Lelaki perut buncit itu mengemasi semua perlengkapannya. Dia bergegas pergi ke kampus. Seperti kegiatannya, mencari mangsa. Apalagi yang dicarinya di kampus jika tak mangsa. Mengharapkan gaji sebagai dosen, tidak mungkin bisa menguliahkan anaknya ke Jakarta. Hanya Diktat dan kekuasaan sebagai jembatan kekayaan materinya. Miris, memang miris.
Lelaki itu melangkah dari kamar, menuruni anak tangga menuju pintu. Dia memiliki satu malam lagi di rumah sendirian. Itu pertanda bahwa dia mempunyai kesempatan menghabiskan waktu semalam bersama Keisya.
Lelaki itu berlama di dalam mobil sambil memikirkan cara agar Keisya bisa betah dalam pelukannya. Pikirannya melayang tentang seranjang bersama Keisya.
Persoalan ranjang, bisa diatur. Namun, dia berpikir keras untuk memancing Mahasiswi idamannya agar bisa masuk ke dalam jeratan. Kelak, Keisya selalu kecanduan padanya.
Dia harus bisa melumpuhkan hati Keisya untuk memohon dan membutuhkannya. Cuma itu strategi yang dia miliki. Sekali menjatuhkan, harus tertunduk padanya.
***
Di Kampus
Lelaki bergelar doktor itu keluar dari mobil sambil melambaikan tangan. Dia melemparkan senyuman yang membuat tandus bunga bangsa dan menghabisi keringat orangtua Mahasiswa hingga kerontang.
Lelaki itu melangkahkan kaki menuju Asistennya. Langkah semakin dekat sampai si Asisten terlihat besar di matanya.
Seperti biasa, dia duduk di kantin bersama sepertemanannya. Ada saja bahan untuk di konsumsi bibir mereka. Jika tidak ada bahan sebagai gurauan, mereka mulai membahas sistem pemerintahan. Terlampau jauh untuk di bahas. Bahkan untuk menyajikan Mahasiswa berkualitas tak terlintas di beranda kantin. Miris, ya memang miris.
Lama dia bercengkrama bersama teman. Akhirnya lelaki itu mengajak si Asisten menjauh dari perkumpulan dosen. Dia memanggil Sengkuni yang duduk di seberangnya.
Mereka berjalan bersampingan.
"Bagaimana skripsi anak-anak? Sudah selesai?" Tanya lelaki buncit itu
Sengkuni berjalan merunduk sambil menyatukan kedua telapak. Matanya tak bisa menatap sang dosen. Dia tahu betul jabatan lelaki itu. Lagian, karir Sengkuni bisa hancur jika tak menuruti kemauan lelaki itu. Mau bagaimana lagi? Mengerjakan skripsi merupakan kerja sampingan bagi Sengkuni. Mau makan darimana lagi? Mengharapkan gaji sebagai dosen honor, tidak cukup untuk makan. Hanya bisa dipakai untuk bayar indekost."Sudah selesai satu skripsi, pak. Tapi, begitulah pak. Saya menjiplak dari sana sini."
"Tidak apa, terpenting selesai. Lagian, mana berani mahasiswa membantah. Kamu tahu siapa saya? Mereka pasti tidak berani memecat saya." Celetuk lelaki buncit itu
Tepat di depan kantor, mereka berhenti. Sama seperti lelaki paruh baya itu yang memberhentikan tangan mengelus batu cincinnya. Lelaki itu menugaskan tubuhnya menghadap Sengkuni. Dia sedikit mendongak untuk menatap wajah Asistennya.
"Ada tambahan satu skripsi lagi untuk dikerjakan. Tapi, tidak ada bayarannya. Tolong kerjakan ya."
Sengkuni mengerutkan kening, menatap tajam lelaki paruh baya itu. Tidak biasanya lelaki itu memperkerjakannya tanpa bayaran. Tatapan Sengkuni tak lepas dari Lelaki itu sampai dia memberikan alasan tepat.
"Kerjakan saja. Anggaplah kita mencari amal. Hanya satu skripsi saja." Imbuh Lelaki buncit itu
Ringan sekali dia memberikan alasan. Mudah sekali baginya menjual kata "amal" kepada orang yang belum tentu memberikan kelapangan untuk mengerjai skripsi seseorang.
Medan.
15.13 WIB
Jumat, 14 Desember 2018