Aku berjalan mengambil beberapa file yang dibutuhkan untuk rekapitulasi nilai ekstrakulikuler sambil memikirkan sikap Nadya barusan. Aku sudah sadar sejak kemarin malam, kalau Nadya sekolah di SMA Nusa Cendikia alias satu sekolah denganku. Aku sempat melihatnya di beberapa acara sekolah, termasuk festival siswa semester kemarin. Dia salah satu dekorator untuk stand kelasnya, anehnya dia sendiri mengerjakan semuanya sampai pukul 10 malam. Saat itu aku dan teman OSIS yang lain sedang berpatroli untuk mengecek keberlangsungan dekorasi semalam sebelum hari pelaksanaan puncak festival siswa.
Dari raut wajah yang dia tunjukkan, sepertinya Nadya benar-benar tidak mengenalku. Atau mengetahui namaku tapi tidak tahu tampangku?
Aku telah selesai merapihkan kertas-kertas ini. Ku lirik Nadya masih berkutat dengan tugas biologinya.
"Nadya?!" Sahutku, dia menoleh alisnya bertaut seolah bertanya 'ada apa?' "Ruangan mau ditutup setengah jam lagi," Ucapku, dia hanya mengangguk dan memberikan isyarat oke dengan jarinya lalu kembali fokus pada tugasnya.
"Gue Reihan," Ucapku. Lalu aku berbalik berjalan untuk keluar dari ruangan ini dan memberikan kertas-kertas ini kepada Pak Anwar, petugas bidang akademik dan ekstrakulikuler. Setelah aku pikirkan lagi, Nadya itu sepertinya apatis, bukannya tidak sopan. Sepertinyaa dia cukup rajin karena temanku pun yang selalu kena peringkat tiga besar tidak pernah mengerjakan tugas saat di sekolah langsung, bahkan ketika punya waktu luang.
***
Budi mengisi tempat di sebelahku. Aku berada di pinggir lapangan basket, menghabiskan makan siang yang diberikan Mamah saat tadi pagi. "Rei, bagi dong." Ucap Budi, sambil melihat kotak makananku yang masih penuh. "Lo belum makan emangnya?" Tanyaku. "Masih laper nih, lo gak kasian apa? Liat temen kekurangan nutrisi?" Ujar Budi.
Aku menghela napas, memikirkan kata-kata Budi. Kekurangan nutrisi? Jika harus aku deskripsikan, proporsi tubuh Budi itu sudah melebihi batas normal, dengan kata lain disebut obesitas. "Kekurangan nutrisi, kelebihan fat" ucapku datar.
"Eis, lo body-shaming bisa diperkarakan Rei," Ucap Budi sambil memandangi lapangan basket. Sontak aku kaget, dan memandangi wajah Budi yang berubah serius.
"Yaelah Bud, sama temen sendiri." Ucapku. "Makanya, temen kok begitu." Lanjut Budi.
"Bud.. Yaelah." Ucapku.
Seketika keheningan menerpa kami. Budi diam dengan tampang seriusnya, dan aku tertegun serta memikirkan perkataan Budi tentang body-shaming barusan.
"Gue gapapa kok, asal lo mau bagi makan siang, " Katanya, sambil tertawa. Aku benar-benar kesal sekaligus lega.
"Bud, lo apaansih." Ucapku. "Gak." Lanjutku tegas. Tidak mungkin Budi begitu serius menanggapi obrolanku soal menyebutnya kelebihan lemak atau apa pun itu. Biasanya Budi selalu santai saja menganggapinya, seharusnya aku sudah menduganya sejak tadi.
"Lagian kan undang-undang body shaming adanya di UU ITE, gue kan gak ngomentarin lo di sosmed atau nulis ejekan. Lo lapor emang ada buktinya?", Ucapku sambil tersenyum menang.
"Gue buktinya, lagian kan undang-undang body-shaming gak cuman ada di UU ITE, tapi ada juga yang kena jerat kalo body shaming lewat verbal ada di pasal 310 KUHP bisa kena kurungan 9 bulan. kalo ITE itu, Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3 hukumannya 6 tahun penjara. Gimana?" Ucapnya meniru gayaku tadi, lalu Budi tertawa merayakan kemenangan obrolan ini.
Aku mengangguk, Budi memang sehafal itu dalam masalah konstitusi dan beberapa hal lain. Tapi kenyataannya, semua undang-undang yang ada di Indonesia seolah hanya tumpukan peraturan mendetail tanpa adanya solusi pelaksanaan yang tepat. Banyak kok, yang ngusulin undang-undang tapi ngelanggar sendiri.
"Iya deh, master konstitusi." Ucapku.
"Lagian Rei, jadi temen pelit banget. Itu baru makanan loh ya, gimana kalo gue suatu saat minjem duit gara-gara dikejar-kejar rentenir. lo mau nolongin?" Ucapnya.
"Ogah," Ucapku. "Teman macam apa" Ucapnya.
"Nih, gue kenyang. Lo abisin aja ya." Ucapku menepuk bahu Budi lalu berjalan pergi menuju kelas.
"Nah gitu dong, ribet amat anjir negosisasi sama lo harus ngeluarin sari-sari otak gue," Ucap Budi.
Aku pura-pura tidak mendengarnya dan segera kembali ke kelas karena bel istirahat sore akan segera berbunyi. Satu lagi, sejak aku mengawali masa SMAku, memang sekolah setiap hari selalu full day. Bel masuk sekolah adalah pukul 6.30 dan bel pulang sekolah adalah pukul 16.30. Sebuah rentang waktu yang cukup lama. Kalau kata Budi, istilahnya menua di sekolah.
Bisa dikatakan Budi adalah satu-satunya teman dekatku. Bukan tanpa alasan aku berteman dengannya. Yang pertama, Budi adalah makhluk yang satu spesies denganku. Yang kedua, Budi tidak pernah mengajakku bolos. Yang ketiga, aku bisa belajar Sejarah Indonesia dan PPKn dengan Budi. Yang keempat, Budi adalah tipe orang yang punya prinsip dan prinsipnya tidak bertentangan denganku.
Budi bilang,
kalau hidup hanya untuk cari uang, semua orang bisa melakukan segalanya untuk dapetin duit termasuk dengan cara-cara gak baik kayak korupsi, mencuri, nyopet, perampokan.
Kalau hidup hanya untuk bahagia, semua orang bisa bebas ngelakuin apa aja biar bisa bahagia, termasuk ngajakin selingkuh pacar orang karena diduga akan bahagia dengan wanita impian.
Kalau hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan, bumi bisa kehabisan energi. Manusia kan, selalu banyak kebutuhan. Manusia itu tumbuh, tapi sumber daya alam? berkembang biak gitu? Lo pernah liat ada batu bara berkembang biak?
Kalau hidup hanya untuk hidup, kutu aja hidup.
Terus apa dong Bud?
Ya, hidup mah hidup aja Rei,
Buat gue, Hidup itu makan.
Tanpa sadar aku tertawa mengingat perbincangan kami dulu. Budi selalu seperti itu, aku menggelengkan kepala dan kembali fokus pada buku di depanku.
"Reihanda?" Panggil Bu Intan
"Iya Bu?"
"Kamu bisa jelaskan kembali Bedanya jenis basa nitrogen yang ada di DNA dan RNA?", Aku tertegun, otakku seperti memunculkan kata loading saat memproses jawaban dari pertanyaan Bu Intan.
"Jika dalam DNA atau deoxyribonucleic acid , adenin berpasangan dengan timin dan dikenal dengan basa timin. Sedangkan dalam RNA atau ribonucleic acid, adenin berpasangan dengan urasil dan dikenal dengan basa urasil." Ucapku, lalu menghela napas lega.
"Baik, kita lanjutkan.." Aku nyaris saja tidak bisa menjawab, fokusku teralihkan gara-gara si Budi. Untung saja tadi malam, aku sempat melihat kembali catatan minggu lalu, jika tidak, Bu Intan pasti akan mengeluarkan amarahnya yang begitu dingin tapi mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASUMSI
Teen FictionTentang Nadya dan Reihanda yang larut dalam asumsi yang mereka buat. Mereka pikir semuanya ada dalam kepala mereka, namun satu hal yang mereka lupakan. Bahwa bumi dihuni oleh milyaran kepala.