Tumbal Pertama

53 3 0
                                    

"Sepandai-pandainya mahasiswa beralasan, pasti dosen yang selalu menang." -Mahasiswa yang terjebak.

------

Hari kamis ke-empat dalam bulan November akhirnya menyapa. Di antara lima hari kuliah, aku tidak mengerti mengapa kamis selalu menjadi hari yang ingin sekali kulewatkan. Satu dari sekian banyak alasan adalah karena hari ini adalah hari dimana mata kuliah metodologi penelitian diadakan, yang berarti presentasi bahan skripsi akan dimulai. 

Meski sudah dua minggu kujadikan jurnal sebagai menu sarapan, proposal skripsiku tetap hanya mengalami sedikit kemajuan: ya, tiga lembar. Mungkin besok aku harus menambahkan buku dan artikel ilmiah sebagai menu makan siang dan makan malam. Supaya setidaknya, sepuluh halaman dari Pendahuluan Penelitian bisa tercapai.

Kini sudah saatnya aku mengubur semua tempat yang menjadi list mingguanku untuk bersantai ria. Selamat tinggal Depok Town Square, Margo City,  dan ITC. Selamat datang perpustakaan, kamar kostan, dan tempat perenungan. Semoga kita bisa berteman baik sampai setidaknya enam bulan ke depan.

Membereskan bahan presentasi membuatku lupa telah menengok jam yang kini sudah bergerak ke pukul 7:50. Itu berarti 15 menit lagi sebelum Mam Grace datang. Notifikasi handphoneku berdering. Terlihat dari layar: Sabrina.

"Sabrina: Jujur, lo maju presentasi pertama kan, hari ini?"

Aku yang sudah mengambil pakaian untuk disetrika, berhenti sejenak . Seperti biasa, mengkhayal adalah hal yang paling indah yang dapat dilakukan pada pagi yang panik ini.

"Nadia: Yoi. Kan mau ngerjar lo sidang."

"Sabrina: Oke."

Jarang sekali Sabrina membalas seformal itu. Biasanya ia akan menimpali dengan khayalan yang lebih tidak masuk akal. Jam yang semakin bergerak membuatku enggan memikirkan hal yang tidak-tidak untuk diperdebatkan dalam pikiran.

Lima menit kiranya aku berada di kamar mandi, namun ternyata jam sudah bergerak cepat ke angka 8: 20. 

"Udah ada dosen. Yang mau maju presentasi, tolong dipersiapkan." Ultimatum dari group whatsapp kelas baru saja tiba.

Aku langsung meraih daycream, bedak dan lip balm dalam satu tangan. Jangan tanya bagaimana aku mengaplikasikan semua itu. Yang terpenting bagiku saat ini hanyalah bagaimana aku bisa sampai di kelas dalam waktu kurang dari satu menit.

Aku melirik isi dompetku dengan perasaan was-was. Tidak ada pilihan lain. Ojek online adalah solusi dari kebiasaan terlambat dan tercekat ini.

Sesampaiku di pintu kelas, seperti biasa beberapa orang sedang mengerubungi Mam Grace untuk meminta saran penelitian. Aku merasa beruntung ketika tahu keterlambatanku mungkin tidak disadari olehnya.

Namun ketika aku menghembuskan napas tenang, Mam Grace mendadak berdiri dan menunjukku. "Nadia, katanya kamu mau maju pertama. Sudah siap?" 

"Eh? Saya belum siap bu." Hatiku mencelos. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas untuk mencari juru kunci yang telah menjadikanku tumbal. Namun hasil pencarianku nihil. Semua wajah teman kelasku tampak kosong dan tak berdosa, kecuali...

"Jangan diulur-ulur. Kamu mau lulus tahun ini, kan?" 

"Mau dong, mam!" sahutku cepat. 

"Ya sudah. Siapkan laptop kamu, dan kita mulai." 

Sabrina menatapku sambil mangacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan, membentuk kata: peace. "Gue kira lo bener-bener mau maju hari ini, Nad," bisiknya hampir tidak menggerakan mulut.

"Iya, tapi setelah orang lain, Sab. Gila aja gue jadi permulaan. Gue baru nyelesain 3 lembar," sahutku kesal. Aku bisa merasakan pandangan Mam Grace yang menatap curiga bisik-bisikku dengan Sabrina, tapi tak kupedulikan itu.

Sabrina melirikku dengan rasa bersalah. Tampak gurat-gurat penyesalan dalam sorot matanya. "Sori, Nad. Tapi nggak ada yang mau maju hari ini. Mam Grace bilang, kalau sampai hari ini nggak ada yang maju, nggak perlu ada kuliah metlit* lagi."

"Apa?? Lo sendiri gimana, bukannya bab satu udah kelar?" Aku masih belum bisa mempercayai kata-kata yang meluncur dari mulut Sabrina. Jantungku masih berdegup kencang. Tanganku gemetar. 

Sabrina menggeleng, "laptop gue dibawa kerja bokap tadi pagi. Keperluan mendadak. Dan gue nggak ngeback-up file itu."

Aku menatap dinding yang memantulkan bayangan wajahku yang sudah pucat pasi. Dari tiga puluh anak di kelas ini, mengapa aku yang harus maju pertama untuk presentasi? Tuhan, apa ini yang dinamakan takdir?

Ketika Mam Grace memanggilku untuk kali kedua, aku hanya bisa menarik napas dan mengeluarkan laptop dengan pasrah.

"Once again, sorry."

"It's okey" gumamku sembari menghitung langkah menuju jurang tak bertepi. 

Aku yakin, besok akan ada koran yang menuliskan namaku di halaman depan: NADIA AMANDA, TUMBAL PERTAMA YANG DITEMUKAN TERJATUH DALAM JURANG SKRIPSI"

----

*metlit: metodologi penelitian

Skripsi WarWhere stories live. Discover now