Detik, menit, jam. Di antara Gaara dan Hinata, satu pun nggak ada yang tau udah berapa lama mereka jalan kaki. Nggak ada ponsel atau jam tangan. Matahari yang menyengat tetep menggantung di langit, semakin lama semakin menurun, dan kemudian, seperti juga hari-hari lain, malam pun datang.
Di gurun, bintang biasanya jadi pedoman penunjuk jalan. Bagusnya, mereka nggak lagi tersesat di padang gurun Sahara. Mereka masih di Vegas, cuma... agak jauh dari apa yang mereka bayangin atau gambar yang dipamerin pamflet biro perjalanan.
Mereka juga nggak tersesat. Cuma nggak tau pasti ada di mana. Atau harus ke arah mana untuk nemuin jalan pulang.
"Ano, Gaara-san? K-kau bisa baca arah?"
Gaara yang udah jalan lebih dulu di depan Hinata, berhenti buat balik badan dan nanya, "Ha?" Kelihatan jengkel dan capek banget. Kasihan Gaara, belum juga dapet istirahat, udah harus maksa badannya tetap berstamina. "Lo liat tampang gue. Gue punya tampang anak pramuka nggak?"
"Yah..." Hinata ragu buat jawab. Kalo mau sih, bisa aja Gaara jadi pramuka. Kan nggak ada aturan pasti yang bilang bahwa Gaara nggak bisa jadi anak pramuka. Yang paling utama jadi anak pramuka kan, jarang mandi. Bener gak?
Oke, balik lagi ke cerita. Yang sebenarnya perlu diketahui Hinata tuh, ke mana semangat Gaara yang sebelumnya ada? Well, semua yang udah baca chapter empat pasti tahu kalo Gaara sempet bersikap meyakinkan. Tapi sekarang, mereka cuma jalan nggak jelas arahnya, kecapekan, tanpa petunjuk, dan kemungkinan besar nggak akan nemuin jalan keluar segampang yang sempat dibayangin siapa pun yang baca atau bahkan yang nulis. Jadi, Gaara, apa yang akan lo lakuin?
"Kita istirahat bentar."
Cuma itu ide yang dipunya Gaara untuk sementara ini. Nggak mungkin juga dia bilang, 'kita nonton buat buang waktu biar nggak bosen', kan?
Jadilah mereka duduk di pinggir jalan raya yang padat pasir. Malam hari nggak cuma banyak angin kering, tapi emang dingin. Saling duduk merapat tanpa ada sedikit pun alasan yang bersifat romantis, dianggap paling masuk akal. Mungkin, kalo emang Gaara pernah jadi anak pramuka, dia bisa bikin api unggun. Dan kita semua tau, bukan cuma nggak punya tampang yang pas buat jadi anak pramuka, Gaara juga gak pernah ngabisin waktunya dengan punya pengalaman jadi pramuka.
Sekarang, apa yang harus diobrolin?
Duduk diam kayak gini, waktu jadi semakin terasa tersendat-sendat dan berjalan lama. Hinata cuma inget omongan adiknya tentang Gaara. Dari situ Hinata punya kesimpulan kalo Gaara kurang suka sama cewek cerewet.
"Gue punya pertanyaan buat lo."
Uh-oh, ini di luar ekspektasi Hinata.
"Kenapa lo bisa gampang banget tidur? Tuh penyakit?"
Meski nggak ada yang nyuruh, Hinata ngelurusin punggung. Dia ngerasa perlu mempersiapkan diri untuk jawab pertanyaan Gaara seakan tuh cowok baru ngajakin dia kawin lari. "I-itu... kebiasaan buruk."
Gaara mendengus, "Gue tau. Tapi pasti ada alasannya, kan?"
Duh... harus jujur nggak, ya? Masa sih Hinata bilang kalo dia gampang ngantuk karena kecapekan ngurusin rumah. Nggak gaya banget. Lagian, Gaara juga nggak akan tertarik sama urusan Hinata, kan? Belum lagi, malunya. Bakalan malu-maluin banget kalo sampe Gaara atau orang lain tau bahwa kebanyakan temen Hinata tuh ibu-ibu komplek. Meskipun Hinata nggak punya reputasi yang sempurna di lingkukan sekolah dan Gaara juga beda sekolah sama dia, tapi... tetep aja, reputasi tuh harus tetap dijaga. Penting banget, malah.
"T-tidak ada alasannya, kok. C-cuma kebiasaan buruk."
Nggak ada lanjutan kata dari Gaara. Angin bertiup, pasir-pasir berhamburan, Hinata menutupi mulut dan hidungnya dengan tangan sementara matanya tertutup. Di saat itulah seharusnya Hinata membuka mata. Kenapa? Karena Gaara mencoba untuk nggak terlalu mikirin kenapa dia mau tau alasan Hinata sambil terus ngeliatin cewek yang duduk di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flirt With the Devil
Fiksi PenggemarHinata punya penyakit parah: pelor alias nempel molor. Jadi, Hinata pun berguru pada Gaara yang terkenal insomnia. Hinata, berjuanglah! GaaHina all the way~