Love Forecast

3.7K 310 4
                                    

Hinata terbangun saat merasakan napas berat di kulit lehernya. Juga sesuatu yang menggelitik di pipinya. Hinata buka mata, bengong ngeliatin langit-langit kamar yang dihiasi cahaya pagi. Saatnya bangun.

Dengan mendorong tenaga ke lengan untuk ngangkat badannya sendiri, Hinata mulai mikirin untuk bangunin Hanabi. Jadi, secara refleks, Hinata nyenggol badan yang ada di sebelahnya dan nyuruh adiknya bangun. "Hanabi-chan, nanti kau bisa terlambat sekolah." Seperti biasa, Hanabi menggerutu dan malah narik selimut.

Hinata akhirnya ngasih waktu tambahan buat Hanabi. Masih sedikit ngantuk, dia turun dari ranjang dan membuka tirai jendela. Selamat pagi...

Tunggu.

Di mana gedung-gedung apartemen yang biasanya menyambut Hinata? Suara burung yang berkicau bahagia di antara suara-suara khas pagi yang lain?

Oya. Hinata ingat sekarang. "Aku lagi tersesat." Hinata memutar badannya, dengan pasrah ngeliatin sosok yang masih tidur di kasur yang sama tempat dia tidur semalam. "Gaara-san." Daripada ngadepin Gaara yang nggak terlalu Hinata kenal, dia milih untuk nutup lagi tirai supaya Gaara bisa tidur lebih lama.

Sementara Hinata, satu-satunya cara yang paling aman untuk nggak ngebangunin orang yang lagi tidur adalah dengan mengendap-endap mirip maling. Hinata keluar, menghela napas setelah berhasil, dan menutup pintu.

Oke, sekarang apa?

.

.

.

Gaara terbiasa bangun jam empat pagi. Baginya cukup tidur selama beberapa jam, dan hari baru nggak pernah berarti baginya karena pasti sama aja. Pagi itu pun begitu. Dia bangun dari kasur, sedikit ngerasain badannya yang rada pegel, ototnya yang kaku, dan kemudian sadar dia ngerasain semua itu karena tidurnya yang kelewat lelap semalam. Pertama kalinya dia bisa tidur seenak itu.

Anyway, sekarang jam berapa?

Gaara buka jendela, ngeliatin matahari yang kayaknya udah nyebar sinarnya yang menyengat. Entah Gaara yang kesiangan—dia yakin itu nggak mungkin—atau emang ini udah siang. Kayaknya kalimat terakhir itu punya makna yang sama deh; Gaara kesiangan! Bukan, yang lebih parah, Gaara berhasil tidur!

Saat itu terdengar suara perempuan di balik pintu. Gaara milih untuk duduk dan cuma mendengarkan.

"Dulu daerah ini sangat ramai. Orang-orang datang sebagai penambang. Rumah-rumah penginapan dibangun, tempat makan, dan beberapa bar. Tapi kemudian ada seorang pria yang membeli lahan ini. Dalam sekejap, semua orang pergi."

Hening sejenak. Terdengar suara air yang dituang ke dalam gelas.

"Rumah kami sejak dulu jadi milik kami. Berapa pun angka yang ditawarkannya, suamiku menolak. Sebagai hasilnya, kami jadi satu-satunya orang yang tetap bersikeras tinggal di sini."

"Bagaimana dengan keperluan sehari-hari?"

Itu suara Hinata. Gaara pasti bisa mengenalinya di mana pun.

"Oh, kami punya simpanan yang cukup dari hasil penambangan yang lalu. Kami hanya perlu berkendara sebentar sampai kota dan membeli makanan secukupnya."

Ngerepotin, pikir Gaara. Kalo mereka punya telepon atau beli ponsel, mereka bisa belanja lewat pesan antar. Atau lebih bagus lagi, e-Bay. Uh... mungkin nggak e-Bay, ya... pokoknya yang lebih gampang dan instan. Dasar orang tua! Nggak ada urusan lain selain nunggu mati. Pikiran nggak sopan Gaara itu jangan ditiru ya, adik-adik…

Si Nenek ketawa, "Hidup bisa terasa nyaman saat kau merasa kau cukup. Apa kau pernah dengar istilah 'menghormati diri sendiri'? Aku membacanya di majalah. Itu majalah yang bagus, kapan-kapan kau harus baca juga." Sunyi lagi, cuma kedengeran suara piring-piring yang saling beradu dengan permukaan meja. Pasti waktunya sarapan. "Bisakah kau bangunkan kakakmu? Kurasa dia kelaparan."

Flirt With the DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang