Kapas putih itu sudah ternoda. Suci, tidak lagi di dirinya. Dia bisa apa? Deraian tidak bisa mengubah keadaan. Kedua telapak hanya bisa menutup wajah.
Sejak itu, Keisya tidak lagi mencintai senja. Dia malu pada senja yang mengintip kejadian itu dari sela jendela. Ya, kejadian yang sangat menjijikan.
Perlahan, raja cahaya merangkak ke peraduan. Seruan dari rumah ibadah sudah berkumandang. Lelaki buncit itu memasang kancing baju, menggulung sarungnya. Dia tersenyum dengan lukisan puas di parasnya.
Sedangkan Keisya, hanya bisa tersedan-sedan. Malang nian nasib perempuan itu.
"Sudahlah! Jangan menangis. Kau juga merasakan enak. Lagian, skripsimu akan kuperjuangkan. Kau akan cepat wisuda. Asalkan..." ujar lelaki buncit itu
Lelaki itu terdiam sejenak. Dia masih haus kepuasan di balik selimut. Memang benar kata orang, paling enak itu ayam dari kampung. Terasa alami. Lelaki berkumis tebal itu ketagihan dengan nikmatnya rasa ayam kampung. Itu sebabnya dia ingin memelihara ayam dari kampung.
Tidak terlalu susah baginya. Mengandalkan kekuasaan demi menggerayangi hidup si ayam. Percuma saja dia memiliki kekuasaan, jika tidak menyembunyikan hasil buat diri sendiri.
Perempuan berjilbab panjang itu masih meraung. Dia masih menutup wajah sambil merunduk. Kini, hanya gelar harapannya.
Dia terus berpikir, bagaimana keadaannya di masa yang akan datang? Lelaki mana yang mau menerima perempuan cacat? Hanya bisa pasrah pada Tuhan.