Malam ini jalan di sekitar kompleks rumahku tidak seterang biasanya. Beberapa lampu padam dan rusak. Ini gara-gara kurangnya perawatan dari petugasnya, dan hujan yang nyaris selalu deras setiap minggu. Kakiku yang dibalut sepatu kets berwarna abu-abu terus berjalan, beberapa genangan air menyebabkan sepatuku kotor. Tidak peduli, yang penting aku harus beli makanan malam ini. Perutku lapar, aku tidak tahu harus makan apa. Di rumah hanya ada beberapa sayuran yang memakan waktu lama untuk memakannya. Untuk itu aku memutuskan untuk membeli makanan instan di mini market dekat rumahku.
"Selamat malam, selamat berbelanja." Sapaan ramah dari laki-laki yang menjadi kasir disini, seperti biasanya. Andaikan saja saat aku pulang kerumah, keluargaku akan berkata seperti itu. Memang terlalu naif, tapi jika dipikir-pikir mungkin keharusan menyambut seseorang bukanlah dari abang-abang kasir mini market atau pun satpam bank, tapi dari keluarga sendiri.
Beberapa makanan yang aku beli adalah mie cup, dan snack singkong yang isinya lumayan banyak. Lalu aku duduk di meja depan mini market dan menyantap makanan nikmat di depanku ini. Gerimis datang begitu saja, semakin lama hujannya semakin besar, aku memutuskan untuk duduk memakan snack dan menunggu hujan reda. Di seberang jalan aku melihat seorang anak laki-laki berseragam SMA berlari ke arah mini market. entah kenapa dia aneh, jaketnya dia pakai untuk menutupi tasnya, bukan dia gunakan untuk melindungi kepalanya dari air hujan. Rambutnya basah kuyup dan bajunya -tidak perlu dijelaskan- benar-benar basah.
Aku terus memerhatikannya, bukan karena aku suka. Tapi tidak ada hal lain yang dapat aku jadikan objek pengamatankusaat ini, hitung-hitung menghilangkan bosan. Dia berlari membuka pintu minimarket, lalu mengambil beberapa barang yang akan dia beli sekaligus sebuah payung berwarna biru muda. Dia keluar dari mini market dan duduk di seberang meja, menghadap ke arah jalan. Aku mengamatinya dengan tajam, sebut saja ini sebagai kebiasaan burukku. Yang jelas aku selalu ingin tahu apa yang terjadi jika aku mulai mengamati. Dia mengeringkan rambutnya dengan handuk dan melepas jaket yang sangat basah itu, lalu myimpannya ke dalam kantong plastik. Lalu satu persatu bukunya dikeluarkan, tiga buah buku tebal, kimia, biologi, dan fisika. Serta beberpa buku catatan yang terlihat agak basah. Dia menghela napasnya seakan bersyukur jika bukunya tidak kenapa-kenapa. Tidak kusadari aku menatapnya terlalu lama, kemudian dia menoleh ke arahku. Raut wajahnya tidak melukiskan ekspresi sama sekali, matanya tajam dan warnanya hitam, dan jernih. Tidak kusangka aku melihatnya dan membalas tatapannya. Kami terdiamm, lalu dia membuka mulutnya.
"Kamu? Kenapa memandangi orang seperti itu? kamu tahu itu tidak sopan." Katanya sambil melihat ke arahku serta memamerkan tatapannya yang mematikan. aku tidak berkutik, dan beberapa saat hanya diam saja.
"Karena kamu aneh, kenapa menutupi tas dengan jaket dan membiarkan diri sendiri kehujanan?" Tanyaku, entah darimana keberanian itu berasal aku benar-benar hanya ingin tahu.
"Pelajar seperti saya harus selalu memerhatikan prioritasnya, dan buku adalah prioritas saya. Buku-buku yang saya bawa, adalah hasil belajar saya selama satu tahun, dan beberapa soalnya telah rampung diselesaikan. " Katanya dengan jelas. Aku menganggukan kepala, lalu melihat langit malam yang penuh kabut.
"Ternyata orang pintar ya," Ujarku pelan. Lalu diapergi sambil berlari kecil karena hujan sudah agak reda. Aku menyuapkan snack yang aku beli, hingga pada remahan terakhir. Kuputuskan untuk pulang, namun sudut mataku menangkap sebuah kantong plastik. Milik laki-laki bermata tajam tadi.. Apa yang harus aku lakukan dengan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
ASUMSI
Teen FictionTentang Nadya dan Reihanda yang larut dalam asumsi yang mereka buat. Mereka pikir semuanya ada dalam kepala mereka, namun satu hal yang mereka lupakan. Bahwa bumi dihuni oleh milyaran kepala.