Ketika itu Sengkuni menanyakan nama mahasiswa yang akan dikerjakan skripsinya. Bukan sekedar nama, dia juga menanyakan asal mahasiswa itu. Sebab, atasannya itu bekerja di dua tempat. Barangkali Sengkuni mengenali mahasiswa itu, atau mereka menetap pada satu organisasi.
Lelaki itu tersenyum. Matanya menatap tajam. Mencari tahu atas pertanyaan yang di lontarkan anak buahnya itu."Dia, bukan siapa-siapa. Hanya anak miskin yang tidak sanggup kuliah."
Bedebah. Terlalu cepat memvonis. Inilah manusia yang sudah terkungkung dengan kekuasaan. Manusia yang merasa Tuhan, menghendaki pemujian dari sebangsanya juga. Meraung agar manusia bersembah padanya.
Dasar manusia merasa Tuhan. Keisya bukan tak sanggup kuliah, dia hanya korban dari keserakahannya. Dia sudah menuntut ilmu sesuai prosedur. Monster buncit itu saja yang haus darah manusia. Terlalu berpihak pada nafsu. Sedangkan akalnya diabaikan."Dia mahasiswa kita, di sini, pak"
"Iya. Keisya Azzuhra."Sontak Sengkuni terkejut. Setahunya, Mahasiswi itu tidak pernah mengeluh tentang tugas. Selalu tepat waktu mengumpulkan tugas. Mulailah bermunculan beberapa pertanyaan. Bagaimana bisa? Mengapa dia melemah? Apa mungkin atasannya ini bermurah hati karena dia sebagai mahasiswi terbaik? Atau, karena kecantikannya mampu meleburkan hati sang dosen?
Ah, pertanyaan yang bermuara pada terkaan. Menghujani kepala Sengkuni.
Mendengar nama Keisya disebut, jantung Sengkuni berdegup lebih kencang dari biasanya. Bagaimana tidak? Dalam diam, dia suka memperhatikan wajah manis itu. Wajah yang meneduhkan lelaki dari teriknya nafsu."Loh, Pak. Bukannya Keisya itu mahasiswa...."
Lelaki buncit itu merogoh saku celana. Ponselnya berdering. Dia tersenyum manis melihat nama yang tertera pada ponsel. Ucapan Sengkuni pun bagaikan karbondioksida yang keluar dari tubuh.
Dia mengangkat telapak, seolah menolak Sengkuni. Bergegas menjauhi anak buahnya. Ponsel itu terus berdering. Dia tidak mau menerima telepon dari keramaian. Segera dia pergi mencari tempat yang sunyi.
Deringan itu sudah berhenti. Sedangkan langkah lelaki bergelar Doktor itu terus melaju.
Kembali lagi berdering. Tampaknya itu teramat penting hingga berulang menelepon.
Dia berjalan teregesa-gesa. Sesekali dia menoleh ke belakang dan melemparkan pandangan ke kanan ke kiri. Mengawasi keramaian. Dia melewati barisan ruang. Sesampainya di penghujung gang gedung, dia berbelok ke kanan. Tepat di belakang rumah ibadah. Di bawah pohon rindang, dia memberhentikan langkahnya."Ini mangsa baru." Gumamnya dalam hati
Sudah dua kali ponsel itu berdering, namun tak juga dia terima. Dia sibuk menyentuh layar ponsel dengan jari telunjuk. Dia angkat tangannya, melekatkan ponsel ke telinga. Menelepon.
"Hah. Apa cerita? Tadi, aku sedang sibuk." Ujarnya.
Seksama dia mendengarkan orang yang berbicara dari ponsel itu. Matanya masih saja mengawasi sekeliling. Khawatir akan ada angin berdesas-desus ke telinga orang tentang profesi yang luar biasa itu.
"Dia mau ambil jurusan apa?" Tanyanya pada seseorang di seberang ponsel.
Bersambung...
Medan, 28 Desember 2018
09.31 WIB