Lembar 1

195 34 11
                                    

Runa?

Gemercik air-suara yang pertama kudengar saat membuka mata-mengusik telinga . Kutemukan tubuhku tertidur dalam posisi miring di atas rerumputan yang dinaungi pohon rindang. Aku lekas duduk, mencoba membangunkan kesadaran, lalu memandang berkeliling. Antara heran dan bingung mengiringi rasa takjub akan apa yang tertangkap oleh retinaku. Tempat apa ini? Begitu asing. Hamparan rerumputan hijau menyejukkan, membentang sejauh mata memandang.

Perlahan, aku bangkit lalu berjalan pelan. Aroma rerumputan membuatku merasa nyaman. Ah, sebentar. Hidungku menangkap sesuatu. Harum bunga, bukan, tetapi bermacam bunga yang dibawa angin ikut menambah rasa nyaman ini.

Suara gemercik tadi makin jelas saat langkah kecilku ... tunggu, ada yang janggal dari kaki ini. Setelah kuperhatikan, baru kusadari jika kaki kananku sedikit lebih pendek dari kaki kiri. Ya, kakiku timpang sehingga jalanku pun menimpang. Rasanya ingin berteriak dengan keadaan ini, tetapi entah kenapa semerbak rerumputan dan bunga-bunga ini seolah menyihir luka, menjadi tak terasa sama sekali.

Akhirnya kutemukan sumber suara air tadi. Kini di hadapanku tampak telaga berwarna biru, indah sekali. Pemandangan di Negeri asing ini mampu menyihir mata dan jiwa.

Puk!

Sesuatu menimpa kepalaku, lalu jatuh di atas rumput. Aku mendongak. Dari atas pohon itukah benda tadi? Namun, tak ada tanda seseorang atau apa pun di atas sana. Sedikit berjongkok, kuambil benda berbentuk persegi di samping kaki. Aku masih mengingat benda ini. Maksudku, namanya. Notes. Berwarna cokelat muda dengan gambar pohon di musim gugur, nyaris gundul, hanya tersisa beberapa daun yang telah menguning. Aneh. Dari mana asal notes ini? Lebih aneh lagi, kenapa aku begitu ingat dan hafal dengan setiap benda atau hal yang kutemui, sementara aku tak tahu apa yang membawaku berada di tempat ini. Aku bahkan baru beberapa menit lalu menyadari keadaan fisik sendiri.

Seseorang tampak duduk di tepi telaga. Seorang pemuda ... tampan. Dia melambaikan tangan ke arahku.

"Runa! Sudah bangun kau rupanya." Suaranya terdengar lirih karena jarak yang cukup jauh.

Aku mengedarkan pandangan. Tak ada siapa pun selain aku dan dia. Jadi ... dia bicara padaku? Tunggu! Dia memanggilku? Baru kusadari bahwa aku tak mengenal diri sendiri. Siapa aku? Aku ya 'aku'. Lalu, siapa Runa? Aku merasa bukan Runa. Namun ... aku tak tahu aku ini siapa. Arggg! Rasanya otakku mau pecah memikirkan ini.

"Runa! Kemarilah!" seru pemuda itu lebih keras.

Aku tak mengerti, akan tetapi kaki ini terus melangkah menimpang menuju ke pemilik suara itu.

"Lama sekali kau tidur," ucapnya begitu aku telah berada beberapa langkah di tempatnya duduk. "Lihat!" tunjuknya pada ember yang telah berisi ... ikan. Ya, setahuku itu ikan. "Sampai sudah sebanyak ini ikan kudapat, kau baru bangun," lanjutnya sambil tertawa kecil. "Dasar Putri Tidur!"

Aku bengong. Masih belum percaya dan mengerti dengan apa yang terjadi. "Kau memanggilku apa? Runa?"

Pemuda itu lantas berdiri, lalu mendekatiku.

"Memangnya kenapa? Hey! Kau kira aku harus memanggilmu 'Putri Runa'? Ha ha. Kau aneh sekali."

"Aku ... Runa? Runa. Runa. Runa." Kurapal berulang nama itu. Asing. Aku tak mengenal Runa. Kupejamkan mata. Runa? Kenapa nama itu seperti pernah singgah di kehidupanku? Namun, itu bukan namaku. Bukan aku.

Tuk!

"Aduh!" Sedikit meringis kupegangi kepala. Pukulan kecil pemuda di depanku membuat tersadar, yah ... belum benar-benar sadar dalam keadaan sesungguhnya.

"Hanya beberapa jam tidur, kau sudah amnesia rupanya. Ha ha ha. Atau kau sedang bermain drama, Runa?"

Makin bingung. Tak kupedulikan ucapannya. Kakiku melangkah menuju tepi telaga. Lagi-lagi takjub yang kurasakan. Telaga yang begitu jernih. Bahkan ribuan ikan menari-nari di dasar telaga pun terlihat jelas.

NOTESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang