Desa Permitif

132 7 2
                                    

Desa Kamudi

Sepeda motor tua yang dikendarai mengantarkan ku di salah satu desa di Kab. Dompu. Hutan belantara menjadi penanda ketibaanku. Pepohonan seolah-olah melambaikan tangan dan mengirimkan senyuman manisnya tatkala aku mulai memasuki kawasan desa. Seruan burung memberikan kabar bahwa mereka menyabut dengan baik kedatanganku.

Embun pagi terlalu dingin untuk aku yang biasa berada di kawasan kota dinginnya menusuk tulang belulang, dari kejauhan terlihat jelas keindahan alam dengan hamparan hijau didepan mata. Terselip lembaran-lembaran rumah dibelakang bukit, Akhirnya ku temui desa permitif itu, desa itu bernama KAMUDI yang masuk wilayah Kec. Woja. Empat suku dan etnis bersaling-silang tinggal bersama di desa ini. Yang terbesar adalah suku asli Mbojo dan suku sasak.

Kamudi memang bukan tempat wisata yang molek dengan pantai dan berpasir putih atau geo park seperti di Kawasan Tambora. Tapi, justru dari ketiadaan itulah aku melihat wajah Kab. Dompu lebih jelas dan indah. Dompu yang kusaksikan dalam keindahan dan beragam wisata lainnya kadang hanya menampakan kamuflase. Semua serba panggung. Tapi tidak dengan desa permitif itu semua mengalir begitu saja. Tidak ada tradisi yang dibankitkan dari kubur hanya untuk menarik perhatian juga tak ada pula suku asli yang dirias untuk menarik perhatian, semuanya mengalir begitu saja.

Desa kamudi samar kudengar namun menginjakan kaki disini membuatku yakin bahwa Indonesia itu ada. Desa tidak tersentuh sama sekali dengan Infrastuktur apalagi sibuk dengan hiruk pikuk pembangunan infrastuktur seperti di kota-kota atau desa-desa lainnya. Yang ada hanyalah rumah warga dan satu sekolah kecil yang gurunya jarang datang karna akses jalannya tidak memungkin kan untuk dilewati.

Desa Kamudi memanglah terpinggir di darah Kab. Dompu, jarang sekali pemerintah daerah untuk melirik desa tersebut. Tidak ada akses jalan yang memadai, tidak ada bantuan kesehatan, tidak pendidikan yang layak, tidak listri, tidak ada jaringan selurer, tidak ada tidak ada serba semuanya tidak ada.

Aku menelusiri jalan berbatuan besar yang belum rata apalagi disemen yang mungkin lebarnya hanya 2 meter saja. Cukuplah untuk kendaraan roda dua berpapasan. Hilang control jurang menunggu disamping kiri jalan. Memang hampir taka da kendaran roda empat yang berjalan disana.

Menurut warga disana, sudah sangat lama sekali mereka hidup dalam kondisi seperti itu tidak ada bantuan atau semacamnya untuk dibangun ditempat mereka. Jika terjadi kecelakaan di kebunnya mereka terpaksa mengobati dengan cara tradisional sebab tidak mungkin dibawa ke Rumah Sakit sebab jaraknya sangatlah jauh ditambah akses jalan keluar dari kawasan ini harus melewati jalan berbatuan. Mereka ingin seperti desa-desa yang lainnya mempunyai Pendidikan yang layaknya untuk anak-anak, memiliki akses listrik, memiliki akses kesehatan, jaringan selurer atau apapun itu yang ada di desa-desa lainnya. Rintihan hati mereka membuat hatiku lebur dalam kesedihan.

Mendengar rintihan hati mereka dan keinginannya membuatku semangat untuk terus datang kesini untuk membantu mereka mendapatkan pendidikan yang layak, akses kesehatan, akses listrik yang memadai, akses jalan yang baik, aku akan mencoba berkomunikasi dengan dengan pemerintah setempat atau teman-teman lainnya dari organisasi kemanusian atau pendidikan social lainnya.

****

Obrolan Bersama Pemerintah

Dalam hidup ini jika kamu tidak mau membantu sesama, Maka kamu bukan benar-benar hidup kamu hanya bernafas saja didunia ini. Apapun yang kita lakukan untuk orang lain suatu saat pasti akan kembali kepada kita.

Suara kenalpot lalu lalang motor dan orang yang keluar mencari makan untuk anak istrisnya dirumah membuatku terbangun dari mimpi indah. "Ahh" aku mempunyai visi dan misi untuk segera ke Pemerintah setempat untuk menyampaikan aspirasi mengenai desa permitif yang sebelumnya sudah ku kunjungi.

Seribu Wajah IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang