Episode Kesepuluh

18 0 0
                                    

Lelaki buncit itu masuk ruang dingin dengan wajah merah padam. Kekecewaan yang dirasakannya melebur jadi emosi. Perempuan dambaan hatinya tak menerima panggilan dari ponselnya. Padahal dia sudah membuat janji dengan Keisya. Mereka akan bertemu di kampus dan berkencan.

Dia memerintahkan tubuhnya untuk duduk di kursi empuk. Menyandarkan tubuhnya di kursi.

Syukur saja alat pendingin ruangan mampu mendinginkan otaknya.
Lelaki itu melipat tangan sambil memejamkan mata.

Sekelak dia merasakan dingin, seorang pemuda mengetuk pintu sambil menjulurkan kepalanya di ambang ruang.
Dia membuka kelopak mata. Menatap pemuda itu. Ya, pemuda sekaligus keponakannya.

"Ada apalagi dia ke sini?" Gumamnya dalam hati

Lelaki paruh baya itu mengangguk. Pertanda mengijinkannya masuk.
Pemuda sekaligus mahasiswanya itu berjalan memasuki ruangan sambil menundukkan kepala.
Dia sudah mantap di depan lelaki buncit itu.

"Ada apa?"

Lelaki bergelar Doktor itu mengelus perutnya sambil menatap tajam pada pemuda itu

"Gini, Om. Eh, Pak."

Keadaan lengang. Mahasiswa itu menyapu ruangan. Terlihat staf sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Bagi dia tidak layak berbicara hal ini pada pamannya. Namun, dia harus mengatakannya.

"Bagaimana ya? Begini, pak. Aduh, anu pak. Duh, masalah beasiswa."

"Kau urus saja berkasnya, bawa ke sini. Kau sudah memenuhi syarat belum."

"Itu dia, pak. Toefl saya belum memenuhi."

Lelaki buncit itu menarik bibir tipisnya. Tangannya tak lagi mengelus perut. Matanya juga berubah jadi tatapan teduh.
Dia memajukan badannya sambil menghela napas.

"Aman itu. Asalkan..." Bisiknya

Pemuda itu mengangkat dagunya. Tatapan mereka bertemu di atas meja kerja si paman. Serapi mungkin mereka bersandiwara agar tidak ada yang mengetahui permainannya.

"Apa itu, pak?"

"Kau harus bisa jadi Presiden Mahasiswa. Kau harus bawa bendera organisasi kita jadi lebih harum." Bisiknya sambil menyisiri ruangan.

Mahasiswa itu menelan ludah. Bagaimana mungkin? Itu terlalu berat baginya. Tapi, dengan cara seperti itu, dia bisa dikenal dan dipandang para mahasiswa lainnya. Kalau begitu, semua perempuan akan banyak mengejar dia di kampus. Tidak hanya itu, dia juga memiliki wewenang untuk mengambil keputusan.

"Tapi, pak..."

"Nanti malam kau datang ke rumah." Potong lelaki buncit itu.

Penjual SkripsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang