Sudah dua minggu sejak pertengkaran mereka di taman belakang. Johnny dan Ten sudah berbaikan, atau lebih tepatnya tanpa sadar berbaikan. Tidak ada salah satu diantara mereka yang mengalah untuk mengatakan maaf. Hubungan mereka berjalan begitu lancar menuju titik yang lebih baik karena saling membutuhkan satu sama lain. Namun, Ten menyadari hubungan itu tidak kembali ke titik semula. Dia menemukan dirinya lebih menarik diri dari segala hal yang dilakukan Johnny. Pun suaminya itu tidak terlalu lagi melemparkan kasih sayangnya secara eksplisit. Tidak ada lagi ciuman selamat pagi, tidak ada lagi pelukan hangat di kala malam. Kata ibu Ten, dia mengalami fase pernikahan yang seperti itu ketika usia Ten beranjak 5 tahun. Ternyata Ten harus mengalaminya jauh lebih cepat.
Jungwoo dan Irene semakin intens keluar masuk rumah sakit. Dua hari yang lalu mereka terpaksa menginap di UGD karena kondisi Jungwoo sangat tidak memungkinkan untuk dirawat di rumah. Setelah melewati hari yang buruk, pria kecil itu akhirnya harus di rawat di rumah sakit.
Ten seakan mengerti dengan situasi, memilih untuk lebih banyak berada di rumah. Memastikan semua harta suaminya aman dan tetap membuatnya hangat. Meski kini dia seperti hidup seorang diri di dalam rumah, meski terkadang dia merasa usahanya untuk menghangatkan rumah itu sia-sia. Toh, tidak ada seorangpun yang menikmatinya, kecuali dia sendiri.
"Hem... Iya. Begitulah."
Doyoung di seberang sambungan telepon seperti sedang menahan kesal. Dia baru saja menelepon karena ingin tahu kabar sahabatnya setelah beberapa hari disibukkan oleh pekerjaan, seperti biasanya. Dan hal pertama yang membuatnya kesal adalah posisi dimana Tuhan meletakkan Ten sekarang. Dimana sahabatnya itu tidak lebih dari seorang pengurus rumah ketimbang pemiliknya. Entah mengapa dia marah pada keadaan Jungwoo yang semakin menurun, ibu dari anak itu yang seakan tak tau malu, dan tentu saja Johnny yang kelewat baik hati. Dia ingin memarahi seseorang. Ingin marah walau dia hanya orang luar yang tidak berhak ikut campur.
"Jadi dia belum pulang sejak dua hari lalu!? Kau harus menyusulnya!"
"Johnny hyung mengabariku, Jungwoo belum bisa ditinggal. Joohyun noona terlalu kebingungan-"
"AH! WANITA TOLOL ITU LAGI!?"
Ten terdiam. Dia tidak punya tenaga lagi untuk memaki Joohyun. Entah kenapa, dia merasa tubuhnya melemah, seperti ada sesuatu yang menggerogoti kebahagiaannya, ah tidak! Emosinya. Dia merasa hampa, mati rasa.
"Ten kau masih disana!?" tanpa sadar dia sudah melewakan berpuluh-puluh kalimat umpatan dari Doyoung.
"Ya aku... em-"
"Dengar ya anak muda! Lain kali kau harus lebih reaktif pada keadaan! Hubungi aku kalau ada apa-apa! Berapa kali sudah kubilang!? Kenapa harus aku duluan yang menanyakan kabar baru tau keadaanmu semenyedihkan ini!"
Ten sangat ingin tertawa mendengar kecerewetan Doyoung, karena begitulah seharusnya dia. Bibirnya bergetar, bukan untuk menahan tawa, tapi untuk berusaha sekuat tenaga membuat sebuah reaksi. Sedikit saja...
"Ha... ha...hhh..."
Doyoung di seberang sana tak berkomentar apapun tentang bagaimana Ten meresponnya.
"Aku akan menghubungimu lain waktu. Sampai jumpa."
Sambungan telepon itu akhirnya usai. Ten memandang televisi yang sedari tadi menyala tanpa ditonton.
"Ada yang salah...." dia bergumam.
Pintu utama terbuka dengan sedikit lebar. Angin kencang masuk ke dalam rumah bersamaan dengan laki-laki berperawakan tinggi besar. Ten memeluk lututnya untuk menghimpun hangat. Dia menatap ke arah pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Love Story | Johnten
General FictionSetiap orang ingin menjadi yang pertama untuk pasangannya. Ten juga ingin begitu. Tapi yang dia dapatkan adalah Johnny Seo. Laki-laki matang yang pernah bercerai, yang pernah memiliki kisah romansa dengan orang lain. Dan sialnya, semua orang mengha...