(H)OUR MOMENT - KEKALAHAN PERTAMA

220 38 47
                                    

Matahari beberapa waktu lalu telah melenggang di langit yang memerah semu. Itu terik. Namun suara-suara ribut desing peluru, granat yang meledak sana-sini, kendaraan perang yang terbakar, bebauan mesiu, bebauan gosong, juga anyir darah tak kalah membuat mual, juga amat sangat lelah. Lee Changsub berlari menjauh dari pertempuran yang tak imbang. Ia sama sekali tak membawa senjata, pelurunya habis, senapan laras panjang miliknya patah. Beberapa kali ia mengelap peluh yang kotor dengan degup jantung tak karuan: mereka acapkali terkejut dengan ledakan-ledakan di belakang, juga suara nyaringnya.

“Aku butuh senjata!” teriaknya sambil berlari merunduk. Kedua tangannya spontan berada di atas kepala, mencoba melindungi bagian paling berharga itu. Ya, Setidaknya, jika ia mati di medan perang, ia tak mau mati dengan jasad tanpa kepala. Mungkin mati tertembak itu jauh lebih keren. Tapi mana ada kematian keren yang tersemat pada jasadmu ketika kau mengangkat tinggi-tinggi bendera penjajah bangsamu dan membelanya mati-matian sekalipun tak ingin?

Beberapa orang melempar senapan laras panjang padanya. Secepat kilat Lee Changsub menangkap benda itu, lalu berlari ke balik dinding yang baru saja runtuh akibat ledakan: ia hendak membentengi dirinya, menembak dari balik dinding rapuh itu. Beberapa kali laki-laki itu mengelus dada, mencoba menenangkan diri sebelum menembak lagi. Ia melihat banyak mayat di sekitarnya: mayat-mayat yang tubuhnya hancur, lehernya tertebas, kaki-kakinya terlindas tank, tengkoraknya rusak parah, juga seragam-seragam kotor yang sudah sewarna tanah.

Tuhan, begitu banyak korban. Kapan ini akan berakhir?” batinnya.

Changsub menelan ludahnya yang tak terasa seperti ludah. Ludahnya rasa asin darah. Bagaimana mendeskripsikan itu? Ya, dalam beberapa tekanan akibat ledakan, laki-laki itu mengertakkan giginya kuat-kuat hingga sisi dalam bibirnya terluka. Sekali lagi, Lee Changsub memantapkan hati untuk kembali bergerak. Tangan kirinya kemudian sibuk mengokang senjata laras panjang itu, kemudian ia memfokuskan pandangan ke objek yang bergerak brutal tak jauh dari tempatnya bersembunyi, kemudian sontak melepaskan tembakan-tembakan bertubi. Satu, dua, empat, tujuh, delapan orang berhasil ia habisi dalam sekali aksi.

Tuhan, maafkan aku. Aku sudah merenggut nyawa orang-orang yang ditunggu kepulangannya.

Tidak. Tidak. Laki-laki muda itu mungkin salah. Ia memang baru saja membunuh delapan orang dengan tembakan beruntun, namun dirinya sama sekali tak menyadari bahwa Pasukan Kekaisaran Jepang sudah terdesak mundur. Prajurit yang membawa bendera-bendera Jepang seluruhnya dihabisi, bahkan kapten perang Jepang sudah menginstruksikan pasukan untuk mundur. Korban banyak berjatuhan dari pihak Jepang—dan tentunya orang-orang Korea yang dipaksa ikut perang.

“Mundur!!! Semuanya mundur!!!” Semua berteriak menginstruksikan untuk mundur.

Di tengah-tengah dentuman granat yang mengobarkan api dan meluluhlantakkan semua kendaraan perang, melibas habis prajurit-prajurit yang larinya seperti pemalas, membakar mereka semua hingga aroma gosong menyeruak, juga erangan sekarat manusia-manusia di medan perang, Lee Changsub berlari. Ia berniat mengikuti instruksi untuk mundur ketika dilihatnya pasukan musuh makin gencar membantai mereka dari jarak dekat. Lalu mata pemuda itu menangkap sesosok bocah yang familiar tengah tak sadarkan diri di antara mayat-mayat.

“Jung Ilhoon? Ilhoon! Ilhoon!” Ia berlari mendekati si bocah. Digoncangkannya tubuh kurus yang terbalut dalam kain seragam cokelat rusuh dengan panik. Satu hal: entah mengapa ia tak ingin Ilhoon mati.

Anak itu mengerjapkan sepasang mata beretina cokelat miliknya. Pelipis yang tadi mengeluarkan darah merah segar kini berubah cokelat kehitaman pekat. Panik. Ia melihat raut wajah panik Changsub di antara material-material yang beterbangan loncat kesana-kemari akibat tekanan ledakan granat yang baru saja.

“Hei, bodoh! Bangun! Bangun! Kita harus mundur jika tak mau dibantai habis! Bangun, Jung Ilhoon!” teriak Changsub.

“Aku ingin! Aku ingin bangkit! Tapi kakiku… kakiku mati rasa…” Ia tak kalah panik dengan manusia yang sejak tadi berteriak di dekatnya. Ilhoon sungguh tak bisa menggerakkan kedua kakinya saat itu.

Aniya, andwae. Naik ke punggungku sekarang! Ayo!”

Hyung! Hyung! Selamatkan dia dulu! Selamatkan dia, Hyung!” Sejenak terkesiap karena dipanggil ‘Hyung’ oleh bocah di hadapannya, Changsub kemudian mendapatkan kembali fokus terhadap ‘dia’ yang dimaksud Ilhoon: laki-laki Korea yang tak bisa beranjak dari tempatnya sementara tank besar tengah berjalan menuju padanya.

Mworago? Ah… kau merangkaklah dulu. Aku akan membantunya. Ppalli!” Lee Changsub menghampiri lelaki yang berada dalam jurang kengerian itu. Ia berniat menarik tubuh laki-laki yang kakinya malfungsi, namun itu sungguh tak mudah, sementara tank itu betul-betul…

Andwae! Andwae! Bergeraklah jeballl!!!

Dowajuseyoooo!!! Jebal..!!!

Krekkkk!

Erangan panjang kemudian memekakkan telinga Lee Changsub. Ia bergidik ngeri, meneriakkan hal yang sama, kemudian terisak. Separuh badan lelaki yang hendak ditolongnya terlindas kendaraan besar, hancur, tak bersisa. Yang tersisa darinya hanya wajah sekarat dan mulut yang berulang kali memuntahkan darah. Dan mati.

Ahjussi! Ahjussi!” teriaknya di sela isak.

Tuhan, aku tak berhasil menolongnya…”

Changsub meletakkan kepala lelaki itu di tanah. Salah satu telapak tangannya sempat menutupkan mata ahjussi yang melotot terbuka, kemudian dirinya lari jauh-jauh menyusul Jung Ilhoon dan beberapa rekan lain yang sudah beranjak pergi sejak tadi.

Area perang yang berubah menjadi ladang mayat itu lalu menguarkan hawa dan aroma tak sedap. Ah, kau tahu burung-burung pemakan daging? Mereka dengan senang hati melahap daging mayat-mayat yang berserakan di sana. Beberapa melahap yang sudah matang gosong, beberapa yang lain menelan mentah-mentah daging segar yang masih berlumur darah. Dan jika kau amati lebih lagi, ada satu dua ekor dari kawanan burung yang sejak tadi mematuki mata mayat-mayat. Mereka hanya makan bola mata? Entahlah. Terlalu ngeri untuk dideskripsikan.

“Changsub-ah, kau baik-baik saja?” Kim Jun Shik menghampiri sahabatnya.

“Aku masih hidup untungnya,” jawab Changsub singkat. Pikirannya masing melayang pada ahjussi yang tak bisa ia selamatkan di detik-detik terakhir.

Wae gaeurae? Kau terluka?” Jun Shik melempar sebotol air ke pangkuan Lee Changsub.

Aniya…naneun gwaenchana. Aku hanya…” Ia tak bisa meneruskan kalimatnya. Hal itu terlalu mengganggu alam pikirnya. Semua perasaan sesal, sedih, bercampur menjadi satu. Jun Shik tampak memahami sahabatnya. Ia duduk di sisi Changsub, lalu mengatakan beberapa hal.

“Kau masih kepikiran soal yang kemarin? Changsub-ah, ini perang pertama kita. Bukan hanya kau. Bahkan aku juga mengalami itu. Titik trauma. Tapi kumohon, jangan sekarang. kau tahu? Perjalanan kita tampaknya masih panjang…”

“Maksudmu?”

“Aku mendengar kabar burung. Kabarnya kolonel akan datang. Ia dalam perjalanan kemari. Entah akan dibawa ke mana lagi kita, Lee Changsub.” Tidak ada sahutan dari pemuda yang dipanggil ‘Lee Changsub’. Kali ini pikirannya beralih pada Jung Ilhoon. Anak itu… di mana ia sekarang?

Kabar kedatangan kolonel menyebar secepat kilatan cahaya. Siang itu juga, seluruh pasukan dikumpulkan. Beberapa kendaraan datang dengan pasukan lain. Kasak kusuk itu kemudian muncul: soal siapakah kolonel yang datang langsung ke area luas tak jauh dari camp.

“Bajingan itu!” seru beberapa orang. Masih dalam mode membisik.

“Apa yang ia lakukan di sini, Kim Jun Shik?” tanya Lee Changsub.

Kolonel yang dimaksud turun dari mobil dengan sepatu licin dan seragam tegasnya. Ia berjalan gontai di depan prajurit-prajurit yang menahan napas, juga kapten yang bertanya-tanya perihal kedatangan orang penting itu. Lalu mereka semua mendengar titah Kaisar dalam selembar kertas gulung yang dibacakan  oleh prajurit yang dipanggil ‘Mukai’: bahwa kapten sudah melakukan kesalahan dengan memberi perintah mundur yang memalukan. Pangkatnya diturunkan. Kemudian, Kapten Takakura harus menunjukkan kesetiaan untuk Kaisar dengan melakukan…. Hara-kiri. Baiklah. Itu tampak gila.

Yang lebih gila lagi, Kolonel itu: Tatsuo.















Note:
Annyeonghaseyo! Update tengah malam nih guys wkwkwk
Sejauh ini gimana menurut kalian? Eh, ada yg sudah mual baca part ini? Atau justru biasa aja karena sudah sering baca deskripsi yg begituan? Hehehehe hmmm terlepas dari bagaimanapun reaksi readers, komentarnya ditunggu ya 😉😉 see you!

[2018] (H) OUR MOMENT ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang