Bergadang memang tidak baik. Tapi bergadang di malam kamis adalah suatu keniscayaan. -Mahasiswa yang lelah.
---
Dari awal semester tujuh, kamis adalah sudah dinobatkan menjadi hari paling horor. Terlebih sejak Mam Grace memberi ultimatum bahwa sudah tiba saatnya bagi kami untuk membuat sesuatu yang bagi sebagian orang enggan menyebut namanya, sehingga sering dikatakan "it who must not be named." Such as Voldemort, isn't it?
Kamis ini, seperti kamis biasanya dimana Mam Grace akan menagih kemajuan proposal. Maka malam ini sudah kuikrarkan untuk menyelesaikan bab 1 dan 2 yang belum juga rampung.
Aku sengaja menabung tidur siang, supaya bisa bergadang hingga semuanya selesai. Tidak lupa juga kopi ayam merak dan good-day capuccino kupersiapkan ketika mata sudah tidak bisa diajak berkompromi. Tetapi, jam baru saja menunjuk angka 21:30 saat aku sudah menguap untuk ketiga kalinya. Aku jadi bertanya-tanya, apa iya tabungan tidur siangku tidak berfungsi ketika melihat kata 'skripsi'?
Jam berdentang 12 kali ketika kopi yang kubuat sudah mencapai tegukan terakhir. Namun, bukan hanya jam saja yang berdentang, melainkan pintu gerbang yang ikut berdentang dengan teriakan super khas yang mampu membangunkan orang se-komplek.
"ADA YANG BELUM TIDUR?" Teng-teng-teng. "ADA YANG BELUM TIDUR?"
Siapa lagi yang pulang tengah malam dan selalu lupa membawa kunci, selain Siska.
Dengan malas, aku mencari kunci dan menyeret langkah menuju pintu gerbang. Selain kamarku yang paling dekat dengan target, tampaknya memang cuma aku yang masih sadar di tengah malam ini.
"Abis ke club lo yaa, pulang tengah malem mulu," celotehku sambil memutar kunci.
Yang ditanya mengerutkan dahi. "Boro-boro clubbing, tuh kuis mendadak. Nggak ada angin, nggak ada ujan, tiba-tiba dikasih tahu ada kuis di edmodo dan harus dikumpul dalam dua jam."
Aku tersedak, antara ingin tertawa dan kasihan ketika melihat raut wajahnya. "Wah itu kuis apa super-trap sih?"
"Kayanya gue lebih suka super-trap deh. By the way, makasih ya udah bukain. Gue tahu nih lo lagi ngambis ngerjain proposal," balas Siska setelah kembali mengunci pintu gerbang. "Inget kak, bergadang itu gak baik."
"Eh?" Apa aku tidak salah dengar. Bukankah dia yang baru saja pulang tengah malam, dan sekarang ia yang menasehatiku supaya tidak bergadang. "Oke, besok-besok gue tidur cepet dan nggak ada lagi yang bukain gerbang buat lo."
"Bercanda!" Siska cepat-cepat memegang tanganku dan tersenyum memohon. "Bukain gue lagi ya kak. Masa gue tidur di jalan kaya gelandangan yang abis ditagih setoran."
Aku masih ingin mendebatnya, tetapi bab satu-ku yang memanggil-manggil dari dalam kamar, membuatku segera kembali ke peradaban. "Mungkin sekali-kali lo harus ngerasain jadi kaya mereka, Sis."
"Hm." Siska hanya berdeham pendek sambil berjalan gontai ke kamar.
Meneruskan menulis di tengah malam memang ide yang bagus. Suasana hening membuatku lebih lancar untuk berpikir dan berimajinasi. Tetapi, apa iya aku bisa bangun pagi ketika jam tidurku semakin sempit? Setelah berdebat dengan pikiran sendiri, aku memutuskan untuk lanjut. Bagaimana pun, proposal lebih penting dari pada jam tidur.
Matahari di hari kamis membangunkanku setelah kurang dari tiga jam aku baru bisa tertidur. Satu-satunya mata kuliah yang bisa membuatku tertekan dan tersudutkan secara bersamaan, akan dimulai setengah jam lagi.
Setelah menyelesaikan mandi dalam lima menit, aku langsung memesan ojek online untuk menuju kampus. Beruntung, kali ini Mam Grace belum datang. Akan kupastikan Sabrina tidak asal memanggil namaku untuk kembali dijadikan tumbal dalam pertarungan hidup dan mati ini.
Seakan bisa membaca pikiranku, Sabrina langsung mendekat dan menepuk pundakku pelan. "Tenang, gue nggak akan jadiin lo tumbal hari ini."
"Oh ya?" Aku masih pura-pura tidak peduli karena perilakunya kamis lalu.
"Ya, karena gue yang akan ngajuin diri untuk jadi tumbal," balas Sabrina lalu tertawa sendiri.
Aku yang masih cemberut, mau tidak mau ikut tertawa. "Semoga lo nggak tewas ya."
"Lo harusnya beli persediaan nyawa dulu, Sab." Kinan, teman sepernasiban yang duduk di depan kami, mendadak memberi ide.
Sabrina hanya terkekeh, "lo kira gue kucing."
"Kinan sih emang emak kucing," timpalku setelah duduk. Temanku yang satu itu memang sangat menyayangi kucing-kucingnya. Ia rela berbagi kasur, berbagi makan, bahkan berbagi cerita pada makhluk berbulu itu. Bagi Kinan, kucing adalah anak-anak yang harus selalu dijaga.
"Kucing lo udah lahir belum, Nan? Gue ambil satu, ya!" pinta Sabrina sambil memasang senyum khas memohon.
Kinan langsung menggeleng, "sebagai ibu yang baik, gue nggak akan ngelepas anak-anak gue."
"Yah, salah emang gue minta ke ailurophile. "
"Btw, bapaknya siapa?"
"Bapak kucing?"
"Eh kita kok jadi ngomongin kucing sih?"
Bertepatan dengan itu, suara sepatu Mam Grace yang sangat terkenal, terdengar mendekat.
Tanpa basa-basi, Mam Grace langsung menyebarkan pandangan untuk membidik mangsa. Namun belum sempat ia menemukan, tangan Sabrina sudah mengacung ke atas. "Saya mau maju, Mam."
"Oke silakan," sambut Mam Grace dengan senyum sumringah.
Sepuluh menit sudah Sabrina menghadapi kritik yang tidak henti-hentinya dari Mam Grace. Aku tidak bisa melihat wajah Sabrina, namun kukira ia sudah pucat pasi karena kini suaranya hampir tidak terdengar.
Begitu Sabrina selesai, mata Mam Grace kembali berlarian dari sudut ke sudut. Entah mengapa, hawa kelas menjadi dingin dan mencekam. Begitu Mam Grace menghentikan pencariannya, seharusnya aku tahu bahwa ia telah lama menjadikanku incaran.
"Nadia, mata kamu layu sekali. Jam berapa kamu selesai mengerjakan proposal?"
Aku menelan ludah. Selain kemampuan menekan seseorang hingga ke titik terendah, apa Mam Grace juga dianugerahi insting sekuat singa?
--
ailurophile: pecinta kucing
YOU ARE READING
Skripsi War
General FictionNadia, mahasiswa tingkat akhir yang kini tengah bertempur untuk menentukan judul, topik, dan tempat penelitian skripsi. Di tengah hujan yang mulai tidak beraturan dan ibu kost yang sering memberi petuah panjang, Nadia harus mengejar target sidang pr...