Bab 191-Kubur Dipanah Petir

2.1K 22 1
                                    

SAYA segera melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Andi Kamarool. Dua tiga kali saya pejam celikkan kelopak mata. Saya rasa kurang yakin dengan apa yang saya lihat. "Apa yang mereka buat Andi?" Andi Kamarool gelengkan kepala. "Mereka korek kubur?" Soal saya lagi. "Barangkali," Andi Kamarool menjawab lemah. Bau busuk terus menusuk lubang hidung. Saya jadi resah tidakmenentu.

"Jangan bimbang Tamar, kita tunggu dan lihat." Saya akur dengan saranan Andi Kamarool itu. Sepasang mata ditujukan ke arah beberapa orang lelaki yang berbadan tegap. Mereka sedang mengerumuni sebuah kubur. Hampir dua puluh minit kami menanti tindakan selanjut dari kumpulan lelaki berbadan tegap. Saya menghitung jumlah mereka. Enam orang semuanya, dua daripada mereka mengais-ngais tanah kubur dengan cangkul, sementara yang lain bercakap sama sendiri dalam nada suara yang perlahan. Apakah kami wajar menunggu atau terus mendekati kumpulan lelaki tersebut? Fikir saya sendirian. Andi Kamarool terus termenung bagaikan orang mengelamun. "Kita jumpa saja," bisik saya pada Andi Kamarool. "Merbahaya. "Saya terdiam seketika. Alasan Andi Kamarool memang adakebenarannya, kalau kami terus mendekati mereka, mungkin kami dibelasah sampai setengah mati. Tetapi, kalau kami berterusan mengintip dari jarak jauh mungkin lebih berbahaya. seandainya kami disergap. Kami menghadapi masalah yang amat sulit. Saya dan AndiKamarool harus merumuskan keputusan yang jitu sebelum melakukan sesuatu. Tersilap bertindak celaka akan menimpa diri. Di bawah rimbunan dedaun dan pokok, kami memerah otak. Setelah dikaji dengan sehalus-halusnya, kami mengambil keputusan keluar dari tempat persembunyian untuk memperkenalkan diri kepada kumpulan tersebut. Dan kami bersedia menerima apa saja risiko. Dengan penuh keyakinan, kami melangkah keluar dari tempat persembunyian menuju ke arah kumpulan lelaki yang berbadan tegap. Mereka menyedari kedatangan kami tetapi, berpura-pura tidak tahu. Kami terus melangkah mendekati mereka. "Assalamualaikum," kata kami serentak. "Mualaikum salam," jawab mereka, batang tubuh kami menjadi sasaran biji mata mereka. Hati kecil saya merasa cemas dan Andi Kamarool nampak tenang sekali. Dan kehadiran kami tidak dipedulikan. "Ada orang meninggal?". Saya memberanikan diri. Mereka membisu dan saling berpandangan sama sendiri. Siapa yang meninggal?", Susul saya lagi. "Huh, menyibuk pula," salah seorang daripada mereka merungut. "Sabar, biar aku uruskan," lelaki yang berkulit agak cerah menepuk bahu kawannya dua tiga kali dan terus berdiri berdepan dengan saya.

"Tak ada orang yang meninggal," sepasang biji matanya dijegilkan ke arah saya. Andi Kamarool segera menendang betis kiri, memberi syarat supaya saya berhati-hati. "Kalau tak ada orang mati, kenapa kerumun kubur, bawa cangkul dan datang ke sini," cara bersahaja sekali Andi Kamarool menyoal. Saya lihat muka lelaki yang berkulit agak cerah itu segera berubah,nampak bengis dan marah. Jelingannya cukup tajam menikam ke wajah Andi Kamarool. Saya lihat dia menggenggam penumbuk, saya jadi cemas kalau dia melepaskan penumbuk ke muka Andi Kamarool. "Balik saja Andi," bisik saya. "Tunggu dulu," nada suara Andi Kamarool keras. Saya tidak ada pilihan dan terpaksa akur dengan permintaannya. Dalam erti, kata lain, saya harus menghadapi atau menerima risiko yang akan terjadi. "Kenapa kamu berdua sibuk urusan orang lain," cukup keras suara lelaki yang berkulit agak cerah itu. Dia bergerak ke kiri dan ke kanan, bagaikan mencari tempat berdiri yang sesuai dan selesa untuk membuka silat. "Kamu nak tahu ceritanya?" sergahnya. Serentak kami anggukkan kepala. "Aku ingat, kamu berdua orang luar." "Iya," cepat sekali aku dan Andi Kamarool menjawab. Dalam sekelip mata saja mereka terus mengelilingi kami. Beberapa orang daripada mereka sengaja menolak badan kami dengan bahu. Malah,ada yang cuba mengutuk clan memaki kami. Sudah tentu perbuatan itu membuat hati] jadi panas. Mujurlah sayamasih ingat dapat mengawal perasaan. PANAS Di tengah suasana yang serba panas itu, Maki berkulit cerah bertindak menyuruh kawan-kawannya yang mengelilingi saya dan Andi Kamarool beredar. Arahan itu segera dipatuhi, barulah hati saya merasa aman dan tenteram. "Kamu berdua nak tahu ceritanya kenapa kami ada di sini," ujar lelaki berkulit cerah. Wajah karni direnung penuh dengan perasaan geram. "Iya, karni sekadar nak tahu," kata saya. Kubur ni dipanah petir petang semalam. Bau busuk dan hangit yang kamu berdua hidu, datangnya dari kubur ini. Sekurang kamu dah dengar ceritanya. Aku nasihatkan kamu berdua berhambus dari sini, jangan nak siasat, ini urusan kami, bukan urusan kamu berdua. Kalau kamu tak pergi, kamu berdua susah nanti. " Saya dan Andi Kamarool terlopong mendengar cerita yang agak pelik dan ganjil. Saya renung wajah lelaki yang bengis itu sejenak. Dia menjegilkan biji mata. Ticlak memperlihatkan tanda-tanda persahabatan, "Ada hubungan keluarga dengan awak?", tanya Andi Kamarool. "Saya suruh

Siri Bercakap Dengan Jin, Tamar Jalis ( Jilid 14 )(COMPLETE)Where stories live. Discover now