Lembar 3

109 19 2
                                    

Bukit Tertinggi

El begitu mudah bersahabat. Dia berjanji akan menemaniku mengelilingi negeri ini, walau masih bingung kenapa harus melakukannya. Bukankah aku telah lama tinggal di negeri ini bersamanya? Ah, entahlah. Aku merasa baru dua hari berada di Negeri asing yang indah ini.

Pertama, dia mengajakku mengelilingi Praja yang menjadi tempat tinggalku saat ini, Praja Pohon Beringin. Tidak tahu kenapa diberi nama begitu. Padahal sejak tadi aku belum melihat satu pun pohon beringin di sepanjang perjalanan kami. Rumah penduduk yang beragam menambah keindahan Praja ini. Uniknya lagi, semua rumah berpernis cokelat, seperti rumah yang kutinggali.

El sabar mengimbangi langkahku yang tak bisa cepat. "Kau kenapa kelihatan heran begitu, Run?" tanya El yang menangkap jelas raut heran dan kagum dari wajahku saat memandangi rumah-rumah di kanan dan kiri jalan.

"Di sini sepi ya, El?" tanyaku tak menghiraukan pertanyaannya. Memang, sejak tadi hanya ada beberapa pejalan kaki yang tersenyum ramah saat berjumpa dengan kami.

Dia berhenti. Seketika membuatku melakukan hal yang sama. Kami saling berhadapan. "Kau yang aneh, atau dua hari ini yang telah berubah?" tanyanya.

"Maksudmu?"

El mendengkus pelan. "Sejak kemarin, kuperhatikan kau berbeda, Run. Sangat aneh. Sejak kembali dari telaga, kau seolah menjadi orang lain. Kau seolah baru datang ke desa ini. Kau terlihat sangat asing dengan semua yang ada di sini, bahkan dengan kami, saudaramu sendiri."

Matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Ada apa denganmu, Run? Apa benar yang dikatakan Kak Al bahwa kau amnesia? Apa yang sebenarnya terjadi di telaga, Run?"

Diberi pertanyaan bertubi membuatku sulit berpikir. Otakku rasanya mau pecah. Sungguh, aku berusaha keras mencari jawaban itu, El. Namun, tak juga kutemukan letak memori itu.

"Ada apa, Run?" El mengguncang bahuku. Mendesak agar aku segera memberi penjelasan.

"Aku nggak tahu kamu akan percaya atau berpikir aku sedang gila," kataku memulai sambil menatap El yang antusias mendengarkan. "Memang, baru kemarin aku merasa berada di sini dan mengenal kalian semua."

Gadis berwajah teduh di hadapanku menatap tak percaya. "Apa maksudmu?"

"Aku juga nggak tahu, El. Tolong jangan paksa aku untuk mengingat memori yang mungkin memang nggak kumiliki." Kali ini aku tak mampu menahan butir bening yang sejak tadi menggantung di pelupuk mata. "Aku benar-benar lupa semua sejak terbangun di dekat telaga itu."

Cukup lama jeda terjadi sebelum El mendekat, lalu memelukku. "Maafkan aku, Run. Meski aku bingung, aku janji nggak akan bertanya tentang hal ini lagi. Aku akan membantumu memiliki memori baru tentang kehidupanmu di sini."

"Makasih, El. Aku sangat beruntung bertemu denganmu dan juga Al."

Dia senyum. Ada ketulusan di sana. Kami pun melanjutkan perjalanan. Saat ini semua terasa lebih lega. Setidaknya sudah ada seseorang yang tahu dan bisa memahami keadaanku.

"Hmm ... di mana pohon beringinnya, El? Apakah hanya sebagai simbol Praja, atau memang ada di Praja ini?"

"Sebentar lagi, Run. Kau akan melihat sesuatu yang jauh lebih indah dari yang pernah kau temui sebelumnya," katanya sambil melihat cincin yang melingkari jari manis di tangan kirinya.

Aku teringat sesuatu. Cincin yang persis seperti milik Al, saat aku tanpa sengaja melihatnya di telaga. Juga seperti yang dipakai Ul. "El?"

"Hmm."

"Apa itu cincin persaudaraan? Al dan Ul juga punya, 'kan?"

El tertawa kecil mendengar pertanyaanku. "Hampir semua warga di Negeri ini punya, kok," katanya sambil mendekatkan cincinnya ke wajahku. "Ini namanya ringphone."

"Ringphone?" Aku mengerutkan kening.

"Iya. Satu-satunya alat komunikasi di negeri ini. Bisa untuk bicara dan mengirim pesan jarak jauh. Nggak cuma itu, ringphone ini juga bisa menampilkan gambar tiga dimensi yang dipancarkan ke luar, berupa layar yang cukup lebar. Alat ini mengambil energi dari detak jantung manusia. Jadi, selama jantung kita masih berdetak, alat ini dapat berfungsi," jelas El panjang lebar.

Aku terkagum-kagum dengan kecanggihan alat di jari manis El yang belum pernah kutemui sebelumnya. El menghentikan langkah, aku pun mengikutinya. Dia lalu menekan tombol kecil pada cincinnya. Cahaya memancar ke luar dari cincin El. Aku tertegun melihat layar cukup lebar berada di hadapanku. Di sana ada beberapa orang sedang berbincang. Tampak seperti orang sungguhan.

"Wow!" ucapku refleks.

"Itu Helvian dan Helviana. Duo Helvi. Dua saudara kembar yang sangat terkenal di sini. Mereka memiliki bakat berakting yang bagus. Aku biasa menyaksikan mereka melalui cincin ini sebagai hiburan," kata El sambil menunjuk dua orang di layar yang memiliki wajah sangat mirip. Helvian dan Helviana, sepasang artis kembar yang memiliki penampilan sangat menarik.

El menekan tombol kecil pada ringphone-nya. Layar tiga dimensi itu pun hilang. Kami kembali melanjutkan perjalanan. "Apa aku juga bisa punya yang seperti ini?" tanyaku di sela perjalanan, menunjuk ringphone di jari El.

"Bisa. Kalau mau, kapan-kapan aku antar ke pasar. Kita bisa beli di sana," jawab El.

Aku mengangguk dengan wajah berbinar.

"Nah, kita sampai di Bukit Tertinggi," kata El sambil membuka lebar kedua tangannya.

"Bukit Tertinggi?" tanyaku bingung, melihat tak ada satu pun bukit di hadapanku. "Hanya ada pohon, eh, inikah pohon beringin itu?"

"Iya."

"Lalu, mana bukit yang kau bilang, El?"

El senyum, lalu membimbingku mendekati pohon beringin yang tinggi dan besar dengan akar-akar gantung yang menyentuh tanah. Ada satu akar yang berbeda dari akar-akar lainnya. Berwarna hitam dan berukuran lebih besar. El menarik akar itu tiga kali. Perlahan sesuatu terjadi.

Aku bertambah heran dan kagum dengan apa yang kulihat. Kini, meski tak tahu apa yang terjadi dengan hidupku, aku makin bersyukur berada di sini.

***

NOTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang