Satu ; New Slave

10K 751 33
                                    

Seulgi POV

"Anak-anak, tolong catat yang Bapak tulis. Ini semua rangkuman yang Bapak buat khusus untuk kalian. Jelang Ujian Akhir Semester, kalian sudah dibekali..."

Bla bla bla. Aku gak perlu mencatat semua tulisan itu kan? Aku bisa memotretnya dengan handphoneku kan? Zaman sekarang kuno banget masih make benda yang mengeluarkan tinta hitam itu.

"Dan, Bapak mohon semuanya mencatat. Tidak ada yang mengambil foto dengan handphonenya. Terutama kamu, Seulgi!" Tegur Guruku.

Guru? Ya, si Bapak tua kumisan berjenggot itu adalah Guruku segaligus wali kelasku. Teman-teman kelasku menertawakan apa yang barusan terjadi, tapi, saat aku mendangakkan kepalaku mereka langsun diam. Aku tersenyum miring lalu bersandar pada kursi.

"Jisoo! Tolong catat yang di papan tulis. Setelah itu aku foto buku tulismu!" Perintahku.

"Ya." Jawab Jisoo, yang ada di depan mejaku.

"Jangan lakukan itu, Jisoo! Kang Seulgi, bisakah kamu berjuang untuk dirimu sendiri? Disini tidak ada yang berjuang demi kamu!" Sembur Guruku.

Aku menatapnya. Lalu melipat tanganku di depan dadaku. Guru itu menghela napas. Lalu menunjuk keluar jendela, matanya membalas mataku.

"Lari lapangan, sepuluh putaran, SEKARANG!" Bentak Guruku.

Yap, sudah sering.

End POV

>> <<

"Itu Seulgi?"
"Hoohh, senior kita yang... ya kamu tau lah."
"Ayahnya yang punya sekolah ini kan?"
"Katanya begitu."
"Tapi, anaknya gak seperti yang dibayangkan."
"Apa yang kamu harapkan? Dia terlalu nyaman berada di zonanya."

Seulgi berhenti berlari. Dia terbiasa mendengar ocehan kayak gitu dari juniornya. Tapi, Seulgi tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, mereka akan takut kalau berani melawannya.

Hanya bisa bicara di belakang, gak berani di depan. Anak jaman now.

Seulgi berjalan ke kursi yang dekat dengan lapangan. Disana ada perempuan duduk dengan bukunya. Tidak, bukan perempuan itu yang membuat Seulgi tergesa-gesa jalannya, tapi, karena disamping perempuan itu, ada air mineral dingin.

Seulgi mengambil botol air dan meneguknya tanpa mengambil jeda. Memaksa kerongkongannya yang kering menelan air tanpa henti. Sekiranya sudah merasa sejuk, Seulgi berhenti meneguk dan melihat botol airnya. Hampir setengahnya ia habiskan. Seulgi mengusap bibirnya, karena dia tidak sempat melakukan etika saat minum.

"Ahh, dasar guru itu. Seenaknya ngasih hukuman." Kesal Seulgi.

"Maaf..."

"Hm?"

"... Itu minum punya aku."

Seulgi menatap botolnya. "Oh? Punya kamu ya? Nih, makasih ya!"

Perempuan itu menangkap karena reflek. Tidak terbayangkan oleh Seugi kalau ada perempuan yang enggak alay kalo ada benda melayang ke arah mereka.

"Ini habis. Kamu minta tanpa izin dariku. Aku minta kamu gantikan minumku." Mohonnya, sopan.

"Aku haus gara-gara lari lapangan. Apa kamu gak kasihan?"

Sun ─ Seulrene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang