Episode ketiga

144 3 0
                                    

Sehari setelah kejadian itu, Keisya hanya bisa melamun. Dia memikirkan kejadian masa silam. Perbuatan apa yang dilakukannya hingga kapas itu ternoda dengan darah sucinya.
Saat dia mengulang memori, sampailah pada saat kejadian itu. Keluar butiran air hangat dari sudut mata. Ingin berteriak sambil meminta keadilan dari Tuhan. Namun, apa daya? Sebaik-baik manusia, dia hanya manusia biasa, tidak bisa mengulang dan mengembalikan cacatnya menjadi sempurna. Keisya, perempuan rajin ibadah harus menerima kenyataan pahit. Karena kecantikannya, sang dosen tergila-gila sampai melukai jiwa perempuan itu.
"Mengapa, mengapa dan mengapa?" Jeritnya dalam kamar
Sungguh, dia sangat kecewa. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia menjaga kesucian, kini dosen bergelar Doktor itu dengan mudahnya merenggut kesucian perempuan itu dengan alasan skripsi.
Keisya bimbang. Ingin bercerita, tapi pada siapa? Dia malu, jangankan sama manusia, dengan senja saja dia sudah malu. Senja menjadi saksi kejadian itu.
Andai Keisya mengadu pada polisi, kasus ini akan menyeruak dan nama dia akan terpampang serta terkenal di kampusnya. Lalu, semua akan mengucilkannya. Akan banyak persepsi perihal dia. Semua akan mencibir bahwa dia terlalu bodoh. Semua akan membela sang dosen karena beliau sudah bergelar Doktor. Semua akan membela para derajat tertinggi.
Keisya, perempuan desa yang malang. Korban dari pendidikan.
Keisya merebahkan tubuhnya di kasur berukuran tiga kali tiga. Butiran hangat yang keluar dari sudut mata semakin deras mengalir.
Ketika itu, Keisya merasa bahwa dunia sudah berhenti. Tidak ada ekspektasi untuk menata masa depan. Bunuh diri, selalu terngiang dalam diri. Namun, suara paling dalam diri mengingatkan tentang dosa.
Dia benar-benar bingung.
Perempuan itu memiringkan tubuhnya, tertangkap olehnya setumpuk naskah karya ilmiah, skripsi. Terdapat juga pakaian yang dipakainya saat kejadian menjijikan itu. Dia menyesali memakai pakaian ketat itu. Tapi, baju itu tertutup dengan jilbab maronnya yang gondrong. Tidak, pakaian bukan menjadi alasan pemancing nafsu lelaki buncit itu. Jika hati dan pikiran dosen bergelar Doktor itu bersih, kejadian memalukan itu tak akan terjadi.
Deraiannya terus mengalir sampai matanya sembab. Dering telepon tidak lagi dihiraukan. Panggilan kerja sudah ditolaknya. Dia merindukan kampung dan belaian sang ibu.
Teringat sang Ibu, semakin kuat dia menangis. Dia sudah mengecewakan orangtuanya. Keringat ayah yang terkuras demi biaya di kota metropolitan harus dibalas kekecewaan, begitu juga dengan keringat ibu yang membantu ayah di sawah.
Hari itu, dia hanya bisa menangis. Tidak mau keluar. Sesekali menjerit, memaki lelaki buncit itu.
Sedangkan lelaki bergelar Doktor itu terus melamuni surga dunia bersama Keisya. Dia mulai ketagihan. Harapannya memiliki perempuan itu sudah terlaksana. Kecantikan perempuan itu sudah digenggamnya. Mata cokelat perempuan itu sudah membuat sang dosen tergila-gila. Mata yang hambar menampakkan keceriaannya di depan orang. Keisya perempuan cantik yang terluka dengan kekuasaan.
Lelaki berkumis tebal itu berkeras tidak ingin melepas mahasiswinya. Kelak, menjadi pelampiasan kehausannya.
Dia berpikir untuk mencari cara agar Keisya bisa dimiliki seutuhnya dalam jangka panjang. Dia tak ingin ada lelaki manapun yang memiliki mahasiswinya. Namun, dia tak ingin mengikat tali resmi dengan perempuan itu.
Keisya, masih dirinya yang terbayang dalam pikiran sang dosen. Dia tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Ingin mengulangnya kembali. Lelaki buncit itu berjalan menuju meja belajar, dia mengambil ponsel dan memencet tombol. Mencari nama Keisya pada daftar buku telepon. Menelepon Keisya. Malam itu, rindu sang Dosen membara. Rindu menggerayangi Keisya.
Saat lelaki itu menelepon, hanya bernada sambung namun tidak ada nada suara Keisya. Pertanda bahwa Keisya tidak menerima telepon dari sang dosen. Lelaki itu mencoba lagi hingga berulang-ulang. Keisya masih tak menerima telepon.
Dosen bergelar Doktor itu mulai memerah wajahnya. Darahnya mengalir lebih cepat. Dia menghempaskan ponsel ke ranjang.
"Kau lihat nanti kalau kau mau macam-macam padaku." Ketus lelaki itu.

Medan, 24 November 2018
12.38 WIB

Penjual SkripsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang