidupkan laptop. Saya tulis semua esai yang jadi persyaratan dalam satu malam dan mengirimkannya pada pagi hari.
Jika kalian berpikir hari itu adalah titik balik hidup saya, kalian salah besar. Saya masih si pemalas yang memiliki segudang alasan untuk menunda dan mundur dari suatu pekerjaan. Tahap denial masih melekat pada saya. Entah sampai kapan.
Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk menulis (melanjutkan lebih tepatnya) karya fiksi di sebuah platform daring sebagai usaha untuk mengasah kemampuan menulis saya. Momen-momen malas yang menghambat saya untuk menulis itu masih ada tapi saya tetap akan memaksa untuk menulis walau mungkin hasilnya tidak sesuai yang saya inginkan. Walau begitu, saya sadar bahwa tidak ada hasil yang otomatis menjadi sebuah masterpiece jika sebelumnya tak ada karya yang buruk rupa. Dari karya yang jelek itulah kita akan belajar untuk membuat karya yang lebih sedap untuk dikonsumsi karena kita dapat melihat dan belajar apa saja yang perlu kita tingkatkan.
Tulisan ini adalah upaya saya untuk melawan kondisi denial dan malas yang sedang menjangkiti saya. Mungkin kalian saat ini mengalami hal yang sama dan jika kalian mau, kita bisa bersama-sama melakukannya. Karena, yang saya tahu sebuah usaha akan terasa mudah dilakukan jika ada seseorang yang melakukan hal yang sama. Kita dapat berbagi. Untuk saat ini, saya akan tetap menulis dan mencoba melawan mental tempe saya dengan mempublikasikan tulisan ini secara daring. Takut sih dan malu juga tapi ya kita lihat saja.
***
Sebelumnya saya hanya menerbitkan tulisan ini di blog pribadi saya. Tapi saya memutuskan untuk membaginya di akun Wattpad juga. Semoga menginspirasi☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuat-Cuit Pahit
Non-FictionCurahan hati seorang gadis berusia awal 20-an tentang pencarian seberkas kilau dalam hidup yang terlihat redup.