Sepulang dari rumah Krelia, aku mampir ke supermarket sebentar untuk membeli coklat. Iya, aku tak bisa hidup sehari pun tanpa olahan kakau itu. Dan sampai saat ini aku belum bisa lepas darinya. Menyedihkan, ya?
Setelah mengambil tiga batang coklat, aku jalan-jalan menyusuri rak-rak yang berlabel diskon. Aku memang 'Discountlover' garis keras. Entahlah, aku selalu kalah telak kalau sudah berhadapan dengan label itu. Terutama yang 'Beli satu Gratis satu.' Poor me!
Mataku tertuju pada tumpukan pembalut wanita yang berlabel 'Beli dua gratis satu'. Kuingat-ingat persediaan di rumah, apakah masih banyak. Tiba-tiba otakku terpikir satu hal, tapi bukan pembalut. Ya, bulan ini aku belum mens. Seharusnya kan, seminggu yang lalu. Jangan-jangan ....
Aku bergegas menuju kasir untuk membayar, lalu pulang. Kenapa aku baru ingat sekarang, ya?
Kubuka pintu perlahan, berharap tidak ada seorang pun di dalam. Biasanya jam segini, Mama kerja. Berbeda dengan Dino, pacarnya. Pria itu sepertinya pengangguran. Buktinya kalau pas di sini, dia akan seharian di rumah, menggangguku.
Tidak ada orang, aku aman. Setelah menaruh ransel di kursi, aku melangkah ke kamar Mama. Kubuka laci meja riasnya satu persatu. Di laci paling bawah, akhirnya aku menemukan benda yang kuinginkan. Testpack.
Jangan kaget. Mama selalu punya persediaan benda itu. Mungkin karena profesi dia yang mengharuskannya. Entahlah. Itu kan urusan orang dewasa.
Kali ini kulihat hanya ada satu box yang isi selusin. Padahal biasanya ada dua box lebih. Aku mengambil satu dan beranjak ke kamar mandi.
Kubaca aturan dan cara pakainya. Setelah paham, aku mengambil sedikit dari urin dan memasukkan benda bertuliskan 'Sensitif' itu.
Setelah beberapa saat, kulihat garis merah yang tertera. Dua.
Kulihat sekali lagi. Kali ini aku benar-benar memelototkan mata hingga titik terbesarnya. Dan tidak salah, ada dua garis merah di situ. Apakah itu artinya aku hamil. Aku, tujuh belas tahun dan hamil. Tidak! Ini tidak mungkin.
Lima belas menit kemudian, aku mengambil satu testpack baru dan mengetest ulang. Hasilnya masih sama. Dua garis merah.
Kuremas benda kecil berwarna biru putih itu sekuat tenaga. Brengsek! Bajingan itu telah menghancurkan segalanya. Apa salahku? Kenapa ini terjadi padaku, bukan padanya? Tuhan, apa yang Kau mau?
Kepalaku mendadak terasa berat. Dada ini pun sesak. Kakiku lemas. Pandanganku semakin gelap. Segelap masa depanku.
***
Jam satu dini hari. Aku masih belum tidur saat Mama pulang. Dia sendirian. Pria keparat itu tidak datang. Aku suka. Setidaknya, aku akan lebih leluasa bercerita. Tidak ada pandangan tajam khas seorang Dino. Aku selalu ketakukan dengan pria itu. Dan benci."Ma, sudah pulang?" Kulihat wanita itu duduk di sofa dengan segelas air putih di tangannya.
"Kenapa kamu belum tidur?" ucapnya ketus. Matanya meyeringai ke arahku sesaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENY MAMEENA
RomanceHey, aku Meena. Umurku tujuh belas tahun dan hamil. Iya, kamu tidak salah dengar, aku memang hamil. Aku punya pacar, tapi bukan pacarku yang melakukannya. Kami tidak pernah berpacaran sampai sejauh itu. Kami masih pakai logika, kok! Yang melakukan s...