SKS

62 1 0
                                    


Ketika kamu berpikir tinggal selangkah lagi untuk menang, saat itulah kamu benar-benar kalah. –Mahasiswa yang terlena

--

Detik-detik berakhirnya semester tujuh, mulai tercium. Entah menyeruak dari mana, tapi aroma itu sangat terasa saat menjelang hari terakhir UAS yang lebih pantas disebut romusha. 

"Besok, seluruh mahasiswa wajib ikut seminar pelatihan skripsi jam 8 teng-go!" seru Onoy yang baru saja mendapat ultimatum dari seorang dosen. 

Pelatihan skripsi adalah hal wajib bagi mahasiswa tingkat akhir. Prosedur penulisan dan bimbingan menuju hari persidangan akan dijelaskan secara detail di sana. Tidak salah, memang. Hanya saja mengapa waktunya yang harus bertepatan dengan UAS yang terdiri dari dua pelajaran sadis?

Aku merebahkan punggungku ke kursi. Di tingkat akhir ini, setiap hari terasa seperti berlari. 

"Ini ujian akhir apa pertandingan maraton sih?" ratap Sabrina sambil menatap hampa kertas yang baru saja ia fotokopi.

"Lebih baik maraton sih, finishnya cepet!" Kinan menimpali.

Aku meraih catatanku dan menelusuri kisi-kisi yang konon akan keluar pada ujian nanti, "24 jam lagi. Abis ini, kita tidur dua hari."

"Bangun-bangun, udah ganti tahun," imbuh Sabrina.

"Bangun-bangun, udah wisuda," balas Kinan.

"Bangun-bangun, udah denger anak nangis," tambah Sabrina lagi.

Aku dan Kinan langsung berteriak kaget, "eh?"

"Anak tetangga," Sabrina cepat-cepat menambahkan. "Jangan sensitif dong. Cukup ibu kost yang ketinggalan setoran aja yang sensitif," ujarnya kemudian tertawa. 

Aku yang masih mengerutkan kening akhirnya tertawa juga. Teringat ibu kost yang dua hari lalu mencegat keberangkatanku ke kampus karena lupa membayar uang kost yang sudah jatuh tempo.

"Jadi, besok pada dateng?" tanya Kinan sebelum kami berpisah di persimpangan menuju peradaban masing-masing.

Sabrina tampak menerawang. "Skripsi, ujian, skripsi ujian," rapalnya sambil menghitung jari. "Tidur aja deh."

"Hmm.. yakin?" tanyaku sambil menyelidik Sabrina. Sabrina menatap Kinan. Kinan menatapku. Lantas kami tertawa bersama. 

Begitulah kenyataannya, kami memang pemalas yang tidak punya nyali. Walau berjanji akan membolos, pada akhirnya kami akan menghadiri pelatihan itu. Entah bagaimana menjalani pelatihan sambil memikirkan ujian, setidaknya aku punya waktu semalaman untuk menyicil materi ujian yang banyaknya menyaingi beban hidup.

--

"Eh udah pulang, Nad? Tumben," sapa ibu Kost yang entah sejak kapan berada di depan gerbang.

Aku nyengir sekenanya. "Tumben juga bu..." Ada di pintu gerbang. Ibu nggak lagi nunggu saya kan?

"Apanya?" selidik ibu Kost yang menantiku menyelesaikan kalimat.

"Eh." Lidahku mendadak kelu. Teringat kembali uang kost yang belum juga dikirim bapak, membuatku harus menghindar dari pertanyaan skakmat. "Tumben, ibu hari ini nggak arisan."

Ibu kost tampak terkejut. Ia mungkin tidak tahu kalau para anak kostan tahu seluk beluk kesehariannya. Siska yang selalu melaporkan. Ia bilang, sebagai anak yang baik, harus tahu kegiatan ibunya. "Kebetulan minggu ini diundur, Nad. Jadi lusa."

Aku mengangguk-angguk, sambil memikirkan jalan untuk kabur tanpa dicegat. "Yaudah bu, saya masuk dulu ya. Masih ada ujian besok. Harus belajar."

"Eh, tapi.." sela ibu kost.

Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimat, aku sudah menghilang di balik pintu kamar yang langsung kukunci rapat. Langsung kunyalakan laptop dan kusetel lagu keras-keras. Alasannya sederhana, tentu saja supaya aku bisa pura-pura tidak mendengar ketika ia nekat mengetuk pintu kamar. 

Aku merebahkan tubuh di kasur dan memeluk guling erat-erat. Memang, tidak ada yang lebih nikmat selain tidur setelah seharian berperang dengan soal-soal.

Andai besok tidak ada ujian.

Andai besok bisa tidur sepuasnya.

Andai.

"Halo?" ucapku setelah mendengar suara panggilan berulang yang mengganggu gendang telinga. Aku mengucek mata: ternyata Siska. "Kenapa, Sis?" 

"Belum tidur kan, kak? Hehe.. Gue lupa bawa kunci lagi," rengek Siska. Seperti biasa dan kupikir itu sudah mendarah daging bahwa ia selalu lupa membawa kunci. Dan aku, manusia kelelawar yang sering mengejar deadline hingga tengah malam, adalah korban yang paling cocok untuk dimintai pertolongan membuka pagar.

Tapi, bukankah itu berarti ini sudah tengah malam? Padahal ini kan baru jam... Aku langsung menegakkan tubuh untuk melihat jam di handphone. "HAH.. JAM 1?"

"Emangnya lo kira jam berapa kak? Jam 5 sore?" balas Siska yang ternyata mendengar jeritanku.

Aku langsung menarik buku dari tumpukan dan menerbarkannya di sepanjang meja.  

"Halo, halo, kak. Lo nggak tidur kan?" tanya Siska sambil membunyikan pintu gerbang agar aku terbangun lagi karena berisik.

"Hm-mh," balasku, lantas berjalan gontai menuju gerbang.

Siska berdiri dengan senyum permintaan maafnya seperti biasa, "Sori. Lo beneran belum tidur kan, kak?"

"Justru gue baru bangun tidur," tukasku, lalu kembali ke kamar.

Aku menghembuskan napas keras-keras. Enam jam lagi aku harus ke kampus dan belum satu materipun kutelan. 

Ya Tuhan, inikah yang disebut SKS?

Sistem Kebut Setengah malam?  

Sistem Kebut Setengah mati?

Sistem Kebut Sekali?

Aku menelan ludah. 

Skripsi WarWhere stories live. Discover now