Lembar 2

107 17 9
                                    

Al, El, dan Ul

Dia langsung tersenyum hangat menyambut kedatanganku yang mengekori Al. Kecantikannya terpancar di balik kain penutup kepalanya, jilbab, berwarna merah muda dan tampak sangat serasi dengan pakaian yang dikenakannya. Gadis ini kurasa seumuran dengan Runa, maksudku dengan diriku. Huft! Masih sulit ternyata menyesuaikan diri sebagai Runa.

"Maaf ya, Run. Aku nggak jadi nyusul ke telaga," katanya, lalu mengambil ember dari tangan Al.

Aku harus menunjukkan ekspresi apa kalau bukan heran seperti saat bertemu Al di telaga tadi? Seolah bisa membaca pikiranku, Al kembali memberi ketukan kecil pada keningku.

"Kau lupa juga sama El?" tanya Al yang membuat El memandangku tak mengerti.

"El?" Aku garuk-garuk kepala, lalu memaksa untuk senyum. Bingung bagaimana menjelaskan dan membuat mereka percaya bahwa aku memang tak tahu apa-apa. Apakah aku harus berpura-pura mengingat semuanya? Sulit.

"Apa sih maksudnya, Kak?" tanya El pada kakaknya.

Al malah memandangku, lalu geleng-geleng kepala. "Sudahlah. Ajak Runa ke dapur, lalu ajari bagaimana cara memasak ikan-ikan ini. Kurasa dia bahkan juga lupa bagaimana caranya memegang pisau dapur." Setelah berkata begitu, Al memasuki rumah.

Ekspresi gadis cantik dengan kulit sawo matang di hadapanku kali ini tak bisa kujelaskan. Mungkin tingkat kebingungannya mencapai puncak tertinggi, sehingga wajahnya jadi sangat aneh. Aku tak bisa menahan tawa melihatnya seperti itu.

"Ha ha ha." Tawaku pun lepas sesaat.

"Kenapa kau tertawa? Kau dan Kak Al sengaja ngerjain aku, ya?"

Aku senyum. "Ikuti saja drama aneh mulai detik ini ya, El. Oke?!" Anggap saja ini semua drama, karena aku tak bisa menjelaskan apa yag terjadi. Jangankan padamu, El, pada diri sendiri pun aku tak mampu.

"Aneh!" seru El. Aku tak menanggapi. Entah mengapa, aku merasa akan mudah akrab dengan El. Mungkin karena kami sama-sama gadis dengan usia tak jauh berbeda.

El pun segera membawaku memasuki rumah. Kuperhatikan setiap detail ruangannya. Unik. Semua perabot di ruang tamu, mulai dari meja, kursi, lemari hias, dan beberapa alat yang tak kukenal namanya terbuat dari kayu, sama seperti rumah ini. Walau semua berwarna cokelat tua, tetapi tampak indah dipandang. Memasuki dapur, aku disuguhi warna serupa, perabot kayu berwarna cokelat tua.

"Biar kubersihkan ikannya, kau racik bumbunya ya, Run," kata El sambil berjalan menuju sumur yang ada di sebelah dapur.

Meracik bumbu? Aku tak ingat bagaimana caranya. Bagaimana ini? "Mmm ... El, kurasa aku terlalu letih. Bolehkah aku istirahat saja?"

El menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi. Memandangiku sejenak, lalu bertanya," Maksudmu, kau membiarkan aku memasak sendirian?"

"Memangnya kenapa?"

"Baru kali ini kau melakukannya, Run. Biasanya kau selalu melarang, karena masakanku memang tak seenak masakanmu."

Eh, benarkah itu? Jadi ... aku jago masak?

"Bahkan saat kau sedang demam sekalipun, kau nggak pernah membiarkan aku di dapur sendirian. Kau akan cerewet mengajariku tentang semua urusan dapur, bahkan sampai cara memotong bawang yang benar." Dia berhenti. Tak lama kemudian, keluar dari kamar mandi, lalu setelah meletakkan ikan yang sudah bersih dalam potongan kecil, dia berdiri di hadapanku. "Jujur, sejak ucapan Kak Al tadi, aku merasa ada yang aneh denganmu, Run."

"Mmm ... mungkin sekali-kali aku perlu membiarkanmu mandiri menguasai dapur," kataku asal, tak ingin menanggapi kecurigaannya. Biar nanti dia tahu sendiri, dan percaya dengan keadaanku saat ini tanpa aku harus susah payah untuk meyakinkannya.

"Kau benar-benar terlalu letih, ya?"

Aku mengangguk. "Bolehkah aku ke kamarku?"

"Baiklah. Nanti jangan protes dengan masakanku, ya?"

Lagi, aku mengangguk. Melempar senyum pada El, lalu berjalan pelan meninggalkan dapur.

"Kau masih ingat di mana kamarmu, 'kan?" Terdengar samar suara El. Entah dia bertanya karena masih curiga dengan perkataan Al, atau hanya untuk bercanda.

Benar saja, aku kebingungan mencari kamar sendiri. Ha ha ha. Menertawakan kekonyolan diri sendiri kurasa paling tepat untukku saat ini.

***

"Runa! Bangun!"

Suara seseorang mengusik tidurku. Perlahan kubuka mata. Tampak sorang gadis menatapku dengan kedua matanya yang seakan hendak lepas dari tempatnya. Gadis ini cantik dan berkulit putih bersih. Wajahnya sangat mirip dengan El. Namun, dia jauh lebih cantik.

"Ngapain kau tidur di kamarku?!" tanya gadis di hadapanku dengan nada super tinggi.

"Ini ... kamarmu?"

"Kau kira? Mimpi kalau kau berharap ini bisa jadi kamarmu. Berani banget kau masuk kamarku tanpa izin, hah! Turun kau!"

Kasar dia menarikku dari tempat tidur. Aku meringis menahan sakit akibat cengkeramannya. Sungguh, baru kali ini aku bertemu dengan seorang gadis sekasar dia. Padahal dia cantik, tetapi kelakuannya sungguh sangat buruk.

"Apa kau! Pergi dari sini sebelum aku bertindak lebih dari ini!"

Kesadaranku belum pulih benar. Wajar saja, aku terbangun mendadak. Sedikit sempoyongan kulangkahkan kaki menuju pintu. Rupanya Al dan El lebih dulu datang sebelum aku keluar dari kamar gadis kasar tadi.

"Ada apa ini?" tanya Al memandang heran ke arahku, lalu ke arah gadis yang masih bersungut-sungut ke arahku.

"Kenapa kau teriak-teriak, Ul?" El kali ini yang bertanya. Dia lalu berdiri di sampingku, lalu menatap penuh tanya padaku.

"Dia," tunjuk gadis yang dipanggil 'Ul' tadi ke arahku, "berani-beraninya tidur di kamarku tanpa izin," lanjutnya sambil memandangku penuh kebencian.

Al memandangku. Dia tentu heran dengan kebodohan yang telah kulakukan. "Runa, kenapa kau tidur di kamar Ul?"

Aku menelan ludah. Apa alasan yang harus kuberikan? "Maaf, Al, aku salah kamar," jawabku kemudian yang langsung kusesali sendiri. "Maksudku, aku terlalu lelah sehingga sembarangan masuk kamar yang terdekat dari dapur," lanjutku memberi alasan yang tentu kurang masuk akal.

El tentu saja langsung memandangku heran. "Sepertinnya kau memang benar-benar sedang kurang sehat, Run. Kau harus banyak istirahat."

"Heh." Ul tersenyum sinis. "Alasan bodoh! Kau pikir aku bisa kau bodohi seperti itu?'

Selanjutnya, Al menatap Ul tajam. "Cukup, Ul! Walaupun Runa yang salah, kau nggak boleh bersikap kasar padanya. Belajarlah menjadi lebih baik, Ul."

Ul tampak menggerutu sebal. Dia lalu meninggalkan kamarnya tanpa pamit. Aku memandang Al dan El bergantian penuh sesal. "Maaf atas kekacauan ini," ucapku. Meski heran, kedua bersaudara itu tersenyum penuh pengertian.

***

NOTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang