Sonya masih duduk di dalam mobil, berulang kali melepas dan mengapit jepitan rambut emasnya.
Mata cokelat emasnya terlihat tidak yakin memakai jepitan cantik ini, tapi ia tidak ingin dilihat hanya karena jepitan saja, memang pemikiran yang sangat membuang waktu, ia sadari itu. Tapi peduli amat. Akhirnya ia memakainya juga. Cewek memang gitu.
"Berapa lama gue harus nunggu lo, ih." ucap Agatha dalam posisi berkacak pinggang. "gue nggak yakin ini penting, tapi jepitan emas itu sangat mengganggu mata gue."
Sonya melepas jepitan tersebut secepat kilat dan memasukkan ke tas selempangnya, "lo ngomong apa?"
Agatha terdiam sejenak lalu mendengus geli, "aksen lo balik lagi kayak awal kita ketemu."
Gadis yang dimaksud merespon enteng, "gue juga ke Jakarta cuman mau dateng acara ini doang," Agatha menatapnya datar, "daaann rencana jalan-jalan kita. Of course I remember that."
Beberapa teman lama menghampiri mereka berdua, menyapa dan bercengkrama, lalu pergi. Kemudian datang satu-dua orang dan sama seperti tadi, pergi lagi. Sesekali Sonya mengamati Agatha yang masih seperti dulu. Tidak begitu bicara banyak. Sonya tersenyum miring,
"Menghilangkan kebiasaan itu emang susah, ye." Agatha terlihat tidak mengerti awalnya, lalu ber-oh ria. "Apa yang bisa gue perbuat? Kebanyakan basa-basi menguras tenaga gue."
Sonya tertawa menggeleng. Ketika bertemu di lobby tadi hal pertama yang ia lakukan langsung memeluk Agatha tanpa niat melepaskannya. Geli memang, namun mengingat bertahun-tahun terpisah tanpa adanya kata pamit. Agatha tidak marah, untungnya, karena ia mengerti. Sangat mengerti.
Ada perasaan aneh yang menggelitik hati Sonya. Ia tahu hal itu akan datang dan raut wajahnya berubah panik dalam diam, walaupun tidak ingin.
"Shit." umpatan kecil Agatha terdengar, dan mengikuti arah telunjuk teman karibnya, ia membalikkan badan.
Alright Sonya. Just keep breathing.
"Gue nggak bisa."
"Lo kayak biasa aja. Lo pasti bisa," Agatha menepuk punggung Sonya yang nyaris kena serangan panik.
". . .bisa 'kan?" Sonya merasakan tubuhnya kaku, bingung harus maju atau kabur bersama Agatha dan berlibur melupakan semuanya. Tapi ia tetap ingin hal ini terjadi, dan berharap terus terjadi.
enam tahun yang lalu . . .
Cewek berambut sebahu itu, alias Sonya, lagi bermalas-malasan di kelas ketika jam istirahat kedua. Ditemani lagu yang disetel melalui ponselnya, mengabaikan kebisingan suasana kelas yang makin menjadi. Tiba-tiba ada cewek datang dan ia bilang, "wah, bawa sandwich lagi, beli dimana?"
Anak ini selalu bertanya hal yang sama di waktu yang sama pula.
"Bikin sendiri," dan idiotnya ia juga ikutan menjawab pertanyaan itu, dengan kalimat yang sama juga. Mungkin karena ia sudah sampai batasnya, Sonya terdengar dingin dan cewek itu tersenyum saja, kemudian pergi.
Ngiranya begitu.
Cewek itu mulai bicara lagi, dan Sonya tahu arah ceritanya bagaimana.
". . .kemaren, aku akhirnya baikan lagi sama pacarku. Dari belasan panggilan sampai chat aku diemin dia, ujung-ujungnya aku jadi luluh. Dan aku janji ini terakhir kalinya maafin dia kalo lagi bohong."
Can you just go, please?
Dewi fortuna lagi di pihaknya, terdengar suara bel masuk dan Tiara, nama cewek itu beranjak pergi. Sonya menghela napasnya dan berkata pelan,"gila gila bisa gila gue."
"Cie mama dedeh, Tiara curhat lagi ama lo 'kan?" suara berat dari belakang membuatnya hampir loncat dari bangkunya, "Gue bahkan nggak dengerin dia."
Sonya mendongak untuk melihat lebih jelas orang yang berbicara tadi. Ares menyengir dan berjalan lagi ke tempat mejanya paling pojok, tepat di belakang Sonya. Aslinya meja itu bukan tempat Ares, karena yang punya tidak masuk dan memang tempat terenak sejagad raya, jadinya ia duduk disitu seharian.
"Dan juga, please pake banget, jangan tarik tangan gue pas tidur," gertak Sonya, yang Ares anggap itu lucu, "Lah emang gue? sotoy banget lo."
"Lo kira gue nggak tau, gue hampir jatuh kedepan, Res!" ucap Sonya ngotot. Ares tertawa dan dia balas, "Serius tadi bukan gue!"
Begini.
Namanya Ares Kelvan. Cuman berbeda 6 bulan dari Sonya, Ares yang lebih tua. Saat memperkenalkan diri di depan kelas, yang siapapun bakal gugup, semuanya menatap Sonya penuh intens ketika ia berbicara.
"My name is Sonya Carter, from.. England.. uhm, nice to see you all."
Langsung kelas pada heboh saat mendengar aksen british-nya yang begitu kental. Gurunya saja sampai ikutan lebay. Setahu Sonya bukan dia saja yang blasteran di sekolah ini, mungkin blasteran Inggris baru dia.
"Can you speak Bahasa?" tanya gurunya.
"Bisa, tapi nggak jago-jago banget, bu." Balas Sonya.
Sonya bukan anak pemalu, hanya saja ia tidak tahan menjadi objek perhatian, apalagi ketika jalan menuju mejanya.
Ares menatapnya sejak perkenalan di depan tadi. Cokelat kehitaman, rambut sepanjang bahu sedikit menyembunyikan wajahnya yang kurus, saat dia menunduk. Bibirnya yang pucat namun sedikit mengkilat, mungkin ia memakai lipbalm tanpa warna.
Semakin dekat dan Ares baru menyadari, mata kanan Sonya ada sedikit biru-birunya.
"Hei, gue boleh nanya sesuatu nggak?"
Sonya tidak menanggapinya. Ares terlanjur bete, lalu dia menepuk bahu Sonya, alhasil Sonya menatapnya risih. "Walaupun lo pake kacamata setebal itu, gue bisa ngeliat mata unik lo itu. Terus, kok lo bisa langsung fasih gitu bahasa Indo-nya?"
Alis Sonya terangkat sebelah, "Terus?"
"Buset, galak banget."
Ada sesuatu yang menggelitik tentang Sonya, mungkin karena dirinya yang jutek, sekaligus judes. Seiring waktu anak-anak sekolah tidak lagi mengerubunginya, nanya ini-itu. Sikap bodo amatnya yang tinggi, menjadi tembok penghalang.
Meskipun demikian, hanya Ares yang tetap keukeuh mengetes Sonya. Dalam kata lain, Ares Kelvan kerap menjahilinya setiap ada kesempatan.
"Ares."
Cowok itu menoleh dan tersenyum, "yap?"
Sonya menghela napasnya, "seriusan ah balikin penggaris gue."
"Eh ntar dulu gue belom kelar, satu soal lagi." Tanpa dosa Ares menjauhi penggaris dari yang punya. Sonya tidak dapat menyembunyikan wajah masam dan lagi-lagi menghela napasnya. "Lo dari tadi ngobrol doang, buru ah nggak pake lama."
"Iye iye," akhirnya Sonya menulis jawaban tanpa penggaris selagi menunggu Ares.
"Jawaban dikumpulkan!" Satu kelas langsung heboh minta jawaban ke teman sebelahnya, atau seperti Sonya, kalau nggak penggaris, penghapus dipinjam bahkan hilang entah kemana. "Sampai ibu depan pintu dan nggak ada yang ngumpulin, nggak ada nilai ya!"
"No shit–Ares!" Bisik Sonya kaget pas Ares tiba-tiba mengambil kertas jawaban Sonya dan menyerahkan ke guru. Sonya hanya bisa mengendus kesal, Ares kembali ke mejanya. "Ini penggarisnya, makaseh."
Sonya hanya bergumam, "Hmm."
Ares tersenyum miring. "Idih ngambek. Jawaban nomer tiga udah gue garisin tadi." Tidak butuh waktu lama Sonya mendongak ke depan dan bertanya apa. Senyuman Ares belum pudar, dan dia malah menjawab. "Sama-sama Sonya."
Sonya tidak mengingat kapan, bahkan mengapa Ares suka menjahilinya. Yang ia tahu momen kelewatan aneh ini akan permanen hingga kedepannya.
YOU ARE READING
Trust Won't Stay
AléatoireSekolah baru, rumah baru. Aslinya cerita baru yang menyenangkan menjadi tujuan Sonya. Ia ingin membuka lembaran baru dengan tidak ada tinta hitam di dalamnya. Ia ingin merubah takdir malangnya. Itulah risiko menjadi bahan omongan. Azriel memang buk...