Prolog

73 5 41
                                    

A night in 2018

Suara password pintu yang sedang ditekan memenuhi lorong apartemen itu. Si wanita yang sedang sibuk memencet angka demi angka nampak tenang di ditengah suasana sepi apartement termahal di Hannam Hill. Hanya butuh sekian detik untuknya sampai pintu di depannya terbuka.

Sepi dan gelap. Matanya menyusuri ruangan yang sudah sering dia datangi. Tidak ada tanda-tanda pemilik apartemen di sana. Dengan satu jentikan pada saklar, ruang tamu itu berubah terang. Wanita itu sebenarnya heran, kenapa bangunan ini, atau mungkin tepatnya satu unit di gedung ini tidak menggunakan lampu otomatis. Jawabannya cuma satu, si pemilik unit ini lebih suka ruangan gelap. Dia tidak suka lampu-lampu yang menyala setiap dia berjalan melewati ruangan demi ruangan.

Wanita itu meletakkan tasnya sembarangan di karpet ruang tamu. Lagi-lagi berwarna abu-abu. Ingin rasanya dia mengganti semua warna sudut rumah menjadi biru langit atau kuning bulan agar tiap datang ke sini, perasaannya tidak suram. Kenyataannya, dia memang hanya datang ke tempat ini saat hatinya tidak baik-baik saja.

Dia menjatuhkan dirinya sembarangan di sofa yang menghadap ke pintu. Tempat paling sempurna untuk menunggu. Tubuhnya yang semula duduk, perlahan berubah meringkuk seperti bayi dengan kedua kaki berada di dadanya. Dia ingin tidur, karena tidak yakin orang yang ia tunggu akan datang.

🍁🍁🍁

Seonghee pov

Dia datang.

Masih dengan mata tertutup, aku bisa mendengar suara pintu terbuka. Sebentar lagi dia akan menyalakan lampu.

Walau tidak bisa melihat, aku yakin dia sedang memandangku yang tampak menyedihkan berbaring di sofanya. Sudah hampir satu menit. Dia belum beranjak dari depan pintu.

"Aku tahu kau tidak tidur." Akhirnya dia membuka mulut.

Perlahan aku membuka mataku. Dia benar-benar masih berdiri disana, dengan jas menggantung pada pundaknya dan kaos tipis yang sedikit terlihat basah.

Dia pasti baru minum.

"Bagaimana pestanya? Pasti menyenangkan?" Aku memutuskan untuk duduk agar bisa melihat ekpresinya dengan lebih jelas.

"Pesta dengan orang-orang kantor dan adik-adikku bukan cerita yang ingin kau dengar." Dia berjalan, ku kira akan menghampiriku. Ternyata dia berjalan ke arah kulkas. "Kau hanya datang untuk memastikanku tidak membawa wanita kemari bukan? Sudah lihat aku datang sendirian? Tidurlah di kamar."

Hening.

Aku tidak bergerak ataupun menjawabnya. Pandanganku masih mengarah lurus ke arah pintu di depanku.

"Atau kau mau pulang?" Dia membawa botol air mineral ke ruang tamu.

"Dua Daesang dan satu penghargaan untukmu sendiri tanpa nama SEA. Kau terlihat tampan saat menerima piala dengan Minyeong tadi. Chukae." Memang tujuanku kemari adalah untuk memberinya selamat.

"Hah." Dia tersenyum dengan ekspresi dingin. "Berhenti bertingkah seperti itu Cheon Seonghee."

"Lalu? Tingkah seperti apa yang kau harapkan?" Memang sulit untuk bicara dengannya tanpa menguras emosi.

"Kau bilang tidak bisa menjalin hubungan denganku. Jadi kenapa kau terus marah tiap kali aku dekat dengan wanita lain?" Sangat kesal, itulah ekspresi yang kutangkap dari wajahnya. Dia meneguk minumnya dengan kasar saat selesai mengatakan kalimat tadi.

"Harus berapa kali kita membahasnya? Kalau kau ingin kita berkencan, berhentilah mengatakan kau ketakutan dengan media yang akan mengetahui hubungan kita!" Balasku.

Dia tidak merespon.

"Aku memang bodoh, terus merasa cemburu pada orang yang jelas bukan siapa-siapaku."masih kulanjutkan cercaanku. Entah sudah berapa kali kami membahas hal yang sama dan menyakitkan seperti ini.

Aku kemari untuk memberinya selamat, dan berharap malam ini kami bisa membicarakan banyak hal yang membahagiakan sampai pagi, tapi sepertinya suasana hatiku yang memang dari awal diselimuti kecemburuan terlihat jelas dimatanya sejak pertama kali dia melihatku berbaring di sofa.

"Aku pulang." Selelah mengambil tas di lantai dan berdiri, aku mengambil langkah kearahnya yang duduk di sofa yang membelakangi pintu. Baiklah, biarkan saja aku pulang dengan perasaan seperti ini. Ini sudah sangat biasa untukku.

Saat melewatinya yang masih duduk tanpa kuduga, dia menarik tanganku dengan sangat keras dan kasar. Membuatku jatuh tepat dipangkuannya.

"Min Yoonjae!" Aku memandangnya dengan penuh amarah. Kenapa dia selalu melakukan semua hal seenaknya seperti ini.

"Kau bisa lihat ini jam berapa?"

Tentu saja aku tahu bodoh. Mana mungkin kau pulang dari minum-minum tidak selarut ini. ini jam satu, dan aku cukup waras untuk menyetir sendirian.

"Kau mau mengendarai sendiri? Atau kau sengaja mau pergi ke klub seperti kemarin?" Dia mengencangkan cengkramannya pada lenganku.

"Yak! Kau tidak perlu menarikku dan mebuatku seperti ini. Siapa juga yang tadi menyuruhku pulang hah?" Aku berusaha berdiri. Tapi sia-sia, pria yang telihat kecil ini sebetulnya memang tidak selemah itu. "Min Yoonjae, aku tidak akan peduli lagi denganmu. Biarkan aku pergi."

"Berhentilah berpikir aku menyukai Minyeong atau siapapun yang melintas di otak liarmu." Yoonjae seperti akan melanjutkan kalimatnya, tapi dia masih terdiam sambil memandang lekat wajahku yang memang sangat dekat dengannya. "Yang aku suka hanya kau, Cheon Seonghee." Aku sudah tahu dia akan melakukan ini, tanpa ijin dan aba-aba, dia menyapukan bibir tipisnya di bibirku. Membuatku yang terkunci dipangkuannya tidak berkutik.

Disela ciuman kami yang saling berbalas, aku mengepalkan jari-jari tanganku dan meremas kaosnya yang berbau alkohol.

Cheon Seonghee, sampai kapan kau sperti ini? Sampai kapan kau bertahan pada hubungan ini?

Andai aku, dan juga dia, bisa hidup dengan sedikit lebih banyak keberanian. Andai kami bisa membuat semua orang, terlebih fansnya, untuk ikut bahagia saat kami mengatakan kami adalah sepasang kekasih. Andai aku bisa seperti sahabatku, Han Hyejin*, yang bisa sekuat baja berkencan dengan idol dan mengabaikan segala perkataan menyakitkan haters yang sering menyerangnya.

Kenyataannya yang kami punya hanyanya terlalu banyak ketakutan.

Seperti yang selalu pria ini katakan. Hubungan kami adalah dunia kami sendiri. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang boleh tahu. Walau berjuta kali kami bertemu dengan perasaan kacau karena hari kami yang buruk, yang ujungnya membuat kami saling bertemu untuk menguatkan. Atau berjuta kali juga kami saling mencari karena terbakar rasa cemburu yang berujung pertengkaran atau berujung ciuman bodoh semacam ini. Semuanya, hanya kami yang boleh tahu.

"Dunia kita adalah musim kelima. Tidak ada yang boleh menyentuhnya selain kita berdua, hanya kita."

Seperti malam ini. Aku mendatangi musim kelimaku, dan seperti sebelum-sebelumya, aku selalu bertanya-tanya, "Bolehkah aku tinggal di musim ini selamanya? Setiap hari, hanya di musim ini saja."

*In my previous story Autumn to Winter

---

vote and comment yess!! Gumawoo 💜

Fifth Season (BTS - YOONGI VISUAL FICTION )Where stories live. Discover now