Lima ; Numb

3.9K 556 25
                                    

Waktu terus berjalan. Bulan Desember 2018, Irene akan merayakan Hari Natal di kampung halamannya. Sejak kejadian itu, dia tidak mau lagi keluar dari zona nyamannya. Keadaan disini tidak beda jauh dengan yang di kota. Disini juga ramai, tidak kalah meriah juga.

Irene mengamati pohon natal yang berdiri di depan rumahnya. Tangannya tenggelam dalam kantung jaketnya. Salju sudah turun sejak tadi, tapi, Irene masih nekat untuk keluar di suhu seperti ini. Irene membenarkan perhiasan pada pohon natal itu. Melihat jalanan tampak sepi karena salju sudah turun. Tidak seramai beberapa jam yang lalu, dimana banyak anak kecil bermain bola salju.

"Irene! Kebiasaan banget ya!"

Irene menoleh ke sumber suara sambil tersenyum disela-sela salju. "Hai."

"Sok polos manggil hai, udah buruan masuk, udah dingin."

"Tapi, disini enak."

Dia menghela napas, terlihat jelas keluar dari mulutnya. Dia langsung berdiri di samping Irene, ikutan menatap pohon natal yang gak ada kesan estetiknya kayak pohon natal yang lain.

"Gak dingin?"

"Enggak. Aku suka."

Temannya menatap Irene dari samping. Matanya menelusuri lula di telinga Irene. Membekas garis yang lumayan mencolok. Irene menutup telinga itu lalu menatap temannya.

"Ada apa Jen?"

"Gak apa-apa."

"Suka banget merhatiin lukaku ya?"

"Gak tau kenapa, tapi, aku selalu kepikiran." Lirih Jennie. "Aku kepikiran, apakah orang yang melakukan itu padamu, pernah merasa menyesal telah melakukan itu?"

Irene mengangkat bahunya. "Tidak ada gunanya kita mengingat masa lalu. Harga diriku hancur karena dia. Walaupun aku sadar, aku sangat—"

"Ya, aku tau!" Kata Jennie. "Kamu udah sering bilang kok. Udah ah, disini dingin."

"Kamu aja masuk. Aku masih mau disini."

"Hah, gila ya? Yasudahlah." Jennie melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumah.

Irene menatap ke puncak pohon natal. Kulitnya seakan sudah memiliki antibodi agar tidak tersengat dinginnya malam natal. Pernah merasa menyesal telah melakukan itu? Pertanyaan sama yang ada di benak Irene sekarang. Tapi, Irene ingat ekspresi terakhir bagaimana Seulgi menatapnya.

Tatapan itu. Semuanya bercampur. Saat itu Irene membencinya, emosi belum stabil seperti sekarang. Kalimat Jennie itu menusuk ke dalam hati Irene,

Pernahkah Seulgi menyesali perbuatannya? Pernahkah Seulgi ingin memperbaiki pertemanannya? Pernahkah Seulgi merindukannya? Oke, kalimat yang terakhir itu tidak mungkin terjadi.

Sebuah keajaiban kalau hal itu terjadi detik ini. Irene mulai merinding membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Bukan sepenuhnya Irene menginginkan Seulgi kembali, tapi, memastikan kalau Seulgi ini benar-benar manusia yang punya perasaan.

Irene menunduk lalu menghela napas berat. Dia meraba telinga kirinya. "Kang Seulgi, apa kamu lupa tentang budakmu ini?"

>> <<

Pagi dingin dengan segelas cokelat hangat. Menatap keluar jendela, jalanan seperi diselimuti selimut putih suci. Seulgi menaruh gelasnya di atas nakas, berbalik menatap ruang tv. Dimana anjingnya sudah tiduran di atas sofa menatapi tv yang menyala.

Seulgi sangat senang karena pertama, hari ini hari natal. Hari dimana ia tunggu dimana semuanya akan berpesta meria merayakan dimana Santa akan datang. Kedua, Ayahnya akan mengundang keluarganya ke rumah. Pertanda Seulgi tidak akan sendirian malam ini. Seulgi juga gak lupa mengundang dua sahabatnya.

Sun ─ Seulrene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang