simpati [R]

25 5 0
                                    

"Menurut lo apakah tidak peduli untuk tidak dipedulikan adalah suatu bentuk ketidak pedulian yang tidak semestinya?" Pertanyaan Nadya membuatku berpikir cukup lama. Bukan hanya karena kata-katanya sulit dimengerti. Namun, ada pengakuan darinya kalau dia adalah orang yang merasa dirinya tidak dipedulikan oleh orang lain. 

Menurutku, pikirannya terlalu sempit. Aku lihat dia baik-baik saja, jika pun tidak dipedulikan bisa saja karena dirinya tidak mau peduli dengan orang lain, iya kan? life is about give and take.

Kenapa harus menunggu orang lain peduli agar kita peduli? Kenapa harus tidak peduli pada orang yang tidak peduli? Apakah artinya sama saja kita busuknya seperti orang-orang itu? Ada sekian banyak pertanyaan yang membuatku ingin bertanya lebih lanjut pada Nadya, tapi raut wajahnya seolah mengatakan "don't ask me any question, just stay away, and silent." Aku berlalu meninggalkan toko buku itu. Beberapa buku catatan aku  beli, karena di rumah sudah habis. Nadya terkesan angkuh, jika dibandingkan dengan penampilannya yang sederhana. Tapi harus aku akui, untuk seorang perempuan, aroma tubuhnya dipenuhi oleh bau ikan dan agak amis. Aku sendiri tidak mengerti. Apa dia sebegitu tidak pedulinya sampai dengan diri sendiri saja tidak peduli. Uh come on, we can knowing someone through their cover, I mean cover tidak selalu hanya topeng,  but it's definitely would showing to people how someone is, maybe a little bit of someone's personality.  

***

Sesudah sampai di rumah, aku langsung menyalakan TV dan menunggu Budi datang karena kami ada janji untuk mengerjakan tugas bersama. Ibu dan Bapak kebetulan sedang pergi ke kantor karena ada beberapa kendala yang harus mereka selesaikan. Tak begitu lama aku menunggu, akhirnya Budi datang dengan sekantong besar makanan. 

"Bud? Lo mau ngerjain tugas atau mau mukbang?"  Tanyaku. "Dua-duanya boleh gak?" Tanya Budi, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. 

"Kalo mau ikut makan gak usah ngomel, santai aja, jangan apa-apa dikomen." Ucap Budi. 

"Iya iya, mulai dari mana nih?" Tanyaku.

"Bentar Rei, gue siapin dulu." Kata Budi. 

"Kemarin-kemarin gue liat cewek Bud," Ujarku pada Budi yang sedang mengeluarkan buku-buku dari tasnya.

"Hm." Ujar Budi menganggukkan kepalanya, mengisyaratkan dia menyimak ucapanku.

"Tapi orangnya aneh Bud," Ujarku. "Hm." Kata Budi.

"Orangnya tuh sejenis orang yang apatis, dia mengakui kalo dia itu gak peduli sama orang lain, karena orang lain gak peduli sama dia. Berarti Bud, dia tuh sama aja gak pedulinya sama orang-orang itu kan?" Tanyaku Pada Budi.

"Hm." Ucap Budi sambal mengangguk.

"Lo hm-hm hm-hm doang, ngomong dong. " Ucapku kesal karena Budi tidak kunjung mengeluarkan kata-katanya.

"Lo mau gue ngomong apa Rei?" Tanya Budi.

"Masa Lo ngomong gue yang nentuin?" Ucapku. Budi hanya diam, lalu mulai membuka bungkus makanan ringan. "Kenapa lo gak bisa nentuin?" Ucap Budi.

"Jelaslah, kan gue gak tau lo mau ngomong apa, kalo gue yang nentuin sama aja bohong, gak perlu nanya sama lo." Ucapku kesal. "Tapi bisa kan?" Tanya Budi.

"Bisa nentuin lo harus ngomong apa?" Ucapku. "Gak lah Bud, kalau pun bisa juga gak etis, bisa aja yang mau lo bilang lebih penting dan bener dibanding apa yang pengen gue denger doang." Lanjutku.

"Bisa aja cewek itu cuman ngebenerin apa yang lo bilang, dan bilang iya iya aja sesuai apa yang lo mau." Ucap Budi.

"Kok gitu?" Tanyaku. "Simple aja Rei, karena cewek itu gak betah ngomong sama lo." Ucap Budi.

"Emangnya Lo gak betah ngomong sama gue?" Tanyaku pada Budi. "Kadang enggak sih, lo kan kadang suka mikir seenaknya." Ucap Budi.

"Contohnya?" Tanyaku. "Ya.. kayak barusan. Bisa aja lo belum tau alasan kenapa cewek itu bilang gak peduli sama orang lain." Ucap Budi, "Bisa aja lo gak akan pernah tau, karena belum pernah ngerasain jadi dia gimana. Orang-orang itu beda Rei, jangan disamain sama keadaan diri sendiri doang. Orang tuh bisa aja punya keterbatasan dan masalah yang gak bisa diselesaikan dengan solusi yang kebanyakan orang pikirin." Lanjut Budi.

Aku hanya mengangguk dan ber-oh ria menanggapi ucapan Budi barusan. Yang dikatakan Budi memang tidak ada salahnya, mungkin memang aku tidak tahu bagaimana rasanya berada di sudut pandang Nadya.

"Emang siapa sih orangnya?" Tanya Budi. "Heran gue, baru kali ini lo ngegosip, gosipin cewek pula." Kata Budi.

"Nadya Bud,"

"Yang Namanya Nadya banyak Rei," Ucap Budi.

"Nadya anak MIPA," Ucapku. "Anak MIPA banyak Rei yang Namanya Nadya." Kata Budi . "Pokoknya Namanya Nadya, anak MIPA. Gue gak tau kelas mana dan kepanjangannya apa. Kalo mau tau tar gue liatin di sekolah." Ucapku.

"Liatin? Kayak barang aja diliat-liat." Ucap Budi santai.

"Mau lo apa Budi?!" Ucapku. Budi hanya tersenyum memamerkan barisan giginya yang rapih.

"Nadya ya Rei, gue pernah tuh dulu temenan sama yang Namanya Nadya. Banyak banget yang Namanya Nadya. 3 orang sih dulu. Pas TK, SMP, sama sekarang tuh si Nadya anak IPS yang suka malakin jajanan orang." Aku memutar bola mata mendengar cerita luar biasa bermanfaat dari Budi.

"Tadi aja lo ngomel-ngomel gue bawa makanan karena bakal bikin gak fokus. Sekarang lo sendiri malah out of topic" Ucap Budi. Aku hanya diam dan pura-pura tidak mendengarnya.

"Lanjut belajar Bud," Ucapku. "Halah" Ucap Budi sambil memulai membuka buku. 







ASUMSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang