Ke Khawatiran Raphael

49 5 2
                                    

Drrrt...drrrt...drrrt

Tertera nama "Raph🤪🧡" dibenda persegi itu, tentu saja itu benda mati.

Namun, tidak seperti wujudnya, benda kecil itu dapat membantu menghidupkan hubungan antara Raphael dan Rose yang sedang terpisah jarak 11.707 km dengan komunikasi jarak jauh.

Meskipun sering berkomunikasi, tetap saja rindu tidak pernah pudar di antara keduanya.

Rose mengangkat telpon itu, kemudian mengaktifkan mode loudspeaker.

"Halo, Raph. Ada apa? Tumben sekali menelponku." Ucap Rose yang terlihat sibuk memoles wajahnya di depan cermin.

"Tidak boleh ya? Padahal aku sangat merindukan suara kekasihku di sebarang telpon ini." Ucap Raphael lesu.

Rose terkekeh pelan. Kata-kata Raphael yang sederhana selalu bisa membuat hatinya begitu senang.

"Tentu saja boleh. Aku pun juga begitu merindukanmu." Rose terdiam sejenak. Kemudian melanjutkan.

"Tapi, aku begitu benci dengan jarak, Raph. Dia tega memisahkan ku dengan mu. Harusnya dia bisa merasakan rindu, biar dia tahu rasanya tidak enak."

Raphael tertawa diseberang sana "Pasti sekarang wajahmu sangat lucu. Ingin sekali aku segera pulang saat ini dan mencubit pipi gemas mu itu."

"Tidak ada yang lucu, Raph. Aku sedang marah pada jarak, kau tahu?" Rose selesai memoles dirinya dan melihat dirinya di cermin. Rose tersenyum. Sempurna!

Tapi raut wajahnya kembali seperti semula, cemberut. Tentu saja, karena dia sedang marah pada jarak.

"Aku tahu, sayang. Sudahlah, berhenti menyalahkan jarak, kasihan dia." Mereka berdua terdiam. Tapi, tidak lama kemudian Raphael memecah keheningan.

"Kamu sedang apa?"

"Aku sedang bersiap-siap. Ingin pergi bersama teman-temanku untuk makan malam." Rose mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja rias. Kemudian menonaktifkan mode loudspeaker, lalu memasang headset dikedua telinganya.

"Akhir-akhir ini, hampir setiap hari kamu selalu saja pergi makan malam diluar, kenapa tidak memasak saja dirumah? Lebih hemat dan juga lebih sehat."

"Aku sedang sibuk, Raph. Tidak ada waktu untuk itu." Rose berjalan keluar kamar menuju lantai bawah, kearah sofa lebih tepatnya.

"Benar sibuk? Atau sedang malas?"

Bingo! Tebakan Raphael benar. Akhir-akhir ini Rose tidak ada selera untuk memasak dirumah, meskipun dia mempunyai asisten rumah tangga. Dia lebih memilih memasak untuk dirinya sendiri sebab bagi Rose makanan buatannya adalah yang terenak.

"Kenapa diam? Aku benar kan?" Tebak Raphael sekali lagi.

"Iya, Raph. Kamu benar, aku sedang malas. Lebih tepatnya karena tidak ada kamu disini, jadi tidak ada alasan untukku memasak, meskipun hanya untuk diriku sendiri." Rose duduk di sofa, menunggu teman-temannya datang untuk menjemputnya.

Raphael sering berkunjung kerumah Rose, untuk mencoba masakannya. Kata Raphael makanan Rose adalah makanan terenak setelah buatan ibunnya.

Dan juga mereka lebih sering menghabiskan waktu dengan memasak atau menonton film bahkan bermain game dirumah dibanding keluar rumah.

"Jangan seperti itu lagi ya? Apalagi kamu selalu makan makanan fastfood, tidak baik untuk kesehatanmu. Aku tidak ingin kamu sakit saat aku berada jauh darimu." Ucap Raphael dengan nada khawatir yang sangat kentara.

Rose mendesah pelan, benar yang dikatakan Raphael. Rose tidak ingin sakit saat sedang berjauhan dengan Raphael, karena saat Rose sakit, Raphael lah yang merawatnya dengan begitu baik.

"Baiklah, ini yang terakhir." Ucap rose pasrah.

"Jangan menganggap aku melarangmu bertemu teman-temanmu apalagi makan makanan fastfood. Aku tidak melarangmu untuk melakukannya. Hanya saja, aku tidak ingin melihatmu terlalu sering memakan itu. "

"Iya, Raph. Aku mengerti, maaf telah membuatmu khawatir."

Mereka berdua terdiam lagi beberapa saat. Tidak lama setelah itu, terdengar suara klakson mobil di depan rumahnya.

"Sudah dulu ya, Raph. Sepertinya teman-temanku sudah datang."

"Baiklah. Hati-hati, aku tidak ingin princessku terluka. Barang sedikit saja."

Rose tertawa pelan "Iya, aku akan berhati-hati."

Begitulah mereka, berlebihan memang. Namun, dengan cara itu Rose tahu bahwa Raphael begitu menyayanginya.

GlückTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang