Seminggu setelah Seulgi keluar dari rumah sakit. Keputusan untuk memberitahu tentang kebenaran ke Seulgi ternyata salah besar. Penyakit yang menghantui Seulgi kini semakin parah, tidak tau apa karena cerita yang membuatnya shock, atau memang takdir dari Tuhan.
Seulgi berada ambang kematian. Tidak, dia tidak terlihat seperti orang sekarat, tidak pucat, tidak lemah. Seulgi seperti orang biasanya, sehat, bobrok, gak jelas. Hanya saja ada bagian otak dimana tidak bisa berfungsi dengan baik, itu mengakibatkan Seulgi sempat kehilangan rasa emosionalnya. Seulgi bisa kumat kapanpun dan dimanapun. Dengan begitu, Kepala Sekolah memohon kepada dua sahabatnya untuk tetap disamping Seulgi. Pengganti matanya saat dia jauh dari anaknya, sahabat Seulgi menerima permohonan itu tanpa pamrih. Tentu mereka akan melakukannya, Seulgi adalah sahabat mereka.
Perubahan terus terjadi, selalu ada gerakan perubahan dari Seulgi. Jisoo menyadari kalau Seulgi mulai berbeda sejak informasi mengejutkan tepati di Hari Natal. Tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Seulgi. Hari Natal adalah hari yang paling Seulgi tunggu-tunggu, oke ini agak berlebihan, tapi siapa yang enggak sedih kalau di hari spesial malah dilanda musibah? Yang merasa biasa saja berarti bukan manusia lagi.
Mungkin itu kata orang-orang dulu, kalau Seulgi seperti bukan manusia. Seenaknya memerintah, selalu bermain dengan kasta, tidak pernah memberi ampunan, mainnya kasar. serba preman. Jisoo melihat Seulgi berdiri dari kursinya, padahal sedari tadi dia duduk diam sejak bel istirahat. Melihat Seulgi ingin meninggalkan kelas, Jisoo sigap berdiri dan menyusul Seulgi.
Tapi, mengejutkan, Seulgi berbalik dan melihat Jisoo. "Kamu ngapain?"
"Uhh.. kamu mau kemana?" Tanya Jisoo.
"Kamar mandi."
"Mau ngapain?"
"Ngevape."
"Hah?!"
Seulgi tertawa. Tawanya yan jarang terdengar. "Cuman canda elah. Mau ke kantin lah, aku laper, kamu mau ikut?"
"Ishh." Desis Jisoo. "Yauda aku ikut. Traktir ya!"
"Dih?" Kaget Seulgi, mendapatkan tatapan manja dari Jisoo. "Iya, aku traktir. Dasar, modusmu itu lho."
"Hahaha!"
>> <<
Seulgi menatap cermin di depannya. Dia sudah berdandan, bersiap-siap untuk pergi menghadiri pesta di rumah temannya. Merayakan untuk angkatan mereka yang segera menghadapi Ujian Nasional juga tes masuk Universitas. Ayahnya mengizinkan Seulgi pergi kalau Jisoo dan Wendy juga ikut serta. Hal itu semakin membuat Seulgi curiga, setiap kali dia beranjak keluar dari rumah. Ayahnya selalu membicarakan dua temannya. Ya, Seulgi tidak sadar kalau dia diawasi Wendy dan Jisoo atas perintah Ayahnya sendiri.
Seulgi jalan di kota sampai masuk ke stasiun kereta. Lumayan ramai, seharusnya Wendy atau Jisoo sudah datang duluan. Sambil menelpon mereka, Seulgi berkeliling mencari mereka. Karena ramai, Seulgi berhenti dan mendengar jawaban dari Wendy.
"Hallo? Kamu dimana?"
"Aku dan Jisoo sudah duluan naik mobilnya Jisoo! Kami lupa kalau kamu mau naik kereta."
"Oh? Yasudah duluan aja. Aku nyusul."
"Gak apa-apa? Kami bisa puter balik—"
"Gapapa ish, daripada nanti kalian ngaret kan?"
"Tapi, Ayah kamu—"
"Gak usah dengerin kata pak tua itu. Aku baik-baik saja. Aku matiin ya, hati-hati."
Seulgi tidak memikirkan tentang mereka yang meninggalkan Seulgi. Langsung saja dia mengeluarkan kartu dan ditempelkannya ke layar sehingga gerbang kecil di depannya terbuka. Dia melihat sekeliling lumayan ramai stasiun ini. Seulgi menunggu keretanya sambil mengambil kotak jus yang ia bawa.
Ketika kereta sudah berhenti di depan pintu, Seulgi langsung masuk berdesakan dengan penumpang yang lain. Seulgi berdiri di dekat pintu karena kalau berebutan tempat duduk akan menyebabkan konflik sepele. Sambil menghabiskan jusnya, Seulgi menatap keluar. Membayangkan bagaimana pestanya akan berlangsung, pasti meriah, sebuah perpisahan di awal sebelum menghadapi yang namanya Ujian Nasional.
Seulgi menatap seseorang. Tidak terlalu familiar wajahnya, hingga sampai orang itu balik menatap Seulgi. Orang itu melotot terkejut melihat Seulgi. Sedangkan Seulgi cuman mengalihkan perhatian karena menganggap orang itu menyeramkan, belum apa-apa sudah melotot. Saat kereta hendak berjalan. Orang itu mengetuk-ketuk pintu yang ada di depan Seulgi. Seulgi terkejut dan menatap perempuan itu. Perempuan itu memegang telinga kirinya. Dia juga memanggil nama Seulgi berkali-kali. Tidak terdengar sampai ke dalam kereta, tapi, terbaca dari gerakan bibirnya. Seulgi hanya menatapnya dengan tatapan aneh. Hingga akhirnya perempuan itu melepaskan sesuatu dan menunjuk telinga kirinya. Seulgi masih tetap menatapnya, berpikir keras. Kereta akhirnya berjalan semakin cepat, meninggalkan perempuan itu di belakang. Seulgi masih memperhatikan perempuan itu, perlahan dia mengangkat alisnya.
"Joohyun...?" Lirih Seulgi, terlambat, kereta sudah bergerak, dia tidak bisa lagi melihat Irene.
Seulgi akhirnya berlari ke belakang gerbong secepat mungkin. Menabrak banyak orang sambil memperhatikan kaca. Kereta ini belum cukup cepat untuk menghilangkan sosok itu. Seulgi sudah berada di gerbong paling belakang dan dia menatap keluar jendela. Ada, perempuan itu ada dan menatapnya. Seulgi hanya memukul-mukul jendelanya berharap seseorang membukakan pintunya.
Mata Seulgi mulai berair. Bagaimana tidak? Kalau Irene sendiri menatapnya sambil memegang telinga kirinya. Seakan itu membuat Seulgi semakin bersalah atas kejadian itu.
"Joohyun..." Isak Seulgi. Cepat-cepat dia mengusap air matanya. Tidak mau menjadi sorotan masyarakat di dalam kereta.
Menyakitkan, tapi, Seulgi tidak bisa berbuat apa-apa. Seulgi mengeluarkan handphonennya dan berharap Wendy mengangkatnya sebelum Seulgi kembali menangis.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun ─ Seulrene ✓
Romance❝Seribu cara Irene memaafkan Seulgi. Sempatkah Seulgi menebus kesalahannya?❞ ©Seulgibaechuu, 2018.