Lembar 5

79 11 0
                                    

Taman Bunga Berbuah

Memikirkan Al, dan juga melakukan perjalanan mengelilingi Negeri Lima Praja membuatku betah berada di sini, walau belum menemukan kebenaran akan jati diriku. Mereka berdua benar-benar memperlakukanku dengan baik. Namun, berbeda dengan Ul. Entah apa yang membuat Ul begitu membenciku. Sejak pertama kali bertemu hingga sekarang, dia tak pernah mau bersahabat. Aku seperti musuh bebuyutan di mata Ul. Jika bukan karena Al dan El, mungkin aku sudah tak sanggup lagi berada di dekat Ul.

Ketidaksukaannya padaku makin terasa saat makan siang tadi, usai salat Zuhur berjemaah yang diimami Paman Dan. Ul kembali mengerjaiku lagi. Ketika aku hendak mengambil ikan goreng masakanku sendiri, dengan sengaja Ul memutar meja putar yang langsung menjauhkan sambal ikan dari hadapanku. Lalu dia akan pura-pura mengambil sesuatu, walau hanya sesendok sayur, atau sambal terasi. Begitu meja berhenti, aku hendak mengambil ikan goreng itu lagi, Ul pun memutar meja itu lagi. Begitu terus-menerus, membuatku belum bisa memulai santap siangku. Piringku baru terisi nasi, sedangkan yang lain sudah hampir separuh isi piring habis. Menyebalkan sekali.

"Ul, cukup! Kamu dibiarin malah ngelunjak." Akhirnya Paman Dan menegur.

Ul pun menghentikan aksinya memutar-mutar meja, lalu tersenyum sinis padaku.

"Maaf ya, Runa. Ayo, dimakan!" ucap Paman Dan. "Lain kali, cobalah untuk lebih tegas sama Ul. Ajari Ul menjadi gadis manis sepertimu," lanjutnya.

Mukaku bersemu mendengarnya. Ul menggerutu sambil menatap penuh kebencian padaku. Gadis manis? Benarkah Runa gadis sebaik itu?

"Dicoba masakannya, Run." Al turut bicara. Dari nada bicaranya, aku tahu dia mencoba menyindirku. Ini masakan pertamaku. Beberapa hari aku berhasil membuat alasan supaya tidak memasak, tetapi hari ini Al benar-benar sukses membuatku tak bisa mengelak. Dia masih sangat curiga dengan diriku yang berubah baginya. Apa aku harus jujur juga pada pemuda bermata elang ini tentang keadaanku sebenarnya? Akankah Al percaya?

"Iya, Al," jawabku berusaha bersikap biasa, lalu mengambil ikan goreng yang sejak tadi kuincar.

"Makan yang banyak, Run. Hari ini kita akan melakukan banyak perjalanan," ucap El. Aku tersenyum semringah, lalu mengangguk.

"Gimana? Enak?" tanya Al dengan senyum meledek.

Aku salah tingkah. "Jelas enak, dong. Di rumah ini, masakan Runa yang paling enak." El yang menjawab. Memang benar sih apa yang dibilang El. Masakanku enak sekali, daripada buatan El. Padahal ini masakan pertama, kurasa.

"Ayah, Ul pergi dulu," pamit Ul, hendak meninggalkan meja makan. Gadis itu, walau berkepribadian kurang baik, tetapi masih sangat hormat dengan ayahnya.

"Ayah juga sudah selesai. Berangkat bareng Ayah saja, Ul."

Setelah pamit, Paman Dan keluar rumah bersama Ul. "Kelihatannya Ul sangat dekat dengan Paman Dan ya, El?" Aku tertegun begitu menyadari pertanyaan yang keluar dari mulut sendiri. Apalagi di depanku kini mata elang itu menatap tajam. Ke mana El?

Al lalu tersenyum. Manis sekali. Aku tersipu, lalu menunduk memandangi piring berisi nasi, sayur bayam dan ikan goreng. "Jadi, kau juga baru tahu kalau Ayah dan Ul sangat dekat?" Dia menyelidik. "Tentu kau juga baru tahu ada pemuda setampan aku di rumah ini," lanjutnya diiiringi kekehan kecil.

Dasar! "Aku bahkan sama sekali nggak tahu kalau saat ini lagi berhadapan dengan pemuda tampan," gurauku.

"Kusarankan kau lekas memeriksa matamu. Ha ha ha."

Sepertinya dia tak berniat membahas kecurigaannya terhadapku. Syukurlah. Namun, sampai kapan akan kurahasiakan ini darinya? Kurasa dia perlu tahu.

***

NOTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang