Jika sebuah bom mempunyai 1000 kekuatan untuk memporak-porandakan kota, maka UAS dicampur deadline proposal memiliki 1000 kekuatan untuk meluluh-lantahkan kewarasan mahasiswanya. -Curhatan tingkat akhir
--
"UAS dimajuin, deadline proposal ikut maju dong?" gerutu Kinan sembari menatap layar laptopnya dengan penuh cemas.
Aku yang baru saja menjadi tumbal Mam Grace untuk kedua kalinya hanya bisa terdiam. Di tingkat akhir ini, pengumuman tampak seperti pesta kejutan yang membuat jantung berdetak dua kali lebih cepat.
"Apa begini nasib tingkat akhir?" Sabrina ikut merepet.
"Bukan nasib, takdir, Sab," koreksi Kinan.
Aku menghembuskan napas keras-keras. "Ini mungkin namanya ujian dalam menghadapi ujian."
Tawa Sabrina langsung meledak. Ia memegangi perutnya sambil terus mengetik di laptop. "Ujian dalam ujian itu semacem cobaan extra ya?"
"Double extra super!" sahutku asal.
Kami baru saja menyelesaikan mata kuliah Metodologi Penelitian di mana aku dan Sabrina menjadi tumbal untuk memperlihatkan kemajuan proposal. Seperti kamis biasa, kami tidak langsung pulang, melainkan bertahan lebih lama di kampus untuk merevisi proposal demi mendapat kata 'sempurna'.
Bosan di perpustakaan, kami akhirnya memilih kantin untuk bekerja lembur. Tapi, kantin ternyata bukan pilihan terbaik. Selain berisik, aroma makanan yang menggoda membuat kami tidak bisa berhenti mengunyah.
"Gue pengen crepes deh!" celetuk Sabrina yang membuat aku dan Kinan melongo bersamaan.
Kinan menghentikan kegiatan mengetiknya untuk menepuk jidat Sabrina. "Lo kan baru makan soto daging sama jus, Sab. Langsung mau crepes?"
"Ngerjain revisian perlu banyak nutrisi, Nan," sanggah Sabrina tak mau kalah. "Lagian, siapa suruh bau-nya sampe sini? Jadi pengen kan gue."
Aku sendiri tidak tahu bau apa yang dimaksud Sabrina. Entah hidungku yang tidak mempunyai refleks yang bagus, atau memang bau penderitaan mahasiswa tingkat akhir sudah terlalu menyeruak.
Aku menghela napas berat sambil menyandarkan punggung di senderan kursi. Otakku butuh penyegaran. "Gue titip satu deh, Sab," sahutku yang membuat Kinan semakin melongo. "Pisang coklat!"
"Oke," sambut Sabrina, langsung bangkit dan melipir ke abang crepes.
Dua menit kemudian, Sabrina datang membawa dua crepes yang masih mengepul hangat. Walau baru saja menghabiskan sepiring nasi goreng, bertemu crepes rasanya seperti baru melihat makanan sejak tiga bulan lamanya.
--
Ujian hari pertama akhirnya dimulai. Aku sedikit tenang karena ujian kali ini bersifat open-book. Maka sehari sebelumnya sudah kupenuhi bukuku dengan stabilo terang agar lebih mudah terlihat.
Walau ujian dimulai satu jam lagi, aku memutuskan untuk berangkat sekarang. Hal ini kulakukan untuk mengantisipasi terjadinya perang demi meraih posisi duduk terbaik. Dan benar saja, masih sekitar 45 menit lagi, namun sekumpulan orang sudah berdiri di depan pintu sambil memasang ancang-ancang untuk berlari.
"Masih setengah jam lagi, bro! Selaw," sahutku pada Onoy, teman sekelasku.
Yang disapa hanya tersenyum kecut, sambil memperkuat kuda-kudanya. "Mau ikutan juga kan, lo?"
"Enggak," sahutku refleks sambil menggeleng. Namun sedetik kemudian, aku tersenyum samar. Ikutan? Oh jelas tidak. Tidak salah lagi maksudnya.
Aku mencari tempat berdiri strategis dan memasang kuda-kuda ketika jam menunjuk angka 10 menit lagi menuju perang. 7 menit. 5 menit. Kulihat seisi kelas mulai merapikan buku dan bersiap untuk keluar. 3 menit. 2 menit. Dan pintu terbuka. Kami langsung menyerbu bagai harimau yang sudah dua bulan tidak melihat mangsa.
Walau aku yakin sudah berdiri di tempat strategis, nyatanya aku belum berhasil mendapatkan tempat duduk terbaik. Posisi tengah dengan nomor dua dari depan. Cocok untuk menjadi pusat perhatian pengawas!
"Gagal war ya?" Sabrina menghampiriku dengan peluh penuh keringat.
Belum sempat aku bertanya, Sabrina kembali menyeletuk. "Telat. Gue lupa kalo hari ini masuk jam 10."
Aku hanya mengangkat bahu. "Seenggaknya gak depan muka pegawas."
Sabrina ikut mengangguk-angguk. "Ujian dalam ujian," gumamnya, mengulang kata-kataku.
Gagal dalam war tempat duduk, membuatku bertekad untuk tidak gagal dalam war ujian. Aku yakin sudah mengingat semua bab yang kubaca sekilas pagi tadi. Aku juga sudah menandakan setiap bab dengan post-it untuk memudahkan mencari jawaban. Dengan begitu, aku tidak perlu banyak membuang waktu.
Namun setelah melihat kertas ujian, aku langsung menganga: soal kasus! Untuk apa open-book jika soal yang disajikan adalah soal kasus? Ini seperti mencari mangga di pohon jambu: mustahil!
Aku menghela napas sambil mencuri pandang pada Sabrina yang juga belum menuliskan apa-apa di kertasnya. Setelah dua menit termenung menatap soal, aku mengambil langkah untuk mulai mengarang. Entah apa isinya, yang jelas terus-menerus meratap tidak ada gunanya.
Setelah selesai ujian, Kinan menghampiriku dengan muka lusuh. "Lebih baik revisi proposal ternyata daripada belajar."
"Open-book gak perlu belajar, Nan," celetuk Sabrina.
Aku bergusar pasrah. "Namanya juga ujian dalam ujian," petuahku. "Walau gue juga nyesel udah stabilo-in dan post it-in banyak-banyak."
"Rugi bandar ya? Post-it mahal tuh 6 ribu trus stabilo 5 ribu."
"Iya, bisa buat beli crepes tuh harusnya."
"Jadi pengen crepes."
"Mam Grace bisa gak ya disogok pake crepes supaya mundurin deadline proposal?"
Pertanyaan Sabrina langsung membuatku tersadar. Ah, proposal. Tiga hari ke depan, mataku mungkin tidak ada bedanya lagi dengan panda. Andai saja Mam Grace benar-benar bisa luluh dengan crepes, mungkin saat ini aku langsung memesan 1000 pcs untuk dikirim ke rumahnya.
--
YOU ARE READING
Skripsi War
General FictionNadia, mahasiswa tingkat akhir yang kini tengah bertempur untuk menentukan judul, topik, dan tempat penelitian skripsi. Di tengah hujan yang mulai tidak beraturan dan ibu kost yang sering memberi petuah panjang, Nadia harus mengejar target sidang pr...