Aku berharap sore ini tidak datang. Eh, tapi sebagian dariku juga berharap cepat datang. Entahlah, aku bingung.
Di satu sisi aku takut, sangat takut. Aku pernah mendengar ada orang yang dihantui rasa bersalah seumur hidupnya, karena pernah aborsi. Malah ada beberapa yang mati saat aborsi. Mendadak, tenggorokanku terasa tercekik.
Namun di sisi lain, aku kan masih muda. Aku masih tujuh belas tahun. Masih banyak yang harus kulakukan. Aku harus memikirkan kuliah di universitas mana, di kota mana, ambil jurusan apa, tempat mana saja yang harus kukunjungi dan banyak lagi.
Bukan malah mikirin urusan ibu dan anak. Serba serbi hamil, melahirkan, menyusui, mengganti popok, itu menyeramkan sekali. Lagi-lagi, tenggorokanku terasa tercekik.
"Meena, ayo berangkat!" Teriakan Mama membuat degup jantungku semakin cepat. Aku takut, tapi aku ingin. Bagaimana ini?
"I-iya, Ma! Sebentar, Meena ganti baju dulu!" Kenapa aku gugup begini. Bahkan ulangan fisika saja, pelajaran terkejam di muka bumi, tidak membuatku segugup ini.
"Buruan!"
Akhirnya kami berangkat juga. Biasanya Mama lebih suka membawa mobil sendiri, tapi kali ini ia memilih menggunakan taxi online. Aneh
Mungkin Mama tidak suka saja, jika ada orang yang melihatnya pergi ke tempat begituan. Ah, itu kan urusan orang dewasa. Kenapa aku harus pusing memikirkannya.
"Kamu sudah siap, kan?" tanya Mama saat di mobil.
"Siap apanya, Ma?"
"Lah, ni anak. Ya siap mentalmu, lah."
Sumpah, aku bingung menjawabnya. Aku sendiri tidak yakin, apakah aku siap atau belum.
"Ngga tahu, Ma. Meena bingung."
Mama diam saja. Matanya memandangku sejenak, lalu ia membuka ponselnya dan mulai mengetik. Kalau dilihat dari wajahnya, ia sedang seru-seruan. Karena wajahnya tersenyum-senyum sendiri.
Kenapa Mama tidak memeluk dan menenangkanku, ya? Atau baginya, apa yang kualami ini biasa saja? Atau akunya saja yang berlebihan? Entahlah.
Aku hanya berharap semua ini akan segera berakhir dan diriku kembali seperti semula.
Satu jam berjalan lebih cepat dari biasanya. Kami pun sampai di tempat tujuan. Ternyata bukan klinik, hanya rumah biasa.
Rumah dua lantai bercat putih dengan pagar yang sangat tinggi. Tidak ada plang yang bertuliskan dokter atau klinik di depannya. Atau jangan-jangan Mama mengajakku ke dukun. Eh, memangnya zaman sekarang masih ada dukun.
Mama berjalan di depan, aku mengikutinya dengan gugup. Jemariku yang berkeringat, terus meremas-remas satu sama lain. Degup jantungku semakin kencang.
Setelah berbicara dengan satpam sebentar, kami pun masuk. Rumah itu gelap, halamannya juga. Mama membawaku ke bangunan sebelah rumah yang lampunya menyala, meskipun sedikit temaram.
Kami memasuki ruangan yang lagi-lagi, tidak mirip klinik. Meskipun ada beberapa kamar di situ. Tampak semua perkakasnya sangat sederhana dan jelek. Suasananya hening mencekam.
Ada dua perempuan yang berlalu lalang, tampaknya perawat. Lalu di ujung ruangan, ada meja yang di belakangnya duduk seorang wanita berjas putih. Dokter atau bidan, mungkin.
"Selamat malam, Ibu Yameena?"
Apa? Dia memanggilku ibu? Gila, yang benar saja. Aku mulai ragu dengan kewarasan orang itu.
"I-iya, Dok!"
"Sudah siap, ya!"
"Ngga yakin sih, Dok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENY MAMEENA
RomanceHey, aku Meena. Umurku tujuh belas tahun dan hamil. Iya, kamu tidak salah dengar, aku memang hamil. Aku punya pacar, tapi bukan pacarku yang melakukannya. Kami tidak pernah berpacaran sampai sejauh itu. Kami masih pakai logika, kok! Yang melakukan s...