Akhir-akhir ini saya banyak melihat teman-teman saya mengalami krisis hidup. Krisis hidup yang dirasakan oleh mereka adalah ragu pada kemampuan yang mereka miliki, seringkali merasa stres dengan lingkungan di sekitarnya, dan self-blaming atau menyalahkan diri sendiri. Selanjutnya, saya akan menyebut tiga kondisi itu sebagai kondisi segitiga bermuda agar lebih mudah. Kondisi segitiga bermuda ini seringkali berujung pada kedepresian. Saya banyak melihat di media sosial bagaimana teman-teman saya mengaku merasakan serangan psikologis itu diusia yang masih terhitung muda, antara 20-25 tahun.
Jika ditanya apakah saya mempunyai wawasan yang mumpuni untuk membahas ini, dengan tegas saya menjawab tidak sama sekali. Namun seperti apa yang sering saya katakan pada teman-teman saya, saya sebisa mungkin akan membantu meskipun saya tidak mengerti atau tidak akan pernah mengerti dengan kondisi mereka. Melalui tulisan ini, saya akan menyalurkan pemikiran mengenai krisis hidup, kondisi segitiga bermuda, dan depresi serta menjadi media untuk mengatakan bahwa “Hey… I’m here. Kita mungkin tidak kenal dekat tapi kamu bisa mencurahkan seluruh isi hatimu dan aku akan menjadi seorang pendengar yang tidak akan menyudutkanmu.”
Semua orang memiliki masalah hidup yang berbeda itu sudah pasti. Tapi, itu tidak berarti bahwa kita adalah satu-satunya orang yang pernah berasa di posisi itu. Saya sering mendengar penuturan tersebut saat berkuliah ataupun saat membaca buku. Awalnya, saya menyangkalnya karena jika hal itu memang benar lalu kenapa orang lain terlihat baik-baik saja? Saya selalu merasa masalah yang saya tanggung lebih berat dari bermilyaran penduduk di muka bumi ini. Saya ingin orang-orang lebih peka pada perasaan saya dan mau mengorbankan dirinya.
Bahkan, saya sempat marah pada Tuhan. Setiap malam dapat dipastikan saya selalu menangis sambil menyuarakan ketidakadilan yang Tuhan berikan pada saya. Saya juga sempat berpikir apabila saya mati mungkin semua beban yang ada di pundak saya akhirnya akan lenyap. Berkali-kali saya menimbang keputusan itu tapi saya juga tidak berpaku pada adu mulut yang terjadi di dalam diri saya saja.
Momen terendah dalam hidup saya itu terjadi belum terlalu lama, yaitu pada saat usia saya 21 dan 22 tahun (mungkin momen itu akan hadir kembali seiring berjalannya waktu). Tidak banyak orang yang tahu bahwa di balik tampang datar dan selalu berbicara seakan hidup itu indah ini ada gejolak api yang menghanguskan seluruh jiwa saya secara perlahan. Untungnya, Tuhan saat itu masih sayang pada saya sepertinya karena tepat ketika kondisi segitiga bermuda itu akan berubah menjadi sosok yang lebih menyeramkan, saya menemukan kedamaian di menulis puisi dan berbagi pada orang-orang di sekitar saya.
Entah mereka mendapat mimpi dari surga atau bisikan dari malaikat tapi satu persatu orang-orang di sekitar saya mulai berbicara mengenai permasalahan mereka. Mereka bercerita bagaimana sulitnya bertahan hidup dan menantang ombak yang bernama pandangan masyarakat. Dari situ, saya lambat laun menyadari bahwa orang-orang yang selama ini saya anggap tidak memiliki masalah ternyata menyimpan krisis hidup yang sama atau bahkan lebih parah dari saya. Saya harus berterima kasih pada mereka karena dengan narasi yang mereka sampaikan saya dapat merefleksikannya pada kehidupan saya sendiri. Diam-diam saya mulai melihat benang kusut itu dari sudut pandang yang berbeda lalu perlahan menguraikannya satu persatu menjadi satu garis lurus.
Ketika saya mencoba menguraikan benang kusut tersebut, saya juga menemukan media lain untuk mengungkapkan perasaan yang terus saya timbun di dalam diri; saya mulai menulis puisi dengan serius. Saya bahkan memiliki buku catatan khusus untuk kumpulan puisi yang saya tulis sehingga bisa dibilang buku tersebut merupakan diari saya. Di situ lah tempat saya berkeluh kesah dengan menuangkannya ke diksi, metafora, dan frasa dalam bait-bait puisi. Lewat puisi itu juga saya dapat melihat permasalahan yang saya alami dari sudut pandang orang luar. Lalu pada akhirnya, menulis puisi menjadi meditasi saya setiap saya merasa lelah harus menguraikan benang kusut kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuat-Cuit Pahit
Non-FictionCurahan hati seorang gadis berusia awal 20-an tentang pencarian seberkas kilau dalam hidup yang terlihat redup.